Tak lama kemudian, makan malam pun siap.
Makanan yang tersaji tidak terlihat mewah. Semuanya hanyalah empat masakan sederhana dengan sup namun terlihat begitu enak dan aromanya menggugah selera.
Xi Xiaye yang duduk di sofa dari kejauhan dengan samar mencium aroma itu.
"Minumlah jus buah. Dengan lukau yang seperti itu, sebaiknya jangan dulu minum-minum."
Pria di hadapannya itu menuangkan segelas jus buah dan dengan anggun memberikan padanya. Matanya yang memandangnya berkedip-kedip dan mau mengatakan sesuatu namun tidak jadi diungkapkannya. "Apa yang kau pikirkan?"
"Tidak ada…" Xi Xiaye mendesah dan dengan sigap diambilnya sumpitnya. Setelah beberapa pertimbangan sebelum dilihatnya Yuchen lagi dia berkata, "Hanya saja semua ini terjadi cepat sekali. Seperti mimpi."
"Bukankah kau cepat beradaptasi?" Mu Yuchen menjawabnya datar dan mengulurkan mangkuk nasi padanya sementara dengan anggun diminumnya jus buah yang ada padanya. "Atau kau ingin mencoba mengatakan bahwa kau menyesalinya?"
Mendengar itu Xi Xiaye terdiam. Dia menggeleng pelan dan menunduk, memandang sumpit yang dipegangnya. Setelah beberapa saat, dia pun membalas, "Tidak, jika kita mengulangi momen itu, aku yakin ini tetap menjadi pilihanku, tapi…"
Xiaye tampak ragu-ragu, ditatapnya Mu Yuchen.. Matanya berbinar-binar seperti ingin mengungkapkan suatu rahasia penting. Tiba-tiba sumpitnya diletakkan kembali dan mengambil jus buah. Dalam suara yang tenang dan penuh keyakinan dia berkata, "Aku tidak mau berterima kasih lagi padamu. Aku hanya mau mengatakan bahwa aku pasti akan melakukan yang terbaik untuk menjadi istrimu. Kita akan hidup bahagia, 'kan Tuan Mu?"
Mu Yuchen perlahan mengangkat kepalanya. Matanya yang dalam seperti lautan itu menatap mata Xiaye yang berkedip. Wajah tampannya menyiratkan kelembutan, kemudian dia menjawab, sambil mengangkat gelasnya. Dengan penuh perasaan, dia mengamini ucapan Xiaye, "Mmm, kita akan hidup bahagia dan menjadi Nyonya Mu adalah cara terbaik berterima kasih padaku."
Mereka pun bersulang.
"Tadi Kakek menelepon. Ibu baru saja menyelesaikan laporan akademis dan mereka ingin aku berkunjung ke rumah Chen selama dua hari. kau ikut?"
Sejak mereka memutuskan segala sesuatunya berjalan sebagaimana adanya dan menjalani kehidupan pernikahan mereka ini, Xi Xiaye tidak berencana menyembunyikan apapun darinya. Dia mengerti begitu jelas, bahwa jika dia menginginkan kakek dan ibunya untuk tidak mengkhawatirkan dirinya lagi, maka dia harus menceritakan kepada mereka mengenai pernikahannya ini.
Tak peduli apapun itu, mereka telah sampai ke tahap ini sehingga ini menjadi sebuah kewajiban bagi mereka untuk berpegang pada pernikahan yang akan mereka jalani ini.
"Kapan kau berencana untuk pulang?"
Mu Yuchen kurang lebih mengerti situasi Xiaye sekarang. Dia tahu kakeknya ini telah berkawan dengan neneknya sewaktu mereka masih muda.
"Akhir pekan ini," jawabnya sebelum mengambil lagi sumpitnya.
"Kita harus mengunjungi mereka dan disaat yang sama membicarakan pernikahan kita. Pernahkah kau berpikir pernikahan seperti apa yang kau impikan?" tanyanya sambil menyendokan makanan ke mangkuk Xiaye.
Xi Xiaye terkejut. Dia terlihat seperti dia kelaparan dan kekurangan makanan di mangkuknya. Xiaye mengingat-ingat, sudah lama tidak ada yang pernah menyendokkan makanan untuknya bahkan sejak dia mulai tumbuh besar, namun ini…
Seketika hatinya tersentuh, rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya. Selagi memikirkan ucapan Yuchen, hatinya terasa sesak. Xiaye terpaku beberapa saat sebelum akhirnya dia berkata, "Kita kesampingkan sejenak tentang pernikahan itu. Sudah mau Tahun Baru Imlek dan kantor sangat sibuk. Lagi pula, sekarang ini kurang baik untuk melangsungkan pernikahan. Aku juga tidak terlalu mempedulikannya…"
Dia tertawa sendiri selagi mengatakan itu. Sepintas dia menyadari bahwa selama ini ada ganjalan dalam hidupnya dan tidak memiliki alasan untuk merasa terlepas dari masalahnya itu. Namun sekarang perasaan itu telah berganti. Tak ada lagi ganjalan di dalam hatinya..
Jadi sekarag.. adakah yang bersedia untuk berbagi kebahagiaan, kemarahan, kesedihan, dan kesenangan dengannya?
Karena saat ini, segala sesuatunya bukanlah masalah lagi baginya.
"Kakek itu orang yang penyayang. Oh, kau sudah kenal kakekku sebelumnya?"
Dia teringat sebelumnya di kencan buta itu kakeknya begitu menyarankan Mu Yuchen untuknya, sehingga mereka berdua sebaiknya berkenalan. Namun pria yang di hadapannya ini berpikir sejenak dan menggeleng. "Aku pernah mendengarnya, namun belum pernah bertemu."
"Tapi kakek begitu menyanjungmu. kau yakin tidak pernah ketemu?"
Xi Xiaye terlihat sedikit curiga padanya, namun dengan wajahnya yang terlihat serius itu dia hanya bisa menjawab, "Aku masih berpikir ada yang aneh di antara kalian berdua."
"Kalau kau masih menginginkan bahwa itu ada hubungannya, biar kuceritakan. Sebelumnya, waktu di Perancis, aku ada kerjasama bisnis dengan kakekmu. Meski aku belum pernah bertemu dengannya langsung, tapi rasanya.. dia seperti sudah menjadi kakekku juga. Hubungan ini jelas ada kaitannya," jawab Mu Yuchen.
Yuchen berpikr lagi, lalu menambahkan, "Tunggu saja sampai kau benar-benar pulih, nanti aku akan membawamu ke rumah keluarga Mu. Aku yakin mereka akan benar-benar akan menerimamu. Sekarang, kita makan dulu."
Wajah Xi Xiaye yang mungil itu terkejut. Dia masih memandangnya dengan tidak yakin sebelum akhirnya ikut makan.
Dia tidak pernah berpikir sebelumnya kalau kemampuan masak suaminya begitu mengesankan. Dia baru saja menyicip orak-arik telur dengan irisan tomat segar hingga akhirnya dilahapnya habis. Di hadapannya, Mu Yuchen menyendokkan makanan ke mangkuknya namun dia tidak berpura-pura lagi.
Begitu usai, dia masih menikmati bahkan lebih dari setengah jumlah makanan yang ada. Dia memakan dua mangkuk penuh – tak disangkanya akan sebanyak itu.
"Apakah kau memang ahli di bidang kuliner?" tanya Xi Xiaye sambal meletakkan sumpitnya, selesai makan dengan perut kenyang.
Dirasakannya bahwa kemampuan memasak suaminya ini bahkan melebihi ibunya, Chen Wenna. Menyadari semua sajian di hadapannya habis dilahapnya, wajahnya yang anggun sedikit memerah.
Mu Yuchen melihat piring-piring kosong di meja sampai akhirnya menatap Xiaye. Istrinya itu terlihat tersenyum malu dan menahan tawanya. "Saat waktu luang, kadang aku menghabiskan waktu dengan memasak, tapi aku tidak menyangka kalau kau bisa lahap seperti ini saat sedang makan.."