"Akan kupenggal kepalamu!"
Sampah itu nggak senang dengan perilaku ku.
"Uh-oh! Gimana cara lu membawa gue ke alat pemenggal kepala?"
Ada dentangan armor dari para knight yang mulai bergerak kearahku dari posisi mereka disekitar singgasana.
"Apa lu lu pada udah lupa? Gue lah orang yang ngebunuh musuh—musuh yang cukup kuat buat ngalahin semua pahlawan lain."
Aku menyiapkan perisaiku dan menghadap para knight. Mereka semua berhenti bergerak.
Gimanapun juga aku adalah seorang pahlawan. Mereka semua tau bajwa aku lah yang bertahan dari gelombang dimana yang lainnya pada tumbang, jadi kenapa juga mereka harus mengambil resiko mendekat lagi?
Meskipun aku setengah memalsukannya sih...
"Apa yang kalian lakukan?! Bunuh si tolol yang gak beradab ini!"
"Oi oi."
Aku berbalik kearah dia dan berbicara mengancam.
"Apa elu gak paham? Gue cukup kuat buat nerobos istana ini, membunuhmu, dan keluar dari sini tanpa tergores. Elu paham itu, kan?"
"Uh..."
Raja Sampah itu kelihatan sangat marah.
"Kalau elu gak percaya, gue bisa mendemonstrasikannya."
Aku mempelajari bahaa beberapa trik dan ancaman diperlukan untuk bernegosiasi secara efektif ditempat ini.
Aku harus menggunakan peralatan yang tersedia buatku kalau aku mau menahan Sampah itu.
"Para pahlawan yang lu jagoin dikalahin oleh musuh—seorang musuh yang kemudian gue kalahin! Sekarang elu mau menjadikan gue musuh lu?"
"Ughhhhh...."
Dia begitu marah hingga dia menggertakkan giginya.
"Satu-satunya alasan kau bisa berkata seperti itu...."
"Gue bakal ngebunuh elu kalo elu nyentuh para anggota party gue."
Kurasa lebih baik untuk memberitahu dia gimana cara mainnya.
Iron Maiden adalah sebuah skill yang sangat kuat. Skill itu telah mengalahkan Soul Eater, jadi aku tau kalau skill itu mampu membunuh seseorang. Setidaknya aku bisa menggunakan kutukan pembakar diri dan membuat mereka semua mengalami luka bakar yang serius.
Wajah Sampah itu pucat. Sepertinya dia akhirnya memahami posisinya.
"Jangan pernah memanggil atau bicara pada gue lagi, Sampah. Saat gelombang selesai, gue bakal pergi dari sini. Sampe saat itu, gue bakal ngerjain apa yang harus gue kerjain. Tapi jangan coba-coba mengganggu gue."
Aku nggak bisa memberi pukulan apapun saat aku mengancam dia—aku juga nggak bisa menggunakan kartu as ku juga. Aku harus menyimpannya sampai aku nggak punya pilihan lain lagi. Kalau aku membunuh dia disini sekarang juga, nggak akan ada yang berubah. Siapapun bergerak dibalik layar, pasti akan keluar dan menggantikan dia.
Tetap saja, kalau aku harus melawan para pahlawan lain secara langsung, aku nggak tau apakah itu merupakan sebuah pertarungan yang bisa kumenangkan.
Dan kalau aku harus melawan mereka semua sekaligus, aku pasti akan kalah.
"Selamat tinggal."
Aku berbalik dan meninggalkan ruang singgasana.
"Aku tidak akan memaafkanmu! Aku tidak akan memaafkanmu, Perisai!!!!!!!!!!"
Teriakannya menggema seluruh istana.
"Itu berlaku buat kita berduaaaaaaaaa!!!!!"
Aku berteriak sambil berjalan keluar ruangan.
* * * * *
Aku meninggalkan istana dan berjalan di tangga saat aku berpapasan dengan seorang wanita yang kelihatan seperti dia dari keluarga bangsawan.
Dia menyembunyikan mulutnya dengan sebuah kipas, dan dia mengenakan pakaian yang kelihatan mahal. Aku nggak bisa melihat seluruh wajahnya, tapi aku bisa bilang dia cantik. Aku penasaran berapa usianya? Dia mungkin berusia di awal 20'an. Rambutnya berwarna ungu. Itu adalah warna yang langka.
"Terimakasih atas semua kerja keras anda, tuan."
Tuan? Sial, aku hampir berbalik.
Huh? Wanita itu diikuti oleh sang putri kedua.
"Ah."
Aku mengabaikan dia dan terus berjalan. Nggak ada yang perlu kukatakan pada adiknya Lonte itu.
"Nona Melty..."
"Aku mengerti, terimakasih!"
Ya, aku nggak memikirkan apa-apa dan terus berjalan.
Saat itu aku nggak punya pemikiran, bahkan dalam imajinasi terliarku, bahwa putri kedua itu akan menjadi kunci yang membuka pintu ke perubahan yang dramatis.
Ngomong-ngomong, Raphtalia dan Filo menungguku di ruangan lain. Sepertinya mereka berpikir bahwa aku mungkin menyebabkan keributan dan berencana untuk mengejarku. Aku nggak tau apakah aku harus senang karena mereka sangat memahami aku—atau apakah aku harus terganggu oleh hal itu.
Aku meninggalkan istana, dan hal pertama yang kulakukan adalah mampir ke toko senjata untuk melihat apakah kereta yang kupesan sudah siap.
"Hei bocah. Keretanya sudah siap jalan."
"Cepat sekali. Pak tua, kau betul-betul handal menangani logam. Kau bisa membuat apapun yang kuminta padamu dengan sangat cepat."
"Aku cuma mengaturnya saja. Aku punya teman yang membantuku mengerjakan pekerjaan. Aku nggak betul-betul membuat keretanya!"
Yah, kurasa itu masuk akal kalau dia dibantu oleh seorang blacksmith lokal.
"Aku sempat kepikiran kalau kau adalah salah satu dari orang-orang yang bisa membuat segalanya dengan harga yang wajar."
"Bocah, sumpah itu sangat menjengkelkan mendengar kau bicara kayak gitu. Aku nggak muda dan terampil kayak kau."
"Aku nggak terampil."
Dia pikir aku ini orang kayak apa?
"Keretanya aku parkir di belakang. Lihatlah."
"Oke, nggak sabar untuk melihatnya. Ngomong-ngomong, aku berpikir tentang pedang milik....."
Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Raphtalia mengulurkan tangannya dan memegang tanganku.
"Ada apa?"
"Kamu nggak perlu menyebutkan tentang pedang itu. Aku masih punya pedang cadangan. Jadi simpan saja uang sebisa kita untuk saat ini."
"Hmm... Yah, kalau kamu betul-betul berpikir begitu, maka kurasa kita bisa."
Serangan Filo sudah begitu kuat hingga dia lah yang memberi damage paling banyak. Kalau Raphtalia bisa mengerjakan peran pendukung, itu harusnya baik-baik saja. Dan dia mungkin berpikir bahwa kami mungkin akan menemukan sebuah pedang yang lebih baik daripada yang bisa dibuatkan pak tua itu untuk kami.
Kami berjalan ke halaman belakang toko, dan memang, sebuah kereta logam yang besar menunggu kami.
Kereta itu terbuat dari logam. Bahkan atapnya juga logam. Itu mengingatkan aku tentang sebuah delman kecil yang dibelikan orang tuaku untuk aku di masa lalu—hanya saja yang ini asli.
"Wow!"
Mata Filo terbuka lebar dan berbinar-binar. Aku belum pernah melihat dia terlihat begitu gembira.
Dia berjalan pelan-pelan ke bagian depannya, dan perlahan memegang tali kendalinya.
"Aku boleh menariknya, kan?"
"Tentu."
"Yay!!"
Matanya berkilauan, dan dia memegang tali kendalinya erat-erat. Dia begitu senang sampai-sampai dia kelihatan seperti dia mungkin meledak.
"Ayo kita isi muatan dulu."
"Dimengerti."
"Okeeeeee!"
Kami pergi ke kereta lama, mengambil semua muatan dari sana, dan kemudian memindahkan semuanya ke kereta baru.
Aku jadi menyadari bahwa kami menghabiskan semakin dan semakin banyak waktu kami untuk memindahkan barang-barang.
"Gimana menurutmu, bocah?"
Pak tua itu menjulurkan kepalanya keluar untuk melihat gimana keadaannya. Aku mengacungkan jempol pada dia.
"Sama seperti yang kuinginkan."
"Bagus. Meskipun harus ku katakan sih kalau itu sangat berat. Apa gadis burung itu menanganinyal?"
"Ya!"
"Nggak masalah. Dia menarik kereta terakhir sambil ada tiga kereta lain yang disambung di belakang."
"Menakjubkan."
"Dia bahkan mungkin mulai menggerutu kalau keretanya nggak cukup berat."
"Kau tau apa yang kusukai? Kereta yang berat!"
Mungkin itu adalah ciri khas seekor Filolial? Apa mereka bersaing untuk melihat siapa yang bisa menarik objek paling keras dan paling besar?
"Ahahaha. Kau pasti bisa! Hei, aku penasaran, kemana kau akan pergi sekarang?"
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah mendengar semuanya. Kau melakukan sesuatu yang gila di istana?"
Pak tua itu kelihatan agak kuatir.
"Cepat juga menyebarnya."
"Rumor adalah bumbu kehidupan."
"Terserahlah. Sampah itu bertindak gila lagi, jadi aku cuma membuat dia sadar akan posisinya."
"Aku sudah menduga kalau kau akan melakukan sesuatu suatu saat, bocah."
"Senang aku nggak mengecewakan."
"Sebenarnya aku sudah terbiasa sedikit kecewa."
"Baguslah. Yah, untuk menjawab pertanyaanmu, aku berpikir menuju ke Siltvelt atau Shieldfreeden agar kami bisa berganti kelas."
Tentu saja, aku bisa mengancam Sampah itu untuk mendapatkan ijin untuk menggunakan Dragon Hourglass di Kastil Kota, tapi aku harus membuat Filo dan Raphtalia berganti kelas, dan aku nggak mau menempatkan mereka dalam bahaya yang gak diperlukan.
Aku masih nggak terlalu paham tentang proses apa yang diperlukan untuk berganti kelas, tapi orang-orang yang mengelola Dragon Hourglass sepertinya sangat kuatir dengan itu hingga mereka membuat peraturan dan regulasi ini untuk mengendalikan akses kami pada jam pasir itu. Kalau memang akan semerepotkan itu, maka sepertinya ide terbaik adalah menuju ke negeri lain dimana kami akan mendapatkan kebebasan untuk melakukan apapun yang kami mau.
"Kau tau, bocah. Aku sudah menduga kau akan pergi kearah sana."
"Sungguh?"
Dia mengangguk. Aku penasaran apa maksudnya?
"Aku lebih menyarankan Shieldfreeden. Siltvelt bisa agak.... gila."
"Apa maksudmu?"
"Yah, itu adalah kerajaan demi-human, dan mereka menjadikan para manusia menjadi budak disana. Semacam kebalikan dari Melromarc."
Aku paham sekarang. Mengingat aku adalah manusia, itu mungkin bukanlah pilihan terbaik.
"Namun...."
"Makasih atas sarannya. Kami akan pergi ke Shieldfreeden."
Kami selesai memindahkan barang dan naik ke kereta.
"Baikkah. Yah, kunantikan bertemu denganmu lagi lain kali kau berada di kota."
"Tentu. Lain kali aku bertemu denganmu, mungkin aku akan mencari equipment yang bagus untuk melawan monster-monster tipe roh dan hantu."
"Aku mengerti. Kedengarannya kau sudah cukup maju sampai-sampai kau mengkhawatirkan monster-monster seperti itu. Aku akan memastikan aku punya barang-barang yang kau butuhkan."
"Aku akan mengumpulkan materialnya untuk menekan biayanya"
"Lakukan saja sesukamu, bocah. Yang penting beri aku keuntungan dan jangan muncul seenaknya sendiri sambil membina segala sesuatu dalam waktu 24 jam. Aku akan memberitahumu dimana kau bisa mendapatkan material, kalau kau mau."
"Dimengerti. Aku akan memastikan kau punya waktu yang cukup. Baiklah, kami berangkat. Sampai jumpa, Pak tua."
"Sampai nanti."
Filo mulai menarik talinya.
Tujuan kami yang utama adalah untuk berganti kelas. Kalau Filo yang menarik kami, kami bisa sampai kesana dalam dua minggu. Itu akan jadi perjalanan yang panjang, tapi itu lebih baik.
"Itu dia!"
Ada suara keras yang berasal dari luar gerbang. Saat kami meninggalkan Kastil Kota, kami tiba-tiba mendengar suara seseorang memukul-mukul sisi kereta logam kami.
"Ketemu kau!"
"Huh? Mel!"
"Apa?"
Aku menyuruh Filo berhenti dan melihat keluar. Putri kedua ada disana. Alis matanya dikerutkan, mengarahkan jarinya padaku. Di belakang dia ada sekelompok knight. Suara para knight itulah yang kami dengar.
"Tolong kembali ke istana!"
"Apa? Cuma begitu saja?"
"Aku memintamu kembali dan berbicaralah secara serius dengan ayahku!"
Bocah ini semakin menjengkelkan. Nggak ada yang perlu aku diskusikan dengan Sampah itu.
"Ayahmu salah tentang segalanya. Aku nggak salah. Jadi setidaknya kami mengetahui hal itu."
"Apa itu?!"
Apa itu butuh waktu yang lama agar dia mengetahuinya semua ini? Dia adalah adiknya Lonte itu. Kenapa aku harus menghabiskan waktu untuk bicara dengan dia?
"Katakan ini pada bapakmu: aku bisa membunuh dia kapanpun. Katakan pada dia kalau harus selalu waspada."
"Kenapa? Kenapa kau harus mengatakan hal mengerikan seperti itu? Tolong beritahu aku!"
"Karena bapakmu adalah Sampah! Aku nggak mau membuang-buang waktuku untuk bicara dengan Sampah. Orangtuamu adalah yang TERBURUK!"
"K...Kau... Aku tidak akan memaafkanmu! Ibuku telah salah! Pahlawan Perisai adalah orang brengsek!"
Salah satu knight dibelakangnya melangkah maju.
"Heh. Kau mau melawanku? Filo...."
"Apa?"
"Ayo pergi."
"Tapi... aku mau main sama Mel!"
"Gak boleh."
"Tapi..."
"Ayo pergi!"
"Baiklah... Sampai jumpa Mel!"
Filo mengangguk, berbalik kearah jalan, dan berlari.
"Hei. Tungguuuuuuuuuuuuuu!"
Teriakan dari putri kedua memudar. Kastil Kota betul-betul dipenuhi dengan sampah. Selain berbelanja, nggak ada alasan lain untuk pergi kesana.
***