Merayu clara sama hal nya dengan merayu meri. Butuh kegigihan dan kesabaran tingkat dewa.
Setelah hampir satu jam berdiri di depan pintu, clara akhirnya membuka pintunya. Walau masih bersikap acuh, setidaknya ia telah membuka pintu.
"aku minta maaf karena menamparmu, tapi kau tetap salah jika berkata meri seburuk itu. Dia memang besar di amerika tapi sikapnya tidak seliar yang kau pikirkan. Dia tidak sebaik yang ku katakan tapi juga tidak seburuk yang kau katakan"
"aku tahu. Tapi yang semalam bukan karena kesalahanku. Kau juga salah karena lepas kendali"
"jika satu orang lepas Kendali seharusnya kau bisa sadar dan mengingatkanku" kilah andre.
Keduanya kini mulai saling menyalahkan walau terkadang di iringi dengan candaan. Pertengkaran itu cukup memguras tenaganya hingga perut mereka mulai bersaut-sautan.
"hahaha, ayo bersiap untuk sarapan" kata andre.
Di hotel itu terdapat restoran tapi hari ini mereka memutuskan untuk sarapan di luar hotel. Tidak hanya wisata pantai, mereka juga ingin menikmati kuliner khas izmir.
Dengan wajah yang sumringah keduanya menyantap sarapan mereka di selingi candaan ringan. Suasana yang sangat menyenangkan setelah badai di berlalu.
Berbeda dengan suasana itu, ilham dan meri justru makan dengan suasana kaku. Sangat dingin dan beku hingga hanya perlu pukulan kecil untuk bisa retak.
Meri tak ingin mengatakan apapun dan tidak berniat untuk mengatakan sepatah katapun. Otaknya hanya sedang bekerja untuk mencari cara menggoda ilham dan meminta izin darinya.
Dahulu, ciuman manis akan berpengaruh besar hingga bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan. Tapi kali ini sepertinya hal itu tidak akan mempan.
Dulu ia belum pernah tidur bersama jadi sebuah ciuman jauh berharga dari apapun. Kini, hal yang lebih dari itu bahkan sudah biasa.
Godaan dengan tidur bersama bahkan tidak akan berguna karena kondisi kehamilannya yang rentan akan menahan nafsu yang biasanya begitu menggelora. Baginya, keamanan janinnya lebih penting bahkan jika ia harus impoten karena terus melawan nafsunya.
Entah harus bersyukur atau menangis karena hal itu. Tidak di ganggu oleh ilham adalah suatu yang langka tapi terkadang hal itu berguna jika ia menginginkan sesuatu. Sangat mudah meminta sesuatu saat di atas ranjang.
"aku harus keluar untuk bertemu dengan dokter fuad. Ada yang harus kami bicarakan. Mau ikut atau tidak?" ajak ilham
"tidak"
"baiklah"
Setelah sarapan itu, ilham pergi tanpa di antar oleh meri. Rasa kesalnya masih menguasai otaknya hingga kakinya bahkan malas untuk melangkah mengantar suaminya dan memilih untuk berbaring di kamar.
Baru setengah jam ilham pergi, telfon dari rumah sakit mengejutkannya.
📞"dokter ana, ada pasien darurat yang harus segera di operasi. Dokter bedah lain saat ini juga sedang melakukan operasi yang penting. Bisakah dokter kembali ke rumah sakit segera?"
📞"aku, sebenarnya suamiku melarangku ke rumah sakit karena suatu hal"
Meri masih enggan mengatakan keseluruhannya. Memberitahu ia sudah memiliki suami sudah cukup menggemparkan.
📞"suami? Anda.. Ah sudahlah, ada hal lain yang lebih penting. Dokter ana, kami hanya bisa bergantung kepadamu. Direktur rumah sakit saat ini juga mencarimu"
📞"Mmm, tunggu. Biar ku beritahu pada suamiku dulu. Aku tidak berani melawannya"
📞"baiklah. Secepatnya karena ini darurat"
Telfon terputus dan meri berusaha menelfon ilham terus menerus sambil bersiap-siap. Sayangnya, sampai ia berada di dalam mobil telfonnya masih saja tidak tersambung.
Para asisten rumah tangga termasuk sopir kembali berkeringat dingin melihat nyonya mereka hendak pergi. Sebelum meninggalkan rumah, tuan mereka dengan jelas memperingatkan agar menjaga meri dan tidak membiarkan ia keluar rumah hingga ia kembali.
"nyonya, tolong kasihani kami. Tuan akan marah besar kali ini jika sampai nyonya pergi seperti ini"
"antar aku. Aku tidak akan membawa mobil sendiri, antar aku" meri duduk di bangku penumpang belakang tanpa ada kata lagi.
Sopir itu terpaksa mengikuti keinginan nyonya besarnya. Pekerjaannya kali ini menjadi taruhan tapi ia yakin pada nyonya besarnya. Kebaikan hatonya akan menyelamatkan mereka dari kemungkinan di pecat.
Meri juga tidak akan lepas tangan pada apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Ia di larang oleh ilham itu pasti, tapi sumpah profesinya membuat ia tidak bisa acuh pada nyawa pasien yang mungkin melayang jika ia terlambat.
Kemarahan suaminya tidak akan sepadan dengan rasa bersalah jika ternyata pasien itu meninggal karena lambatnya penanganan. Ia akan menerima kemarahan ilham dan tidak akan membela diri.
"Nyonya, jika tuan mengetahui hal ini bukan hanya saya atau nyonya. Yang lain juga pasti akan mendapat masalah"
"jangan khawatir, aku akan mengambil semua tanggungjawab itu" meri mengirim pesan singkat kepada ilham agar tidak murka pada asisten rumah tangganya yang tidak tahu apa-apa.
📨 "aku ke rumah sakit karena ada pasien darurat. Akan ku jelaskan saat pulang. Jangan memarahi oranglain, aku yang salah. Aku mencintaimu. Muah"
Di rumah sakit, meri segera berlari masuk setelah memerintahkan sopirnya untuk pulang.
Di dalam ia sudah di sambut oleh para perawat dan asisten dokter yang di pilih untuk membantunya. Rekam medis lengkap dengan hasil MRI juga bagan dan identitas pasien menyambutnya.
"ini tumor keras pada posisi yang riskan. Ini meningioma, mengapa terlalu lama penanganannya?"
Letak tumor yang diidap perempuan 43 tahun itu memang dikelilingi organ vital. Mulai saraf mata, saraf penciuman, hingga salah satu kelenjar hormon.
Kondisi yang memperparah adalah itu tumor keras dan bukan tumor lunak. Akan lebih mudah jika itu tumor lunak mungkin hanya akan memakan waktu 3-4 jam.
Menilai posisi yang sulit dengan tumor keras di tambah lagi pasien sudah mengalami komplikasi pada mata membuat meri harus bekerja keras melakukan perencanaan pada operasi.
Dengan bantuan tiga dokter anestesi, empat perawat dan dua asisten dokter bedah. Meri sebagai dokter pemimpin bedah menyiapkan mental baja dan menarik nafas dalam.
Setelah menunggu dokter anestesi melakukan pekerjaannya, kini bagiannya untuk mulai membedah.
Setiap inisiasi atau sayatan pada tumor ia lakukan perlahan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit. Membedah otak dan mengeluarkan tumor tidak semudah jika tumor berada di tempat yang tidak sensitif.
Proses operasi tidak bisa dengan menggunakan minimal invasive dan harus membuka otak pasien. Salah sedikit akan berdampak buruk pada pasien. Minimal kebutaan atau koma dan kemungkinan terburuknya adalah kematian.
Sebagai dokter pemimpin di ruangan itu, meri bersikap tenang saat terjadi masalah. Keputusan harus ia yang tetapkan walau dengan mempertimbangkan penilaian asisten dokternya.
"dokter ana, sudah hampir empat jam. Sebaiknya dokter beristirahat sebentar" saran seorang asisten yang berada di kirinya.
"baiklah. Pastikan proses anestesi sudah benar dan alat vitalnya normal. Aku akan istirahat sebentar"
Meri keluar untuk melaksanakan shalat dan makan siang. Karena jadwal operasi ini terbilang dadakan dan hampir tanpa perencanaan, ia sampai lupa mengabari ilham.
Ponselnya ia titipkan pada perawat karena tak ingin terganggu dalam berkonsentrasi.
Dua puluh menit kemudian ia melanjutkan operasi. Dengan kaki yang mulai lelah dan tangan yang mulai kram dan gemetar meri berusaha untuk tetap fokus.
"ambilkan aku kursi" pinta meri.
Bukan karena ia tidak sanggup lagi untuk berdiri, ia hanya tidak ingin kelelahannya menjadi suatu kesalahan fatal pada pasiennya.
Di luar pintu keluarga pasien menunggu dengan harapan besar di pundaknya. Ia tidak ingin melakukan kesalahan sedikitpun. Biarlah kematian yang menjadi takdir pasiennya karena penolakan tubuhnya dan bukan pada kesalahannya.
Ia duduk pada kursi yang sudah di berikan oleh salah satu perawat yang turut membantu proses operasi itu.
"dokter, sduah dua belas jam. Anda sebaiknya beristirahat terlebih dahulu"
"Mmm"
Meri terus melanjutkan operasinya tanpa memperdulikan saran asisten itu lagi. Ia sudah beristirahat dua kali untuk salah zuhur dan magrib. Shalat asharnya sengaja ia jamak karena tahu akan memakan waktu lama melakukan operasi kali ini.
"dokter ana, apa perlu aku memanggil dokter jack?" tanya seorang asisten di kanannya.
Meri sudah dapat menilai bahwa asisten dokter di kanannya kurang percaya diri dan kurang percaya pada kemampuannya sebagai dokter pemimpin. Kemungkinan karena ia belum mengetahui banyak tentang meri dan perkiraannya adalah ini pertama kalinya asisten dokter itu melakukan operasi dalam waktu lama.
"tidak perlu"
Di rumah, ilham kalang kabut memikirkan meri yang belum juga kembali hingga pukul dua dini hari.
Ia terus menghubungi ponsel meri dan jawaban dari perawat itu hanya "dokter ana masih di ruang operasi"
Jika tidak ada junior di rumah, ia sudah pasti akan berteriak memaki sopir yang sudah mengantar meri ke rumah sakit. Tak kurang, penjaga di pintu gerbang rumah juga mendapat bagiannya.
"dadi, apa ibu belum juga pulang?" tanya junior saat ia terbangun untuk mengambil air minum dan melihat ilham masih duduk di ruang keluarga.
"belum. Sepertinya operasinya kali ini sangat rumit. Tidurlah, biar dadi yang menunggunya"
"Mmm" jawab junior bergumam.
Dengan segelas air di tangannya, junior masuk ke kamarnya untuk melanjutkan tidurnya.
"tuan, apa ingin saya bu...."
"pergi" usir ilham memotong tak berniat menunggu perkataan pembantu itu selesai.
Ia sangat kesal hingga suara halus sekalipun dapat menaikkan emosinya hingga ke ubun-ubun.
Meri masih sibuk dengan pisau bedah, penjepit dan gunting di tangannya hingga matahari terbit. Ia hanya sesekali istirahat untuk makan dan shalat, selain itu waktunya ia curahkan pada proses pembedahannya.
Operasi itu selesai tepat jam sembila pagi. Yang artinya mereka melakukan operasi itu selama 23 jam.
Meri keluar dari ruangan operasi lebih dulu dan menyerahkan sisanya pada asisten dokternya.
"dokter bagaimana dengan operasi ibu saya?" tanya anak pasien yang juga menunggu tanpa rasa bosan.
"operasi berjalan lancar. Tapi masih memerlukan satu atau dua jam lagi untuk memantau kondisi ibu anda sebelum di kembalikan ke ruang rawat"
"terimakasih dokter"
"sudah tugas saya" meri berjalan perlahan ke meja perawat bagian penerimaan pasien.
"dokter, suami anda menelepon tanpa henti sejak kemarin" ujar perawat yang di titipi oleh meri.
"kemarin? Astaga, aku tidak sadar operasi itu memakan waktu sehari semalam. Baiklah, terima kasih urgu" meri mengambil ponselnya.
"saya yang berterima kasih. Jika bukan karena anda, entah bagaimana nasib saya kemarin"
"jangan sungkan"
Meri mengambil mantelnya dan segera menghentikan taksi untuk segera pulang ke rumah.
Sudah di pastikan murka suaminya itu akan berkali-kali lipat dari biasanya. Ia tidak hanya melanggar perintah suami, ia juga membahayakan kesehatannya sendiri.
"sepertinya kali ini aku harus bersujud padanya" keluh meri pelan saat berdiri di depan pintu gerbang.
Istana indah yang di dambakan setiap wanita itu kini seperti sarang pencabut nyawa yang di takuti setiap manusia. Ia merasa enggan masuk tapi tidak ada gunanya menghindar. Ia hanya bisa berdoa semoga kali ini malaikat lebih dominan di sekitar suaminya dari pada setan.
"aku pu... Lang" ujar meri terbata-bata saat melihat suaminya sudah berdiri dengan ekspresi yang siap memakannya.