"Uwwaaaaaaaa...!!! PERGI! MENJAUH DARIKU! PERGI KALIAN! AGGHHH!!!"
Devan menjerit histeris dan mencoba mengusir para makhluk asing bertubuh mungil itu.
Makhluk-makhluk berbulu, kecil, dan berekor panjang. Keahlian mereka tak lain adalah memanjat dan bergelantungan di pohon-pohon. Iya, mereka tidak lain adalah...
.
MONYET!
.
Semua ini bermula dari....
.
"La, kamu beneran nggak apa-apa?" Tanya Hans sekali lagi, setelah kembali dari membeli minuman.
"Iya, aku nggak apa-apa. Emang kenapa sih dari tadi kamu nanyain itu mulu? Emang mukaku sebegitu pucatnya apa?"
"Yeeeehhh... Akukan nanyain karena khawatir sama kamu, La. Kamunya malah kaya gitu. Ya udah, kalau kamu emang benaran nggak kenapa-kenapa syukur deh. Cuman... Tumben kamu diem aja? Biasanya kan kamu kaya kelinci, lompat sana, lompat sini." Sindir Hans sambil menggoda Clara.
"Iih, aku diem aja malah dikatain gitu, aku ga diem malah disuruh diem. Kamu gimana, sih? Diem salah, ga diem juga salah." Cercaku padanya.
"Iye, iye, aku nyerah deh. Aku yang salah deh... Udah ya, jangan ngambek. Unyu unyu unyuuu... " Bujuk Hans sekali lagi, dengan bergaya konyol bak membujuk anak kecil yang merajuk.
"Iih.. Apaan sih Hans!" Asli maluin banget di depan banyak orang dia malah digituin aku.
"Tapi La, kamu ngapain bawa-bawa tas ransel segede gunung gitu?"
"Njirrr... Segede gunung gimana? Ini mah biasa aja."
"Masa? Itu penuh gitu, kamu bawa apaan, sih? Kaya orang mau camping di gunung aja. Bawaan seabrak-abrak. Kita kan cuma mau jalan-jalan nyantai." Tanya Hans dengan curiga.
"Ih, udah ga usah dibahas!" Cetusku.
Ketika aku dan Hans masih sibuk berantem, Angga memanggil kami semua untuk berkumpul.
"Oiii... Ngumpul lu pada! Gue mau kasih pengumuman rencana hari ini!" Seru Angga sambil teriak-teriak macam sales yang lagi memasarkan produk diskonan.
"Apa lagi sih, Ga?" Tanya Devan.
"Gini, gimana kalau kita pergi ke pulau kembang?" Usulnya.
"Hah? Pulau kembang? Apaan tuh?" Tanya Devan heran. "Pulau yang banyak bunganya?"
"Bwhahaha...." Angga ketawa ngakak setelah mendengar pertanyaan Devan dengan wajah polosnya itu.
"Hahaha... Nggaklah Dev, ini pulau bukan pulau yang ditumbuhi banyak bunga. Yang jelas gue juga ga tahu kenapa nama itu pulau jadi gitu. Padahal tuh pulau ga ada sangkut paut sama namanya." Jelas Angga pada kami.
Devan antara bingung, penasaran sama heran. Setalah berdiskusi, kami pun sepakat untuk pergi ke pulau tersebut.
"Yuk, naik." Seru Angga ketika kita berhasil membeli tiket untuk naik kelotok menuju pulau itu.
Sambil berjalan, Ren mendekat, seraya bertanya kondisiku. Ternyata Ren juga sudah memperhatikan diriku dari tadi, tetapi tak bisa menyapaku karena ada Hans dan Kevin yang juga saat itu terus menariknya ke sana ke mari, untuk ditemani berkeliling.
Kami menaiki salah satu kelotok yang ada di pinggir sungai siring. Kebetulan kelotok itu masih kosong, dan tampaknya kami menjadi satu-satunya rombongan yang akan berangkat dengan kelotok tersebut.
Butuh kurang lebih sekitar 1 jam untuk sampai di pulau yang kami tuju, yaitu pulau kembang.
Di perjalanan menggunakan kelotok kami disuguhi dengan berbagai macam pemandangan. Mulai dari rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir sungai, hingga pemandangan laut biru, di mana tak jarang akan kita jumpai kapal-kapal besar pengangkut batu bara melintas.
Setibanya di pulau, kami mendapati cukup banyak turis asing dan wisatawan lokal dari berbagai daerah, yang juga berkunjung ke tempat ini. Tiba-tiba saja suasananya menjadi begitu bising. Mulai dari pemandu kami yang menjelaskan aturan berkunjung, hingga orang-orang yang tengah sibuk mencari rombongannya.
Ketika kami masuk, kami disambut dengan jalan yang dibuat menggunakan kayu, seperti jembatan-jembatan kecil yang terbagi menjadi 3 arah. Salah satu jalan menuju ke suatu tempat, seperti pondok yang tak lain adalah kuil.
Kuil monyet atau kera. Kuil itu memiliki dua buah patung kera, bisa dibilang seperti patung "Kera Sakti".
Saat melihat kuil itulah kami baru menyadari banyaknya keberadaan makhluk bertubuh kerdil itu di pulau ini.
Ternyata pulau kembang adalah pulau yang dihuni oleh ratusan MONYET!
Mereka ada di mana-mana! Di jalan, di atap kuil, di pohon, di kolong kayu, dan semak-semak.
Awalnya kami semua menikmati hiburan 'memberi makan monyet' dengan damai, hingga insiden 'peperangan' itu terjadi.
Devan sebenarnya agak takut dengan hewan berbulu satu ini. Namun rasa penasaran dan ketertarikannya mengalahkan rasa takut yang ia miliki. Apa lagi ketika dia merasa enjoy saat memberi monyet-monyet itu biskuit dan kacang.
Sampai ia menemukan satu monyet yang tampak duduk diam. Monyet itu tampak tak tertarik dengan makanan yang diberikan oleh orang-orang. Dia selalu membuang semua makanan yang ada.
Tetapi, entah apa yang menarik perhatian monyet sombong itu, hingga tiba-tiba menarik kaki Devan. Devan yang kaget pun panik! Apa lagi ukuran monyet tersebut cukup besar daripada monyet lainnya.
Belum cukup sampai di situ, beberapa monyet kecil yang bergelantungan juga tiba-tiba saja melemparkan diri mereka ke pelukan Devan. Dan... Di sinilah kita sekarang.
Devan dengan gerombolan penggemar barunya. Para penggemar fanatik yang anarkis. Mungkin karena Devan terlalu imut dan manis, jadi para monyet itu naksir. Hahaha...
"Pergi, pergi... singkirkan mereka!" Jerit Devan yang kini menjadi tontonan banyak orang.
"Hahahaha..." Kami semua justru hanya tertawa geli menyaksikan insiden ini, tanpa benar-benar bersimpati pada Dev. Ini peristiwa yang terlalu sayang untuk dilewatkan.
.
Sreeeekkkk...
.
Tiba-tiba saja aku mendengar sebuah suara dan sekali lagi, merasa bahwa ada orang yang sedang mengawasi kami.
Tubuhku merinding, seperti memberi peringatan akan adanya bahaya. Aku sontak panik dan dengan cepat memandang sekelilingku. Tetapi tak ada satupun hal ganjil yang aku temukan, hingga...
{"Dia! Ya, pria itu! Pria yang sempat mengawasi kami saat di pasar terapung!'}
Tak begitu jauh, di antara pepohonan hutan, yang di kelilingi oleh air, di situlah pria itu berdiri. Memandang dan mengawasi kami dalam bayang. Dan kemudian dia tersenyum. Senyum yang sangat menakutkan!
Entah mengapa, aku merasa senyuman pria itu tampak suatu pertanda yang baik. Senyumnya mampu membuat sekujur tubuhku merinding.
Ketika itu, tak ada yang benar-benar menyadari kalau kami telah masuk dalam sebuah permainan 'gila'. Tak satu pun dari kami yang menyangka bahwa ini akan menjadi moment konyol kebersamaan kami. Moment canda dan tawa terkahir kami, sebelum semua mimpi buruk ini di mulai!
.
*****
.
"AGGHHH!!!"
"DEVANNN!!!"
Kami menjerit, ketika menyaksikan Devan yang terjatuh tiba-tiba diseret pergi, masuk ke dalam semak-semak hutan.
{'Apa yang sebenarnya terjadi?!'}
{'Kenapa semua ini bisa terjadi???!!!'}
Perasaan takut, cemas, dan putus asa ini telah menghantui kami setiap harinya. Tak ada penerangan, tak ada makanan dan tak ada keamanan!
Terlebih, tak ada sinyal maupun alat komunikasi yang dapat kami gunakan untuk meminta bantuan ataupun informasi!
{'Sial!'}
Setiap hari, setiap jam, setiap menit dan setiap detik hidup kami mulai dipenuhi rasa was-was dan cemas. Semenjak kami sampai di tempat ini, tak ada lagi rasa tenang, nyaman dan aman yang dapat kami rasakan. Kegelapan dan rasa takut terus menghantui langkah kami.
Ketik malam tiba, kami takut untuk untuk memejamkan mata. Jangankan tidur, berdiri, duduk atau diam untuk beristirahat pun kami tak berani! Setiap detiknya, langkah-langkah kematian semakin mendekat, mengejar dan mengincar hidup kami!
Hari ini adalah hari ke-10, kami hidup dan terjebak di pulau misterius ini!
{'Sial! Sial! Sial!!!'}
Aku tak bisa lagi menahan diriku untuk tak berkata kasar. Hari Devan mencapai batasnya, ia mulai tak kuat, bahkan hanya untuk berjalan.
Sebuah keajaiban memang, ketika dia masih tetap dapat bertahan hingga hari ini, setelah bertahap menghadapi siksa dan teror pulau ini. Meski dia hampir-hampir mati setiap harinya, tapi kali ini dia benar-benar telah mencapai batasnya! Tak akan ada lagi keberuntungan yang mungkin dapat menolongnya. Karena hari ini, ia telah kehabisan 'keberuntungan' itu.
Sulit memang, untuk bertahan hidup hanya dengan mengandalkan faktor keberuntungan. Karena tak selamanya keberuntungan itu ada dan datang menolong kita, tanpa adanya sebab!
"AGHHHHHH!!!!!"
Jeritan Devan menggema di seluruh pulau ini. Entah apa yang terjadi padanya. Kami tak memiliki tenaga untuk mengejar dan mencari Devan. Meski kami ingin menolong, tapi apa daya kami? Dengan kondisi mental dan fisik ini, apa yang bisa kami lakukan? Kami semua diambang kehancuran! Sangat tak logis jika kami harus mengorbankan tenaga terakhir kami, hanya untuk mencari Devan!
{'Maaf.... Maaf Devan... Bukannya kami tak mau menolong ataupun menyelamatkanmu. Tapi kondisi ini? Situasi ini? Bagaimana bisa kami melakukannya?!
Jangankan menyelamatkanmu, melindungi diri kami sendiri saja, sungguh tugas yang begitu berat!
Jika saja kita hidup dalam kondisi 'normal', akan ada kemungkinan kita untuk tetap saling menolong, melindungi, peduli dan menyelamatkan orang lain tanpa memikirkan resiko. Namun saat ini? Siapa yang akan tetap dapat berfikir atau bersikap normal dan tenang? Semua orang hanya punya satu insting.
Menyelamatkan diri! Menyelamatkan dan melindungi diri sendiri!
Jika saja keadaan tak mendesak, serta memaksa kami, saat ini kami pasti tanpa ragu akan berlari menyelamatkan Devan! Tapi situasi ini tak mendukung!
Maaf.'}
Kami terpaksa harus membuat pilihan pahit. Antara menolong Devan atau mengorbankannya demi menyelamatkan diri kami sendiri.
Hanya jika situasi ini memungkinkan, barulah kita bisa menolongnya atau hanya jika kau benar-benar orang yang entah 'setia' atau hanya terlalu 'bodoh' akan tetap memprioritaskan keselamatan orang lain, ketika keselamatan dirinya sendiri saja terancam.
Ini bukan komik ataupun cerita film. Di mana kami dengan mudahnya dapat tetap bertahan serta memiliki tenaga untuk melakukan segalanya!
_______********______
Gabung dengan server discord-ku
https://discord.gg/haPjuxc8XS
.
Dukung Author di ko-fi
https://ko-fi.com/aida_hanabi
.
atau trakteer
https://trakteer.id/aidahanabi
Suka dengan cerita yang kutulis?
Jangan lupa vote, komen, dan berikan Author kejutan ya~~~ (◍•ᴗ•◍)❤
— 次の章はもうすぐ掲載する — レビューを書く