"Jangan sembarang lo omong!" balas Aming saat Rian menuduh dia yang menyebarkan video itu.
"Makanya kalau bukan elo?! Ceritakan ke gue?!" hardik Rian nadanya tidak jauh lebih keras dari Aming.
Meskipun kamar Aming endap suara. Yang pasti tetap terdengar oleh orang yang ada diluar walau tidak terlalu jelas. Buat orang yang diluar mungkin itu suara sedang bermain game.
Cukup lama mereka berdiam di dalam, Rian tetap akan menunggu Aming siap menceritakan tentang cewek itu.
"Memang sepenting apa elo penasaran sama dia? Elo saja nggak kenal sama dia," Aming bersuara.
"Gue penasaran," jawabnya cepat seakan dia tidak sabar lagi.
Aming sekali lagi melirik Rian, dapat dia lihat jelas bahwa Rian benar-benar serius ingin mengetahui soal Anita.
"Ya, walau gue memang nggak kenal dia, tapi gue boleh tau, kan, soal dia. Seenggaknya gue nggak salah kaprah soal kasus dia, bukan sok pahlawan sih, kalau gue kepo soal beginian?!" lanjutnya.
"Elo tenang saja, gue nggak akan bilang siapa-siapa kalau elo cerita ke gue," tambahnya lagi sembari menepuk bahu Aming.
"Bukan soal itu, elo tau di tempat ini nggak nyaman soal hal beginian, apalagi tembok saja punya mata dan telinga. Jangan karena pembahasan ini elo berkasus juga, lebih baik nggak usah tahu soal cewek itu," ucap Aming kembali menutupi permasalahan soal Anita.
Rian bangun dari duduknya dan membuka kulkas kecil ada di kamar Aming. "Memang kenapa? Elo takut kalau ada orang yang adu domba soal permasalahan ini? Kita bahas soal yang lain, kalau ada orang coba adu domba, berarti informasi itu dari orang itu, apa yang harus kita takutkan? Kita cuma membantu untuk cari solusi bukan memperpanjang masalah. Coba elo di posisi dia, pasti cewek itu butuh pertolongan yang bisa dipercaya, elo sahabat baik dia, kan? seharusnya elo juga merasakan betapa dia menderita di sana sekarang?" ucap Rian begitu panjang lebar tanpa henti-henti.
Aming diam, tidak membalas ucapan panjang lebar dari Rian. Rian kembali duduk di tempatnya, sambil membuka minuman kaleng itu. "Apa elo begitu tega membiarkan dia menderita di sana? Bagaimana keluarga dia di Indonesia, mereka pasti akan bertanya pada mu tentang anaknya di sini. Apa yang akan elo katakan pada mereka nantinya? Walau elo beda kantor dengan mantan bos abangnya?" ucap Rian lagi hingga buat Aming tidak bisa berpikir jernih lagi.
Apalagi di apartemen sekarang ini Anita dalam keadaan sangat buruk. Ia lebih banyak diam sejak keadaan semakin memburuk padanya. Bahkan ponsel pemberian dari Andre sengaja dia matikan. Tidak peduli jika Andre berkali-kali menghubungi dirinya.
Saat ini Anita sedang duduk di balkon sambil memandang ujung langit ditutupi oleh gedung-gedung tinggi itu. Pikirannya seakan kosong tidak ada lagi yang bisa ia jernihkan. Ia beranjak dari tempat duduknya, dan mendekati tepi tiang balkon itu. Sesekali ia menunduk ke bawah, cukup tinggi jarak jika melihat dia sana. Tanpa ia sadar lagi, kaki kanan Anita menaiki pembatasan penghalang tiang itu. Lalu disusul oleh kaki kirinya, sekarang posisi Anita telah seimbang dengan tiang itu, setelah itu .....
"Apa yang kau lakukan?!" bentak Andre menarik tubuh Anita menjauh dari tempat di mana posisi dia berdiri tadi.
Anita masih menatap kosong meskipun dirinya telah menjauh dari tempat dia berdiri. Andre memutar badan Anita menatap sangat marah padanya. Tetapi Anita seperti melamun, ia masih menatap tempat itu.
"Apa kau sudah gila? Bukan cara seperti ini kalau kau mau bunuh diri?!" bentak Andre lagi seakan dia sangat marah pada Anita bertindak sangat bodoh.
Ya, dia tau kalau saat ini Anita depresi atas video yang semakin marak beredar di mana-mana. Sampai sekarang Andre belum juga menemukan siapa yang menyebar video itu. Meksipun Stella mengakui bahwa video asli ada di tangannya. Tetap saja Stella tidak akan lepaskan Anita jika dia tidak segera pisah dengannya.
Anita menoleh pada Andre, menatap dua manik cokelat milik Andre. Dapat Anita lihat dua mata itu sangat marah padanya. Apalagi dengan cara membentak dirinya.
"Lebih bagus aku mati, daripada aku disebut penghancur rumah tangga orang? Buat apa hidup, tidak ada yang sayang sama aku? Mereka? Apa mereka masih peduli padaku setelah aku kembali? Yang ada aku semakin membebani mereka, mereka sudah cukup lelah mengurus keluarga sendiri? Aku? Aku hanya pembawa sial bagi semua orang, jadi untuk apa aku hidup kalau masa hidup ku hanya merusak rumah tangga orang?" gumam Anita, walau ia terus mencemooh tidak karuan, Andre bisa mendengar sangat baik.
"Tidak ada yang membebani mu?! Mereka sayang padamu?! Siapa bilang kau pembawa sial, tidak ada yang sial?!" ucap Andre meyakinkan Anita.
"Benarkah? Masih ada yang sayang aku? Siapa?" Anita bertanya pada Andre.
"Mereka, orang tuamu, abang mu, saudara-saudaramu, dan pastinya aku juga," jawab Andre pelan sambil mengusap pipi Anita.
*****
"Pasti gua tidak akan biarkan itu terjadi, tapi gua bisa apa? Itu urusan dia, meskipun gua sama dia dekat, tapi gua uda nggak pernah komunikasi sama dia. Chat gua aja nggak dia balas sampai sekarang setelah video itu beredar," ucap Aming menjelaskan kepada Rian.
"Sama kalau begitu, pasti dia mencoba menutupi dirinya. Gue dapat info dari teman gue satu kamar. Kalau teman dia satu apartemen dengannya. Apakah jangan-jangan teman elo...." Rian mulai teringat sesuatu, dia pun bangun dari tempat duduk. Membuat Aming ikut mendongak padanya.
"Ada apa?" Aming bertanya, "Sepertinya gue tau semuanya, ya uda gue cabut dulu, nanti gue balik lagi kalau sudah tau semua dengan jelas?!" Rian pun berlalu keluar dari kamar Aming. Dan Aming terlihat heran-heran sama sikap Rian itu. Kadang orang lain satu kantor sama dia, bisa kesal dengan sikapnya itu.
Ya, sudah dua orang yang membuat kesal atas sikap Rian tadi. Pertama di kafe, kedua di kamar Aming. Untung Aming sudah tau sifat-sifat Rian, jadi tidak perlu dia heran lagi.
Rian segera turun dari asrama Aming, tepat pula di sana anak-anak baru saja pulang dari kantor untuk ganti shift malam. Rian segera menghampiri teman-temannya yang memarkir kereta tersebut.
"Pinjam kereta dulu?! Nggak ada yang pakai, kan?" timpal Rian pada teman-temannya.
"Ada, Boy!" jawab temannya. Rian sudah menduduki kereta itu dan menghidupkan lalu mendorong mundur, kemudian Rian pun berkata pada temannya, "Suruh dia nebeng anak B saja, ya!"
Temannya itu baru saja akan membantah Rian sudah berlalu pergi dengan kecepatan sedang. Mau tidak mau menuruti, mau gimana lagi. Itulah Rian.