Hanan terkejut mendapati perempuan ber-khimar hitam yang dikenalinya, sudah duduk manis di salah satu tempat di kafenya.
"Hasna …." lirihnya.
Hana memang telah mengabarinya kemarin melalui gawai, tetapi tetap saja rasa terkejut merajainya. Ditambah lagi, sang adinda tidak ada bersama Hasna. Ingin didekati, takut terlihat tidak pantas. Tidak didekati merasa rugi. Menarik napas dalam dan mengembuskan dengan kasar dilakukannya. Gawai yang di saku celana dikeluarkan. Saat hendak menghubungi adiknya, dari arah pintu utama gadis itu tergesa-gesa masuk hingga membuat pintu kaca berdebam keras.
"Hana, pelan-pelan. Kayak dikejar setan aja." Hasna meneguk air mineral yang tersedia di atas meja.
"Ck! Ada anjing tadi di depan. Aku takut, makanya cepat-cepat."
Hasna tersenyum lebar, teringat akan Hana yang sangat takut kepada anjing sebab pernah dikejar-kejar bahkan hampir digigit.
"Mana maskernya? Tadi katanya mau beli masker di swalayan, kan?" tanya Hasna memandangi Hana.
"Masker? Haih!! Aku lupa."
"Lupa?"
Hana mengangguk.
"Terus ngapain aja ke swalayan kalo gitu?"
Hana menampilkan senyuman kaku. Melirik atas-bawah dan samping kiri-kanan. Seperti hendak memikirkan jawaban yang tepat.
"Pasti beli es krim, makan di sana. Takut ketahuan abangmu, kan?" tebak Hasna.
Hana memajukan bibir sambil memalingkan muka karena jawaban yang kawannya berikan sangat tepat, akurat, tidak salah. Hasna yang melihat respons saudari Hanan tersebut tertawa kecil. Hanan yang sejak tadi memastikan menahan senyum. Dia terlihat sangat senang ketika melihat interaksi hangat yang tersaji. Kemudian dia pun memutuskan untuk menghampiri dua perempuan itu dengan jalan perlahan hingga sampai ke meja mereka..
"Sudah sampai?" Hanan membuka percakapan.
"Abang!" seru Hana.
"Jangan kenceng-kenceng suaranya, Dek."
"Bang Hanan," sapa Hasna menundukkan kepala.
Hanan merespons sekadarnya. "Kalau mau pesan, jangan malu-malu."
"Nggak dong. Ngapain malu?" Hana membalas cepat.
"Bukan Hana. Kalau Hana memang enggak pernah sungkan." Hanan menepuk-nepuk pundak adiknya.
Hana tersipu malu. Hasna hampir saja menertawakan kalau tidak ingat Hanan ada bersama mereka. Lalu, pemuda tadi pun pamit undur diri dan mempersilakan dua perempuan favoritnya menikmati hari di kafenya.
Hasna memandangi punggung Hanan yang berlalu dari sana. Punggung kokoh tempat Hana bersandar yang hampir rapuh karena ayahnya dan mantan suaminya. Wanita itu belum lupa bagaimana dua laki-laki itu memukuli Hanan hingga babak belur hanya karena mengetahui cinta Hanan terhadapnya.
Beberapa tahun lalu, saat Hanan mengutarakan cintanya, Hasna menolak dan mengadukan hal tersebut kepada ayah dan kekasihnya. Bukan maksud perempuan itu agar Hanan didera, ia hanya ingin membagi saja sebagai seorang anak dan kekasih. Namun tidak disangka malah beda kejadiannya. Saat mengetahui abangnya dipukuli, Hana mendatangi ke rumahnya dengan wajah sembab. Matanya menggambarkan betapa sedih gadis itu. Hasna mengucapkan permintaan maaf yang dibalas Hana dengan suara serak.
"Kenapa minta maaf? Bukan salahmu. Salahku yang terus berharap kalian bisa jadi suami-istri."
"Alhamdulillah. Bagus kalo sadar. Orang-orang kayak kalian memang harus dihajar dulu baru paham." Ayah Hasna yang ada di sana menjawab sinis.
"Orang-orang kayak kalian? Maksudnya orang miskin?" Hana memastikan. Dia ingin mengatakan bahwa kakak lelakinya sudah memiliki rumah dan usaha kecil. Mereka tidak semiskin dulu.
"Orang-orang yang gak dididik orangtua. Orang miskin juga banyak yang beradab, tapi orang tanpa didikan luhur orangtua, meski kaya pun tak berharga di mataku."
"Ayah!" Hasna merasa ayahnya keterlaluan. Perempuan itu tahu bahwa Hana baik, bahkan terlampau baik. Dia memperlakukan teman-teman layaknya saudara, tidak pendendam, serta hal baik dan perintah agama dia jalankan semaksimal mungkin. Faktanya Hana dididik oleh abangnya. Jelas sekali mereka orang-orang baik juga.
Lamunan akan kenangan beberapa tahun silam, sirna ketika Hana menanyakan hal yang selalu ia tanyakan dahulu.
"Hasna, mau gak jadi kakak iparku?"
Orang yang ditanyai memukul lengan Hana pelan. Lagi-lagi dia teringat saat membohongi Hana, berjanji tapi diingkari. Hasna menggeleng.
"Aku enggak pantas."
"Oh, bisa ralat itu? Maksudnya kamu gak sudi?" Hana mengoreksi.
"Terserah mau anggap aja. Intinya nggak mau."
"Aku gak nyangka ada perempuan sekejam Hasna."
"Aku juga takjub ada perempuan yang tahan berteman dengan perempuan kejam."
Hana bangkit. Hasna menggodanya, "Hana Sitarani ngambek? Mau kabur?"
"Sembarangan! Orang aku mau ke toilet, sakit perut. Mau buang air besar!" Hana lalu pun cepat-cepat meninggalkan Hasna.
Senyuman Hasna terukir. Tak menyangka dia bisa sedekat ini dengan Hana. Padahal dulu, melihatnya saja dia tak sudi. Menganggap Hana cuma saingan dalam belajar. Lainnya, tak ada. Terpengaruh pada teman-temannya, ia ikut-ikutan menjaga jarak dari Hana, siswi yang berusaha mendekatinya, berteman dengannya. Bahkan ketika sekolah menengah atas sampai ke perkuliahan, mereka pun bersama. Baru dekat ketika di bangku kuliah.
Berbicara tentang itu, Hasna ingat sekali pernah patah hati sewaktu di masa perkuliahan. Kekasihnya berkhianat dengan sahabatnya, tapi sekarang keduanya berganti status menjadi mantan. Saat itu, Hana mengulurkan tangan dan menghiburnya. Kebersamaan mereka membuat Hasna mengubah pandangannya. Kian hari mereka bertambah akrab. Kedekatan mereka juga membuat Hasna banyak bersyukur dan tidak lagi mengeluh mengapa ibunya harus meninggalkannya begitu cepat.
Ketika tiba-tiba mantan kekasihnya meminta maaf dan minta Hasna kembali menjadi kekasihnya, Hana paling keras menentang. Hasna kala itu juga ragu, tidak bisa menentukan pilihan karena dia sendiri masih menyimpan rasa kepada si pemuda.
"Hasna bakal jadi kakak iparku, bukan istri si Dadon."
"Dion."
"Ah terserahlah! Dadon, Dion, Daon. Pokoknya yang selingkuh itu."
"Hm …."
"Janji?"
"Hm …."
"Serius ini! Lagian pacaran kan haram, dosa. Mending sama Bang Hanan. Langsung dinikahin. Kami juga gak miskin kayak dulu kok."
Hasna tertohok. Bukan karena status sosial yang membuat Hasna menolak, tapi memang dia tidak memiliki rasa spesial untuk Hanan.
"Hana, bicara apa sih?"
"Hm? Bukannya dulu karena aku miskin ya makanya kamu jijik ke aku? Buktinya pas udah kuliah gini, mau bergaul sama aku." Hana berkata seakan-akan dia serius.
Hasna beristighfar dan menjelaskan ulang bahwa dia hanya salah paham dulunya. Kemudian menceritakan betapa sayangnya sekarang kepada Hana. Inilah yang ditunggu adik perempuan Hanan. Ketika Hasna mengatakan cinta padanya. Prinsip saudari Hanan adalah : adiknya dulu, abangnya akan menyusul juga akan dicintai Hasna.
"Hasna, janji ya jadi kakak iparku di masa depan nanti?" Hana memeluk Hasna.
Untuk membuat rengekan Hana berhenti dan tidak terus-terusan menanyainya seperti tadi, Hasna terpaksa mengangguk, mengiyakan. Hana yang dalam pelukan Hasna bersorak sambil mengeratkan pelukan.
Ingatan itu menyebabkan Hasna tertawa kecil, antara geli dan miris. Tidak tahu mana yang lebih mendominasi. Ia memejamkan mata sejenak, lalu mengedarkan pandang ke arah kiri. Tak sengaja memergoki Hanan yang juga sedang memandangnya. Mulut Hasna terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tetapi Hanan lebih dulu bersuara.
"Di mana Hana?"