Tak peduli kedua kaki yang melemas dan bergetar itu menginjak pecahan kaca, Bella setengah berlari mendekat pada Rafa di sisi kiri tempat tidur. Sejenak, Bella mengambil jarak, memproses pemandangan didepannya. Tangisan Rafa masih terdengar, namun tak sekeras tadi karena kehadirannya. Berkali kali Bella mengedipkan matanya cepat, guna sekali memperjelas bahwa Ia tidak sedang bermimpi sekarang meski kakinya sudah sakit dan berdarah. Ini bukan mimpi.
Ini nyata, bahwasanya penyebab menangisnya Rafa adalah keterkejutan sekaligus ketakutannya akibat tangan sang Papa yang tiba tiba menggenggam lengan mungilnya.
Tidak cukup sampai disitu, mata cekung Tristan terbuka, menyorotnya tajam.
Anak kecil mana yang tidak merasa terintimidasi?
"Mamaa!" tangis Rafa lagi, menyadarkan Bella dari lamunan singkatnya.