Gerald menghentikan mobilnya di depan terminal kedatangan Bandara. Ia yang datang bersama Natasha dan Sekar itu sudah antusias menantikan kedatangan Tyra yang katanya dibuat diam diam. Ya, risiko karena memiliki anggota keluarga yang sangat terkenal memang seperti ini.
Sebenarnya baik Gerald dan Sekar biasa aja jika kehidupan tenteram mereka turut sedikit terekspos media. Namun Tyra rupanya lebih banyak pertimbangan, tak mau keponakan cantiknya, Natasha terganggu privasinya.
Gerald dan Sekar memaklumi saja, karena Tyra beberapa kali mengatakam buruknya media sosial untuk kesehatan mental dan sejenisnya, meskipun Ia juga pengguna profesional.
Contoh tidak baiknya, seperti sekarang ini, dihadapan Gerald dan Sekar langsung; para penggemar bahkan tahu keberadaan Tyra entah dari mana. Platform yang dicurigai pastinya media sosial. Cepat sekali gerak mereka itu, padahal Tyra tak melakukan apapun.
"That's Auntie Tyra!" Natasha sudah berseru kegirangan, bahkan beranjak dari safety chairnya ke depan.
"Yeah, that's your cool Auntie, Natasha!" timpal Sekar tak kalah heboh, membuat Gerald terkekeh geli, "Bentar lagi tuh. Tasha, please back to your chair, okay?"
"Okay Dada!" Natasha menurut, duduk rapi bersiap menyambut Tyra dan iring iringan penggemar berkamera itu.
CKLK!
"Haaaai!" sapa Tyra pada Tasha dan orangtuanya.
"Thank you for coming ..." pamit Tyra menutup pintu perlahan untuk para penggemarnya itu. Hingga pintu akhirnya tertutup sempurna, "Tashaaaa! How are you, Darling!"
Selalu heboh jika Tyra bertemu Tasha seperti ini. Anak itu dipeluk dan diciumnya bagai boneka, "Auntie!"
"You've grown up, Tasha."
"Surely cause we feed her well ..." ujar Gerald setengah tertawa, matanya fokus pada kemudi dan jalan keluar bandara. "Hey Gerald! How's life?" sapa Tyra akhirnya.
"Life is good. You?"
"Oh, not really."
"Why? Sedang ada masalah Tyr?" Sekar, Kakak Ipar yang selalu perhatian itu cepat tanggap.
"Auntie, are you sad? Please take off your glasses, I wanna see your eyes!"
Tyra tertawa pelan mendengar penuturan bocah empat tahun itu, "See?" Tyra membuka kacamatnya, "I'm good, I'm strong and not crying, Tasha."
"She lied, Tasha. Ask her what's the problem!" Gerald memanas manasi, memanfaatkan anak sendiri sebagai wartawan. Sekar hanya bertingkah mengawasi.
"No, I'm totally fine!"
Kakaknya itu hanya terkekeh, "Berbohonglah dengan benar, Tyra. Tidak masalah jika Kau tidak ingin bercerita, asal Kau benar-benar datang kesini untuk bersenang-senang dan melepas kejenuhanmu," peringat Gerald.
"Tenang saja, Aku memang berencana liburan penuh selama satu minggu."
"Bagus. Tasha mengatakan ingin mengajakmu menginap di vila desa. Aku pikir Kau pasti menyukainya."
****
Dingin malam itu, masih dalam suasana musim dingin meski salju tidak turun. Perangkat cuaca di ponsel bahkan menunjukkan suhu sekitar sepuluh derajat celcius saja. Api unggun dalam tong kecil buatan Gerald tak cukup menghangatkan, membuat Sekar harus membawa Natasha kembali ke dalam cottage. Tersisa Gerald dan Tyra yang saling diam.
Kakak beradik itu memang cenderung pendiam satu sama lain. Pekerjaan dan kehidupan yang berbeda kontras menjadi penyebabnya, meski tentu ada beberapa hal yang tetap bisa diangkat sebagai topik pembicaraan beririsan.
"Aku sungguh bertanya padamu, Tyr. Kau sedang bermasalah kenapa? Siapa lagi yang membuat Adikku ini tidak nyaman hidupnya?" tanya Gerald, kondisi Tyra secara mental selalu Ia khawatirkan. Tak ayal pria itu bertanya berulang.
Tyra tersenyum simpul, "Aku masih bisa menanganinya. Jika Aku buntu, Kau tahu Aku selalu datang padamu, Kak."
"Mama? Eric? Alsy? Perusahaan?" Gerald tak mau menurut, malah mendesak Tyra untuk berbicara.
Tyra lantas menghembuskan nafasnya kasar, membuang udara panas yamg akhirnya mengembun lurus bak asap kereta api jaman dulu. "Aku hanya sedang berpikir soal hubunganku dan Eric. Belakangan Aku merasa hubungan Kami tidak terlalu baik ..." jujurnya kemudian.
"Apa Kau sudah tidak mencintainya?"
"Hmm ... tidak. Mungkin Aku hanya bosan? Pada dasarnya Eric itu hanya sesekali sedikit kekanak-kanakan dan tidak dewasa. Selebihnya, Ia selalu menjadi pria baik untukku."
Gerald mengangguk-ngangguk, "Aku paham, wajar jika manusia mempunyai titik jenuh, atau bosan. Tapi jangan sampai gegabah, kalian sudah lama sekali berpacaran. Kalian juga sama sama seorang public figure. Kalian harus membicarakannya baik-baik, dan ... apapun keputusan akhirnya, Aku harap Kau akan selalu memihak dan menghargai dirimu sendiri," nasihat Gerald panjang lebar.
Lanjut keduanya membicarakan berbagai hal di pekarangan cottage yang menghadap danau dan perbukitan hijau. Tentram sekali di desa, jauh dari polusi dan deru mesin kendaraan bermotor, sampai akhirnya Gerald pamit duluan karena mengantuk, tersisa Tyra dan agenda me-time nya sendirian. Jangan pikir Tyra akan takut sendirian malam malam di tempat sepi seperti itu. Sebaliknya, Ia selalu tempat sepi meskipun ada kesan horor sedikit sedikit.
Gadis itu bahkan berjalan jalan ke sepanjang bibir danau, sesekali menendang kerikil pelan pelan hingga tercebur ke danau. Sepatu boots berbahan kulit agak kaku itu menambah kekuatan tendangan, karena batu itu terpental jauh meski Tyra hanya merasa menyentuh ujung kerikil itu.
Namun sepertinya kali ini Ia terlalu keras menendang kerikil di atas rerumputan hijau basah itu. Sudah lebih kuat, salah sasaran pula, lantaran kerikil itu tak jatuh ke danau, melainkan lurus ke depan dan ...
Menabrak sepasang kaki manusia.
Pikiran Tyra berhenti, kepalanya masih menunduk seraya memproses siapa gerangan orang yang ada setengah meter darinya itu? Seingatnya hanya ada Gerald dan keluarga disini.
Sepasang kaki itu tak bergerak sedikitpun. Jarak antara sepatu kulit berwarna hitam kanan dan kiri itu bahkan tak berubah saking si pemilik yang sangat diam.
Siapa dia?
Lalu berani beraninya kabut dingin melintasi kedua kaki manusia itu, semakin menambah kesan horor nan misterius. Perlahan, Tyra akhirnya melangkah mundur, dengan matanya yang tak berani mendonggak untuk memeriksa siapa gerangan orang yang muncul tiba tiba itu.
Jarak terpaut satu meter, keputusan Tyra bulat; Ia harus berlari ke dalam cottage, mengadu pada Gerald dan Sekar. Namun tepat begitu Ia bergerak selangkah ke kanan, sebuah suara membuatnya mematung, "Elleanor Tyra ..."
Suara laki-laki, dan Tyra pastikan bersumber dari orang itu. Tyra memejamkam matanya, dan Demi Tuhan, Ia memang tak percaya makhluk halus, tapi apa yang dialaminya saat ini ...
Membuatnya takut, merinding sendiri.
"Elleanor ..." ulang seseorang itu.
Tyra meneguk salivanya dalam-dalam, Ia menolak untuk terjebak lebih jauh dalam situasi payah ini, hingga akhirnya Ia mendonggak perlahan, "Y-ya ..?" tanyanya singkat nyaris tak terdengar terbias angin. Detik berikutnya, Tyra tak bergeming, tatkala mendapati seorang pria berambut sebahu dengan pakaian bergaya klasik tak umum berdiri di depannya, di tengah kabut dingin.
Laki laki itu ...
"Ka ... Kau ... Kau yang waktu itu? Gala dinner?" tanyanya terbata.
"Elleanor ..." laki laki bermata biru itu berujar datar, datar tanpa ekspresi. Ingin Tyra katakan seperti robot, tapi kulit pucat dan organ tubuhnya memang khas manusia. Dia bukan hantu seperti yang dituduhkan para pengikutnya di Instagram tempo hari.
"Kau siapa ...?"
"Elleanor ..."
"Darimana Kau tahu namaku?"
"Elleanor ... Elleanor Tyra ..."
"Elleanor ..."