"Zalfa maaf, Kamu pulang bareng Dewan ya, Saya ada panggilan dengan klien," ujar Delvis, yang tidak enak sudah janji dengan Zalfa.
"Siap."
"Enggak! Eum maksudnya, Aku juga ada janji."
"Sama siapa?" Tanya Dewan cepat.
"Kepo!" sewot Zalfa.
"Emang punya temen? Perasaan gak ada deh."
"So tau banget, orang dia baru pulang dari luar kota."
"Yaudah hati-hati, Saya pergi duluan semuanyaa."
Setelah Delvis pergi, Zalfa merasa diawasi oleh Dewan.
"Kok belum pulang?"
"Gue temenin Lu sampe temen lu datang."
"Aduh, sayang banget sama gue ya, sampe takut gue kenapa-kenapa, tenang gue aman."
"Gak bisa! Gue akan tetap tungguin."
"Gini deh, kalau ada apa-apa, gue langsung kabarin lu. Atau gak nanti gue foto dan kirim ke Lu."
"Yaudah, gue balik duluan. Hati-hati, nanti kalau gak ada lu, siapa yang gue julidin."
Zalfa mengangguk, dia memperhatikan Figo yang masih sibuk dengan kertas.
Zalfa keluar lebih dulu, dia menuruni anak tangga. Dia mengingat bagaimana ekspresi datar Figo, ketika memberika surat padanya.
Flashback on
"Zalfa, arsip penjualan bulan Agustus kamu masih punya datanya?"
"Kan sudah Aku print, lalu kasih ke Abang."
"Iya, sepertinya Saya lupa menaruhnya,"
"Bentar, aku cari dulu. Enggak ada Bang, aduh gimana ini?"
"Bulan Agustus komputer Lu rusak, terus pakai komputer Figo."
"Ah iya, Figo tolong Carikan Filenya ya, nama berkasnya laporan keuangan bulan Agustus. Atau Aku aja yang cari."
"Gak perlu, nanti berkasnya dianterin ke situ."
Zalfa mengaguk, dia kembali dengan menstempel beberapa kertas.
"Ini."
Tumpukan kertas yang masih hangat dengan aroma khas itu, sudah ada dihadapannya.
"Makasih," Zalfa tersenyum tulus, Figo langsung berbalik ke mejanya.
"Emang senyum bayar apa? Mahal banget." Gerutunya pelan.
Zalfa hendak memeriksa, dia melihat ada kertas berwarna hijau yang menempel di atas tumpukan kertas tersebut.
Pulang bareng!
Zalfa yang awalnya kesal, menjadi tersenyum merekah sempurna. Ini penyebab kenapa Zalfa sesekali memperhatikan Figo, dia ingin tahu. Apakah Figo salah makan.
Flashback off
"Ayo," tangan Figo menarik lengan Zalfa. Perempuan itu hanya bisa mengikuti langkah Figo. Tanpa banyak bicara.
"Kenapa gak bilang, kalau kita mau pulang bareng?" Figo memberikan helmnya pada Zalfa.
"Aku pikir, Kamu gak akan suka."
"Hmm, terbaik."
Zalfa tersipu. Banyak hal yang bahkan Figo tidak sadari, namun Zalfa menyadarinya.
"Sayang banget, Gue gak bisa cinta."
Jleb
Gak bisa kayaknya, sehari gak buat patah hati. Zalfa seolah tidak mendengarnya, dia naik ke atas motor Figo.
"Sebenernya ada apa kamu ngajakin Aku pulang bareng."
Figo melipirkan motornya ke sebuah halte. Mereka turun dan duduk di sana. Emang cafe jam delapan sudah tutup ya? Perasaan belum. Harus banget di halte.
"Hujannya makin deras, Gue ada mantel, tapi yang baju sama celana."
"Kamu aja yang pakai kalau begitu."
"Kita gak lagi main film, Gue gak akan ngasih mantel itu sama lu, dan Gue juga gak akan pakai mantel itu, kalau lu harus kehujanan. Kita berteduh aja, sampe hujan reda."
Zalfa jadi teringat Dewan. Lelaki itu membiarkan jas mahalnya kebasahan untuk dipakai berdua.
"Oke, jadi ada apa Kamu ngajakin Aku pulang bareng?"
"kenapa?"
"Apa?"
"Bisa sabar gak? Perempuan itu harus kalem." Zalfa diam, dia seperti sedang diomeli ibunya.
Figo ingin melanjutkan bicaranya, tapi handphone Figo bergetar. Dia tidak tau kenapa wajah pria itu menegang.
"Zalfa, Gue ada urusan mendadak. Gue minta maaf banget gak bisa anterin pulang. Gue juga gak bsia pesenin ojol. Mungkin ada taksi lewat, naik taksi ya, gue ganti ongkosnya nanti. Maaf banget gue buru-buru."
Figo berlari ke motornya, dia menerobos hujan, dia tidak mendengarkan apa yang ingin Zalfa katakan. Zalfa melihat ke arah helm milik Figo, dulu dia tidak akan pernah diberi pinjam helm ini, karena milik Ervina. Sekarang, dia boleh memakainya, bahkan pria itu tinggalkan. Harus dia sadari, Figo memang bukan milik siapapun, tapi bukan berarti kamu bisa memilikinya. Entah kali ini, panggilan dari siapa lagi, yang membuat Zalfa harus ditinggalkan begitu saja oleh Figo.
Tinnn
Suara klakson mobil berbunyi dengan nyaring, dia terperanjat. Kaca mobil yang terbuka memperlihatkan si pengemudi mobil tersebut.
"Ayo masuk!" Teriak Dewan.
Zalfa mendengarnya. Dia berjalan dengan terburu-buru ke dalam mobil Dewan.
"Kok bisa ada di sini?"
Dia tau arah rumah Dewan tidak lewat sini,"
"Abis beli kopi sama makanan. Lu gak jadi ketemu temen?"
"Jadi, terus dia udah pergi,"
"Kok gak dianterin pulang?"
"Dia juga cewek, masak nganterin gue pulang."
"Baju lu basah, ambil jas gue gih, di kursi belakang,"
"Gak perlu,"
"Ok, ac-nya gue full-in nih."
"Iya, Tuan pemaksa."
Zalfa memakai jas tersebut.
"Lama-lama gue jadi tempat cuci laundry kiloan baju lu nih, sapu tangan aja belum gue cuci."
"Besok harus dibawa."
"Iya, malam ini gue cuci."
"Bukain kopi dong, gue aus nih, kalau lu mau ambil aja."
Zalfa mengambil bungkusan tersebut, lalu memasukan sedotan ke dalam gelas kopi tersebut. Dia menyodorkannya untuk Dewan minum.
"Perasaan, Gue cuma minta ambilin, gak minta pegangin," ucapnya setelah meminum kopi tersebut. Zalfa tersipu malu.
Sementara Figo, lelaki itu sudah basah kuyup. Tangannya sudah keriput, badannyapun menggigil, karena terlalu panik, hingga lupa bahwa dirinya mempunyai jas hujan untuk dipakai. Dia datang ke kantor Ervina yang ternyata benar-benar sedang mati lampu.
"Figo, maafin Aku ya, Aku benar-benar takut, biasanya Aku langsung hubungin kamu kalau lagi begini," alasan Figo panik adalah, Ervina phobia kegelapan. Bayangan dulu ketika mereka masih menjalin hubungan kembali terputar. Ervina akan teriak histeris dan menangis.
"Santai, ayo naik."
"Nih, kamu pakai jacket hujan aku."
"Gak perlu,"
"Figo, kamu udah basah kuyup banget. Yang ada kamu masuk angin nanti," Figo tak ingin berdebat, dia membuka joknya, lalu memakaikan jaket itu.
Mereka langsung pergi dari kantor Ervina. Figo mengantar Ervina hanya sampai portal, atas permintaan gadis itu.
"Lain kali Aku janji, gak akan ngerepotin kamu lagi."
"Aku akan selalu ada untuk Kamu, sekalipun tidak diminta."
"Terima kasih," Ervina berjalan.
Figo baru sadar, perempuan itu tidak memakai helm. Dia teringat Zalfa yang dia tinggalkan di halte. Dia tidak yakin, bahwa Zalfa akan menunggunya, tapi tidak ada yang salah jika dia mengeceknya dulu.
di tempat lain.
"Makasih ya," ujar Zalfa tulus.
"Iya, kayaknya ini makanannya udah dingin deh, mau gak? Gue udah gak selera makan."
"Kan bisa diangetin."
"Di rumah gue microwave-nya rusak."
"Yaudah, dari pada mubazir."
Dewan mengangguk, lalu pergi dari kost Zalfa. Perempuan itu, masuk ke dalam kamarnya, hal yang pertama dia lakukan adalah mencuci sapu tangan milik Dewan. Dia tau, seberapa berharganya sapu tangan yang dia ganggam ini. Kadang, dia ingin salah paham dengan perlakuan Dewan padanya, tapi dia tidak cukup percaya diri.
Figo sampai di halte tersebut, dia melihat helmnya ada di halte. Namun Zalfa tidak ada. Dia menghubungi Zalfa, tapi perempuan itu tidak mengangkatnya. Dia mulai cemas, karena Zalfa tidak mungkin seceroboh itu, meninggalkan barang miliknya di tempat umum.