Alvin mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, sesekiali ekor matanya melirik kepada Mayang yang sudah tiada daya walau hanya mengerakkan matanya. Jantung Alvin bertalu lebih cepat.
'Ya Allah berilah kekuatan untuk Mayang dan cucuku, Hamba mohon ya Allah.' Alvin terus meramalkan doa-doa untuk Mayang dan bayinya.
Demi apapun dia tak ingin kehilangan salah satu dari mereka apa lagi harus keduanya. Alvin mempercepat laju mobilnya melalui kebun teh, dan jalanan yang tak rata pun tak ia hiraukan, yang ada dalam pikirannya hanya ingin sampai ke rumahnya dengan cepat dan aman.
Alvin cukup lega ketika melihat rumah yang cukup besar dengan halaman yang luas, Alvin membunyikan klakson mobilnya berkali-kali, dan terlihat seorang pria dengan tubuh tambun berlari tergopoh membukakan pintu pagar rumah besar itu, Alvin langsung memarkirkan mobilnya di depan pintu rumah.
Sang sopir yang ada di bangku belakang bergegas berlari membukakan pintu rumah, sedangkan Alvin langsung membawa Mayang dalam gendongannya, merebahkan tubuh yang penuh luka itu di kasur yang empuk dan nyaman, kemudian menyuruh Bi Darmi untuk mengantikan pakaian Mayang dengan pakaian tidur milik Riana, Sementara Alvin pergi ke ruang penyimpanan obat-obatan dan peralatan medis.
Alvin kembali ke kamar Mayang dengan membawa obat-obatan dan peralatan, di lihatnya Bi Darmi yang berdiri di samping ranjang setelah selesai mengganti pakaian Mayang.
"Bi, Siapkan air hangat." Perintah Alvin tegas sambil menyiapkan peralatan medisnya.
"Baik, Pak." Jawab Bi Darmi yang langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan air hangat.
"Pak Bos, apa yang harus saya lakukan?" Kata Sang Sopir yang baru saja masuk ke dalam kamar Mayang.
"Hubungi Harun, dan katakan padanya untuk mengantar Ibu dan nyonya Laras ke sini, Tolong bilang Mayang ada disini juga."
"Baik, Pak Bos." Sang sopir langsung mengambil ponselnya kemudian menghubungi Harun.
Alvin dan Bi Darmi mulai mengobati Mayang, luka memar dan lecet di kakinya sudah terobati, yang paling parah adalah luka dikaki dan telapak tangannya, Mayang berlari tanpa menggunakan alas kaki, Alvin membalut kedua telapak kaki Mayang, dan kedua telapak tangannya.
Alvin mengambil stetoskop dan memeriksa denyut jantung Mayang, kemudian menyalakan layar USG yang ia bawa dari ruang peralatan medisnya, memeriksa dengan teliti kondisi kandungan Mayang, walau dia adalah dokter bedah bukannya dokter kandungan, tapi dia juga tidak buta tentang kehamilan.
Alvin bernafas lega saat menemukan denyut jantung janin di kandungan Mayang yang sudah memasuki dua belas minggu.
Di rumah sakit, Harun yang baru saja menerima kabar dari sopir Alvin langsung sujud syukur dan berpelukan dengan Firman, bahkan kedua pria beda usia itu menangis saking bahagiannya mendengar kabar bahwa Mayang bersama Alvin dengan kondisi baik-baik saja.
Rangga langsung menghubungi pengacara untuk membatalkan pengalihan harta dan seluruh aset, dan memastikan pada anak buahnya ikut serta dalam pengerebekan di villa milik Rosa.
Sejujurnya Rangga sangat geram dengan perlakuan Rosa, tapi ini adalah negara hukum, mungkin jika tidak Rangga sudah mencincang tubuh Rosa dan memberikannya pada Hiu di tengah laut.
"Firman, Bapak akan mengantar Ibunya mayang dan Ibu juga, untuk pergi ke rumah ayahmu, kamu di sini hanya sama Rangga saja, tak apa bukan?"
"Tak apa, Pak. Bapak pergilah, hati-hati di jalan ini sudah lewat tengah malam, jalanan pasti sepi dan gelap."
"Iya, bapak akan berhati-hati."
"Rangga, suruh anak buahmu yang berjaga di depan untuk ikut dengan Bapak."
"Oke."
Rangga menghubungi anak buahnya agar mengawal Pak Harun, Riana dan Laras ke kediaman Alvin.
Selepas kepergian Harun, Firman tak henti-hentinya mengucap syukur pada Allah, karena menyelamatkan Mayang dan bayinya.
"Ngga, gue pingin nemuin Mayang." Ucap Firman lirih.
"Kondisimu belum memungkinkan untuk perjalanan jauh, Fir. Sabar lah pada waktunya nanti kamu akan bertemu dengannya."
"Kenapa jadi seperti ini, Ngga. Tak pernah terbayang kehidupan gue bakal seperti ini, Mami yang gue anggap ibu kandung gue ternyata adalah tante gue, tante yang ingin menguasai seluruh hara gue, termsuk ayah gue, dan sekertaris seksi gue ternyata perempuan gendut yang berhasil menyihir gue sampai membuat gue jatuh sejatuh-jatuhnya cinta sama dia, dan elo selama ini memendam rasa sama adek gue."
"Takdir, Fir." Jawaban singkat yang di berikan oleh Rangga, karena Rangga sebenarnya trenyuh dengan kehidupan Firman, namun dia bersyukur kini kehidupan sahabatnya perlahan menjadi lebih baik, dengan kehadiran orang tua kandung Firman.
"Semoga kedepannya lebih baik, Fir."
"Amiin, Ngga. Dan gue ga akan ninggalin Mayang lagi walau itu hanya dalam pikiran gue."
"Gue tahu, lo cinta mati ama Mayang."
"Iya, apa lagi sekarng gue bakal jadi ayah."
"Makanya lo harus semangat supaya kondisi lo semakin membaik, kasian Mayang jika dia harus merawat lo juga merawat bayi kalian."
Firman menatap Rangga kemudian berucap. "Makasih selama ini lo selalu sama gue, apapun kondisi gue."
"Sekali sahabat, selamanya kita akan tetap bersahabat."
Harun mempercepat laju mobilnya dengan Riana yang menjadi penunjuk arah jalan letak rumah yang ia tempati bersama Alvin.
"Kamu serius tinggal di Villa itu?"
"Ya, kenapa memangnya?"
"Itu tak jauh dari letak rumah kami." Ucap Laras.
"Apa?"
"Berarti kita masih satu kawasan." Lanjut Laras.
"Bagaimana aku bisa tidak tahu?"
"Karena kau dan Alvin selalu sibuk di rumah sakit mungkin."
"Kamu benar, Ras. Aku dan Alvin terlalu menutup diri karena takut jika keberadaan ku di ketahui oleh Rosa."
"Tidak apa-apa, akan sangat menyenangkan berarti karena ternyata kita bertetangga."
"Sayang percepat mobilnya, aku tak sabar ingin bertemu Mayang." Rengek laras yang sudah sangat khawatir akan keadaan Mayang.
"Tenanglah sebentar lagi sampai." Ucap Harun menenangkan istrinya.
Setelah beberapa menit, mobil yang harun kendarai telah sampai di rumah dengan arsitektur belanda. Mereka kemudian turun dari mobil dan segera ke kamar yang di tempati Mayang atas petunjuk dari sopir Alvin yang telah menunggu mereka datang.
"Sayang." Panggil Riana pada Alvin yang duduk di samping ranjang Mayang. Alvin menoleh Riana memeluk erat Alvin, Riana tahu pasti sesuatu yang berat telah terjadi saat ia menemukan Mayang.
"Alvin."
"Harun. . . Mayang baik-baik saja." Ujar Alvin pada Harun yang menyuruh sahabatnya untuk duduk di samping Mayang.
"Bagaimana kau bisa bertemu dengan Mayang?"
"Diperjalanan, aku melihat Mayang berdiri di depan mobilku, karena dikejar oleh anak buah Rosa, mungkin niatnya ingin minta pertolongan pada siapapun orang yang lewat, tapi kebetulan aku yang lewat jalan itu."
Alvin menarik nafas panjang, kemudian menepuk pelan bahu Harun.
"Kalian tunggulah disini, ada satu ranjang kecil disebelah sana, aku harus mengganti bajuku dulu." Lanjut Alvin, kemudian mengajak istrinya ke kamar mereka.
Harun dan Laras diduduk di bibir tempat tidur Mayang, menatap sendu anak semata wayang nya.
"Apa sebuah keputusan yang benar jika mereka tetap bersama? Bukan kah ini terlalu berbahaya untuk Mayang?" Ucap Laras parau.