Datang ke desa dengan pakaian yang lusuh dan wajah yang kucel, seorang ibu-ibu yang rumahnya dekat dengan gapura, mengira bahwa kita adalah gelandangan. Dia menajamkan penglihatannya lagi, matanya membelalak tidak percaya ketika mengenali kami.
"Ya Ampun, Kalian Soleh dan Rafa kan? " pekik ibu itu sembari menutup mulutnya.
"Iya Bu, ini kami. Permisi kami mau pulang dulu." Jawab Soleh santun. Sedangkan aku hanya menanggapinya dengan seulas senyum. Energiku terkuras sudah. Dibenakku hanya ingin beristirahat total hari ini.
Kami berjalan beriringan di jalan utama desa, menarik perhatian Orang-orang yang melakukan aktivitas di depan rumah, mereka menoleh ke arah kami. Ada pula yang berlari kecil ke pinggir jalan, supaya bisa melihat lebih dekat, memastikan apa benar kita dua orang yang hilang secara misterius itu. mereka berjejer di pinggir jalan seolah menyaksikan karnaval.
AWWW
"Rafa!" pekik Soleh yang dengan sigap menangkap tubuhku, lalu memapahku. Orang-orang sontak mengerumuni kami, raut wajah khawatir terpancar dari wajah mereka.
Sesampainya di rumah Soleh, Retno yang sedang menyapu halaman, menoleh ke arah kerumunan yang datang. Dia tercengang mendapati suaminya sudah pulang. Sontak dia berlari ke dalam rumah dan berteriak.
"Mas Soleh datang! Mas Soleh sudah ketemu!"
Semua keluarga Soleh tergopoh-gopoh keluar rumah, mereka langsung berhamburan ke arah kami. Tangis haru pecah menyambut kembalinya Soleh. keinginan untuk menyerah setelah segala cara di lakukan untuk mencari Soleh menemukan jalan buntu, justru Soleh pulang dengan sendirinya. Ucapan syukur bersahut-sahutan di antara keluarga Soleh.
"Nak! Kamu darimana saja? Kami semua mengkhawatirkanmu!" tutur Ibunda Soleh. dia tidak bisa menahan lelehan air mata bahagia dari pelupuk matanya.
"Ceritanya Panjang Bu. Yang jelas, Rafa lah yang telah menyelamatkan nyawa saya."
Semua orang beralih memandangku yang masih meringkuk lemas. Soleh sedikit mengangkat tubuhku, seakan dia mau menunjukan bahwa inilah orang yang berjasa.
"Asal kalian tahu. Rafa yang sering membuat kalian jengkel karena sering kabur dari rumah karantina, karena dia di teror oleh wewe gombel. Wewe gombel yang selalu mengincar nyawa-nyawa orang yang tinggal di rumah kosong itu untuk di jadikan tumbal."
"Lantas siapa yang memelihara wewe gombel di rumah itu?" seloroh salah satu warga.
"Siapa lagi kalau bukan Pak Wiryo. Dia juga yang telah menculik Rafa dua hari yang lalu untuk dibawa ke gunung L***, tempat wewe gombel itu berasal." Tandas Soleh.
"Jadi, Pak Wiryo yang telah menumbalkan kalian?" sahut warga untuk lebih meyakinkan. Dengan Mantap Soleh mengangguk.
Semua orang menggeleng-gelengkan kepala, seolah tidak menyangka kalau sosok berwajah tampan itu adalah pelaku pesugihan.
"Soleh! Rafa!" Pak Modin yang tiba-tiba datang, memotong penjelasan Soleh."Syukurlah akhirnya kalian pulang dengan selamat, lebih baik kalian beristirahat dulu, pasti kalian kecapean." Cetus Pak Modin yang mendadak berperilaku aneh.
"Pak, saya mau membicarakan hal yang penting. Pak Wiryo itu orang yang enggak bener, dia yang telah.."
"Aduh, bicara apa kamu Dul. Pak Wiryo itu orang baik lagian dia tidak mungkin melakukan hal semacam itu. Mungkin karena ini efek kalian hilang beberapa hari ini sehingga kalian berpikir macam-macam. Mending kalian tenangkan diri dulu, " kata Pak Modin membela Pak Wiryo. Wajah Soleh merah padam, dia merasa bahwa penjelasannya di sepelekan begitu saja. Namun dia tidak mau situasi menjadi riuh, sehingga dia menunda amarahnya.
"Bapak-bapak ibu-ibu, demi kenyamanan Soleh dan Rafa, mohon untuk kembali ke rumah masing-masing." Sambung sang tetua desa itu, para warga pun akhirnya membubarkan diri.Lalu, dua orang tampak berjalan tergesa-gesa berlawanan dengan warga. Mereka dalah ibu dan Tama.
"Kemana saja kamu dua hari ini Nak? Ibu dan Tama bingung nyariin kamu." ibu memegang kedua pipiku sembari memandangiku, sedetik kemudian dia memelukku dengan sangat erat. Tama juga tidak bisa menahan haru, beberapa kali dia terlihat mengusap matanya, menahan tangis.
"Rafa diculik oleh Pak Wiryo Bu, tetapi dia berhasil kabur dan menyelamatkan saya." Sahut Soleh. sepanjang perjalanan pulang, kami saling bertukar cerita, sehingga dia tahu apa yang terjadi denganku.
Ibu menatap nanar wajah Soleh, "Maksudnya?"
"Soleh, Ceritanya nanti saja. Sepertinya Rafa kelelahan. Lebih baik di bawa pulang kerumah supaya bisa beristirahat." Kata Pak Modin memberi saran. Sekilas Soleh memicingkan mata ke arah Pak Modin.
"Sebentar Pak," cegah Bapaknya Soleh. lalu, dia berlutut ditanah sembari memegangi kakiku. "Saya mewakili keluarga, mengucapkan terima kasih karena kamu telah menyelamatkan Soleh. kami tidak bisa membayangkan jika kamu tidak datang kesana, mungkin kita tidak akan bisa bertemu Soleh selamanya."
"Tolong Berdiri Pak, Jangan seperti ini . semua yang saya lakukan atas kehendak Yang Maha Kuasa Pak. " Ujarku yang tidak enak melihat orang tua itu berlutut seperti itu. "Maafkan saya Nak Rafa atas kelakuan Bapak dulu yang Menuduhmu yang bukan-bukan. Ternyata selama ini kami salah menilaimu."
"Iya Pak saya Maafkan, saya juga meminta maaf jika pernah berbuat salah dengan bapak." Bapaknya Soleh berdiri sembari menjabat tanganku erat. Karena tubuhku terhuyung, Tama dengan sigap menangkapku.
"Kalau begitu kami pamit pulang dulu. Permisi." ujar ibu dengan gesture tubuh sedikit menunduk. Kami pun berlalu. Tama memapah tubuhku di depan sementara ibu mengikuti dari belakang. jarak antara rumahnya Retno dan rumahku hanya terpaut tiga rumah saja.
"Cie yang jadi super hero dadakan !" celetuk Tama menggodaku.
"Super hero Ndasmu!"
***
Beberapa hari, Aku terbaring lemah di kamar. Pak RT telah mengizinkanku kembali ke rumah karena masa karantina sudah selesai. walaupun sebenarnya aku masih ingin tinggal di rumah Pak Muis. Aneh memang namun entah kenapa, seolah ada yang menarikku untuk tinggal di rumah itu.
"Ham, Tolong barang-barangku jangan di ambil ya dari rumah Pak Muis?"
"Lha emangnya kenapa Mas?" sahut Tama yang meletakkan bubur di atas nakas sebelah ranjang.
"Aku pengen tinggal disana."
"Apa? Mas gak papa 'kan? Gak kerasukan wewe gombel kan? Becandanya enggak lucu tau."
"Serius. Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa kalau aku tinggal di sana."
"Yah, enggak seru dong kalau Mas tinggal disana, rumah ini jadi sepi. Aku mau bilang sama ibu. Pasti ibu tidak akan mengizinkan." Rajuknya dengan mulut manyun, persis cewek kalau lagi ngambek.
Ketika Tama akan keluar dari kamarku, tiba-tiba Ibu membuka pintu. bersama Pak Modin, Bapaknya Soleh, dan Soleh. Tama menarik tangan ibu, sebagai isyarat dia mau bicara sesuatu.
"Ada apa sih Ham? Kamu enggak lihat sekarang 'kan lagi ada tamu" bisik Ibu kepada Tama. Namun, Tama tetap saja menarik tangan ibu untuk keluar. "Maaf bapak-bapak saya tinggal dulu ya."
Ketiga orang itu mendekat di sebelah kanan ranjangku. Aku melihat perawakan Soleh yang sudah mulai berisi, berbeda sekali ketika masih menjadi budak iblis.
"Bagaimana keadaanmu Nak?" tanya Bapaknya Soleh dengan nada bicara lembut kebapakan. Setelah kejadian itu, beliau lebih sering datang untuk menjengukku, memantau keadaanku. Dia merasa perlu melakukan hal itu sebagai tanda balas jasa.
"Alhamdulillah Baik Pak, sudah agak mendingan." Jawabku dengan senyum yang agak dipaksakan. Aku telah berbohong dengan keadaanku. kondisiku masih sama dengan waktu itu.
"Syukurlah, Saya senang mendengarnya. Kalau kamu butuh apa-apa jangan sungkan-sungkan hubungi saya." Terjadi percakapan ringan antara Bapaknya Soleh denganku. Ternyata dia orang yang sangat hangat dan humoris, berusaha untuk menghiburku yang sedang sakit. Sementara, Soleh beradu mata dengan Pak Modin. Dari sorot matanya terlihat dia seperti menahan amarah.
"Sepertinya ini waktu yang Pas." Kata Soleh menyela percakapanku dengan Bapaknya, " Pak Modin, Bisa dijelaskan kenapa waktu itu bapak memotong perkataanku dan membela Pak Wiryo yang jelas-jelas telah menculik Rafa? Yang hampir membuat kita mati konyol gara-gara ditumbalkan?"
"Emmm...emmm..." Pak Modin gelagapan mendapat pertanyaan tak terduga. Seumur-umur, baru kali ini, aku melihat Pak Modin gelisah seperti ini seolah ada sesuatu yang di sembunyikan.
"Kenapa bapak diam? Ohhh..aku tahu pasti Bapak ada hubungannya dengan pesugihannya Pak Wiryo? Iya kan?"
"Masya Allah Soleh. Walaupun Saya bekerja untuk Pak Wiryo, Saya berani sumpah kalau saya tidak ada sangkut pautnya dengan pesugihan itu."
"Lantas?"
Pak Modin menghela nafas sejenak. Dia memandangi wajah kami bergantian, lalu berucap, "Baiklah, saya akan menjelaskan semuanya. Semua berawal dari...."