アプリをダウンロード

章 22: Salju Merah

Louis duduk diam di kursi kafe, secangkir espresso masih mengepul di depannya dan matanya memandang hamparan salju yang terinjak dan nafas penuh uap yang terhela. Pria itu merasakan seseorang tiba dan duduk di depannya, tapi ia tidak menoleh sama sekali.

"Kau datang," ucap Louis tenang.

"Seperti yang kau lihat," ucap pria di hadapannya. "Chevailler di musim dingin memang indah ya kan?"

"Ya. Sama saja."

"Itu karena kau tinggal di sini sepanjang hidupmu."

Louis mendengus. "Jadi bagaimana kabarmu Andrew?"

Pria bersurai pirang dengan netra coklat itu tersenyum lebar. "Baik. Aku selalu baik sepupu."

"Senang mendengarnya, mau pesan sesuatu?" tawar Louis.

"Tidak," Andrew terkekeh. "Jadi ada apa kau memintaku berkunjung ke sini? Kau tahu aku agak sibuk. Suatu kebetulan aku bisa ada di datang ke negeri ini."

"Omong kosong."

Andrew tertawa mendengar nada suara Louis yang sinis. "Apa ini soal tawaranmu? Kalau kau masih bersikukuh soal itu aku setuju soal tidak sepupu."

"Aku masih berharap kau berubah pikiran," ucap Louis sambil menyesap kopinya.

Andrew menaikkan bahu acuh. "Hanya kau yang tahu ya kan?"

"Mungkin," Louis tersenyum tipis. "Istana punya banyak sekali mata dan telinga."

"Yah. Tidak adalah tidak, aku ini teguh pendirian."

Louis tersenyum miring. "Aku terkejut."

"Jangan munafik banjingan, memang kau ada di sisi Yang Mulia secara tulus? Nyatanya kau ingin menduduki tahta ya kan?"

"Katakan saja begitu."

"Bagaimana," Andrew diam. "Kabar Yang mulia Ratu?"

"Baik," jawab Louis. "Tidak terlalu bagus tapi."

"Setidaknya dia bangkit dari masa lalu ya kan?" Andrew menyeringai.

"Ah ya," Louis tersenyum. "Wendy. Sudah lama bukan kita tidak berkunjung ke sana. Bagaimana kabarnya? Bagaimanapun kisah cintanya dengan Richard belum berakhir bukan?"

...

Tapal kuda Ohio bergoyang saat Richard menaikkan Redd ke atasnya, hari ini salju agak menebal namun suhunya hangat. Matahari bersinar terang dan Richard merasa ini hari yang baik untuk berkuda. Awalnya ia ingin berkuda sendiri, tapi Redd yang melihat ia berjalan ke instal memutuskan untuk ikut bergabung. Dalihnya adalah ingin belajar berkuda tapi Richard tahu wanita itu hanya sedang bosan.

Oh, ayolah. Wanita itu seratus persen benci berkuda ingat?

"Apa akan aman saat jalanan bersalju begini?" tanya Redd saat Raja Muda itu menaikkan dirinya di belakang Redd dan mencengkeram tali kekang.

"Aman. Apalagi bersamaku."

"Tanpa penjaga?" tanya Redd ragu.

"Lima meter di belakang kita."

Ratu itu mengangguk dan berdeham, "Oke. Kita jalan sekarang."

Richard menaikkan alis, tapi menurut untuk mulai menjalankan kudanya. Raja itu menunduk memandang Redd yang asik menoleh ke kanan dan kiri. Memandang pohon yang meranggas di antara jalan setapak hutan.

"Aku baru tahu berkuda itu seasik ini," guman Redd sembari memejamkan mata. Menikmati angin yang berhembus ke arahnya dengan lembut.

"Seingatku aku sudah pernah mengajakmu berkuda dulu di Kastil Bevait?" guman Richard dengan senyuman nakal.

"Sialan," Redd menyikut Richard yang tertawa. "Berkuda apanya? Itu namanya pemaksaan dan tindak membahayakan orang lain."

"Hukum apa itu?" Richard mendengus dan menggigit telinga Redd yang memerah karena dingin, "dan kenapa kau tidak memakai penutup telinga atau kepala?"

Redd mencebik melirik coat bulu tebal dan syal merah yang membuat dagunya tenggelam. "Ini sudah membuat aku jadi seperti ulat bulu. Menurutmu aku mau jadi kepompong dengan penutup-penutup itu?"

"Bukankah itu bagus?" Richard berucap. "Kau akan hangat."

"Tidak juga. Lagipula," Redd merona. "Kalau aku kedinginan kau akan menghangatkanku, kan?"

Richard mengerjab, terlihat sekali terkejut. "Astaga," ia berlagak terkena serangan jantung. "Apa tadi aku baru saja dirayu? Astaga, astaga."

Redd mendengus geli. "Dasar menyebalkan."

Raja itu tertawa saat Redd merengek dan memukul lengannya, ia kemudian meraih salah satu tangan Redd dan menyatukannya dengan tangannya yang sudah lepas dari perban sejak tiga bulan lalu. Richard tersenyum dan suatu bagian dari hatinya menghangat penuh gelennyar kala matanya menangkap cincin serupa yang terpasang di jarinya dan jari Redd.

Cincin pernikahan mereka, bentuknya sederhana karena waktu itu saat memesannya Richard membayangkan bagaimana wanita itu tampak indah saat menghampirinya di instal Kastil Bevait untuk memprotes soal gosip-orang-bilang-aku-hak-raja akibat tabrakan mereka di lorong. Mungkin tidak terlihat dan disadari, tapi Richard sudah menyadari wanita itu dari kejauhan. Tentang bagaimana ia berdiri di tepi pagar dengan wajah kesal tertimpa matahari dan rambut gelapnya yang berujung abu-abu, membuat sinar pagi waktu itu membuatnya terlihat berkilau. Indah.

Karena itu saat membuat desain Richard hanya meminta cincin bulat polos putih dengan sulur hitam bersemburat perak keemasan. Sederhana dan indah, seperti wanita yang sekarang menjadi istrinya. Richard tersenyum tanpa sadar, dengan gemas ia kemudian mengecup pipi Redd dan membuat wanita itu melonjak.

"Ada apa?" tanya Redd heran.

"Tidak. Kau hanya terlihat jadi cantik sekali saat matahari menyinarimu."

"Oh, astaga," Redd menirukan gerakan Richard. "Apa aku tadi baru dirayu? Astaga, astaga."

Richard mendengus. "Aku tidak berakting seberlebihan itu. Dasar copy cat."

"Euh," Redd melengos. "Dasar sok manis."

Raja itu terkekeh, ia sudah siap menyentak kekang untuk membuat kudanya lebih cepat saat tiba-tiba Redd menjerit dan Ohio menaikkan kedua kakinya ke atas dengan panik. Richard mencengkeram kekang erat-erat dan ia bisa mendengar suara langkah kaki cepat dan teriakan panik para pengawal.

"Yang Mulia."

Richard menarik nafas saat Ohio tenang namun tersentak saat Redd menangis.

"Dia terluka," wanita itu histeris. "Astaga dia ditembak Richard!"

Richard turun dari punggung Ohio dengan cepat dan menarik Redd bersamanya. Raja itu memberikan Redd pada Justin yang ada di sampingnya dan menarik Ohio membungkuk. Ia menggeram saat melihat peluru di punggung kuda itu dan ringkikan kesakitan dari kuda yang ia rawat sejak usia tujuh tahun itu. Richard menyuruh Justin menepikan Ohio ke pinggir jalan dan matanya melirik sekeliling waspada. Pengawal yang berjumlah lima orang itu membentuk lingkaran dengan pistol siaga. Memastika Redd dan Richard tetap aman.

"Kami diserang," Justin menghubungi kerajaan melalui alat penghubung di telinganya. "Kirim orang secepatnya."

"Richard," Redd menarik lengan kemejanya dan Raja itu merapatkan wanita itu ke dadanya.

"Tidak apa, semu-,"

"Astaga!!" ucapan Richard terhenti saat suara teriakan terdengar diikuti suara tembakan.

Semua terjadi begitu cepat tanpa tendeng alih, daripada menjadi sebuah adegan slowmotion semunya lebih terlihat seperti serbuan adrenalin yang berjalan layaknya kaset rusak. Tidak ada kesempatan untuk bernafas saat orang-orang dengan pakaian hitam muncul dari balik pepohonan dan menyerang para pengawal hingga terkapar. Justin berlari secepat mungkin ke arah Redd dan menaruh badannya sebagai tameng. Sebuah pistol keluar dari balik jasnya, dan ia menatap orang-orang berpakaian hitam yang berjumlah empat orang itu tajam.

"Siapa kalian?" teriak pria muda itu marah. "Beraninya kalian menyerang Raja!?"

Orang-orang itu saling berpandangan, salah satu dari mereka menaikkan pistol dan menembak Justin dengan ringkas. Redd menjerit lebih keras saat Justin jatuh ke arah gravitasi dan berdarah. Redd berjongkok dan berusaha meraih pria itu saat tiba-tiba ia ditarik dan ia melihat Richard yang diseret tiga orang berpakaian hitam itu.

"TIDAK" Redd menjerit. "LEPASKAN AKU!!"

Richard memberontak dan mendorong salah satu orang itu, tapi terlambat saat tiba-tiba sebuah pisau menusuknya dari belakang.

"RICHARDDDDDD!!"

Mata Raja itu membola saat sentakan rasa sakit menjalar di punggung hingga tekuknya, ia jatuh berlutut ke tanah tanpa tumpuan. Bernafas tersengal dan menatap nanar pada Redd yang menangis dan menjeritkan namanya ketakutan.

"ALEXANDER!!! TIDAK," Redd menjerit saat orang-orang itu menyeretnya menjauh. "LEPASKAN AKU! SIALAN LEPASKAN AKU!"

Richard tersedak oleh rasa lengket besi dalam mulutnya, dan ia menebak bahwa itu adalah darah saat melihat Redd menjerit makin keras. Wanita itu menangis terisak, saat Richard terjatuh ke tanah dan menatapnya sayu. Ia masih menagis sampai sebuah pisau ditodongkan ke lehernya, nafasnya tercekat. Saat menatap mata Richard ia bisa melihat pria itu berkobar karena marah.

"Sial," Richard mengumpat mencoba bangkit tapi gagal kala salah satu orang itu menendang pisau yang masih menancap di punggungnya. Ia jatuh lagi, dengan erangan kesakitan. Masih tidak mau menyerah Raja itu mencoba lagi tapi langsung terjatuh tanpa daya kala peluru panas ditembakkan ke lengannya .

Redd menangis dengan bibir terkantup, tangannya yang terkepal dicengkeram erat dan ia mulai terisak lagi saat ujung pisau yang dingin menggores lehernya.

Richard menatapnya dengan mata yang nyaris terpejam. "Bertahan," ia berucap tanpa suara. "Aku mohon."

"Bertahanlah," sebuah kilasan memori asing menghantamnya dengan keasakitan yang dasyat. "Aku mohon. Bertahan, kau harus hidup."

Redd menjerit, ia memberontak lagi tapi pisau itu justru menekan lehernya lebih kuat. Membuat darah merah mulai merembes hingga ke kerah bajunya. "Tidak," ia terisak.

"Kau harus hidup. Kau harus bertahan. Untuk semua yang sudah hilang dari tanganmu. Kau harus hidup."

"Kau harus hidup untuk membalasnya. Kau harus bertahan...."

...

Seorang pria duduk di dalam mobilnya dengan wajah tenang, ia menaruh handphone di sisi telinga. Berbicara dengan nada yang amat puas dan jangal.

"Teruskan saja. Dia harus mati. Raja dan Ratu itu akan mati." Ia menyeringai. "Ditanganku."


next chapter
Load failed, please RETRY

ギフト

ギフト -- 贈り物 が届きました

    週次パワーステータス

    Rank -- 推薦 ランキング
    Stone -- 推薦 チケット

    バッチアンロック

    目次

    表示オプション

    バックグラウンド

    フォント

    大きさ

    章のコメント

    レビューを書く 読み取りステータス: C22
    投稿に失敗します。もう一度やり直してください
    • テキストの品質
    • アップデートの安定性
    • ストーリー展開
    • キャラクターデザイン
    • 世界の背景

    合計スコア 0.0

    レビューが正常に投稿されました! レビューをもっと読む
    パワーストーンで投票する
    Rank NO.-- パワーランキング
    Stone -- 推薦チケット
    不適切なコンテンツを報告する
    error ヒント

    不正使用を報告

    段落のコメント

    ログイン