Redd masih diam di dalam kamarnya tanpa suara, ia duduk di depan cermin; tidak bergerak. Mengamati seluruh bayangan yang terpantul di atas cermin, bayangan yang tidak dikenalinya. Seumur hidupnya, bahkan sejak ia kecil. Redd selalu mengharapkan impian yang sama dengan impian seluruh wanita di dunia ini.
Ia ingin menikah, dengan pria yang dicintainya, dihadiri keluaganya dan memegang tangan ayahnya menuju altar. Ia selalu sadar bahwa keinginanya yang ketiga dan kedua adalah mustahil, karena ia bahkan dibuang oleh orang tuanya. Tapi ia masih berharap ia bisa mewujudkan impian pertama, karena itu sugguh sederhana.
Wanita itu tersenyum miris, menyadari bahwa dari mimpinya itu hanya tidak ada satupun yang terwujud. Ia tidak punya ayah, tidak punya keluarga dan lebih lagi ia akan segera menikah dengan pria yang tidak dicintainya. Mata Redd berembun, ia sudah nyaris menangis. Namun ia segera mendongakkan kepalanya ke atas, mencegahnya jatuh.
Demi Tuhan, ia tidak mau merusak riasan jutaan dollar ini.
"Redd," panggilan itu membuat Redd menoleh ke arah pintu.
Itu Charlotte, berdiri di ambang ruangan sambil membawa sebuah kotak beludru biru tua. Wanita itu memakai rok terusan berwarna putih dengan hiasan rumit berwarna hitam yang menghiasi gaun selutut itu. Sebuah coat bulu putih menyampir di pundaknya dan rambut merahnya yang terurai tertutup oleh topi jaring. Wanita itu tersenyum, sebelum menutup pintu dan berjalan ke arah Redd.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut.
"Ya," jawab Redd cepat. "Aku hanya gugup."
"Itu hal wajar," ucap wanita itu keibuan. "Aku punya sesuatu, dan mungkin itu bisa mengurangi rasa gugupmu."
Redd memandang bertannya dan Charlotte menarik kursi ke depan Redd. Ia kemudian duduk, dan menunjukkan kotak yang sedari tadi dibawanya.
"Apa itu?" tanya Redd penasaran.
Charlotte tersenyum dan membuka kotak itu cepat. Sejenak membuat Redd terperangah dan tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berdecak kagum. "Tiara?" bisiknya sambil mengamati benda itu lekat-lekat. Redd terpesona karena tiara itu punya kemewahan yang purba, tiara itu sederhana dengan lempengan perak tipis yang berbentuk daun menumpuk menjadi setengah lingkaran. Bagian tiara itu membelah dibagian depan, yang dihubungkan dengan sebuah krystal berbentuk tetesan air berwarna biru laut dan campuran warna langit senja di tengahnya.
"Ya. Tiara, The Alexandra's Hope " jawab Charlotte cepat. "Ini tiara kerajaan, pemilik pertamanya adalah Ratu Alexandra. Istri Raja pertama Chevailer, mahkota ini dibuat dari emas dan berlian asli. Legenda bilang Ratu Alexandra itu adalah seorang penyihir putih, jadi saat ia akhirnya menikah dengan Raja yang seorang manusia. Teman-temanya yang merupakan peri hutan dan peri laut menghadiahkan tiara ini untuknya. Ada mitos yang mengatakan, bahwa tiara ini bisa mewujudkan permintaan apapun. Maka seorang Raja Chevailer meminta tiara ini untuk memenangkan semua perang yang ia hadapi. Tapi tentu saja hal itu membuat banyak orang memperebutkannya, suatu hari saat ia sudah tua ia meminta tiara ini untuk menyembunyikan sihirnya dan sejak saat itu tak ada satu harapanpun yang terwujud dari tiara ini. Tidak satupun."
Redd mendongak menatap Charlotte, matanya berbinar geli. "Jadi benda ini dibuat oleh kekuatan ajaib para peri?"
"Ya."
"Baiklah," ucap Redd cepat. "Aku tidak terkena sihir apapun bila memakainya, kan?"
"Tidak," Charlotte tertawa. "Tentu tidak, kau tidak akan kena sihir apapun selain sihir kecantikan."
Redd tertawa, "Oke. Aku mengerti, terimakasih Charlotte. Aku menjadi lebih baik sekarang."
"Tentu saja," Charlotte berucap. "Aku memang pandai menjadi penghibur orang sedih." Sepupu raja itu kemudia bangkit dan berdiri di belakang Redd; menepuk bahunya lembut. "Jadi kita pasang tiaranya?"
Redd tersenyum simpul, "Oke."
Wanita itu tersenyum, dengan perlahan Charlotte melepas tudung pengantin Redd dan menaruhnya di atas pangkuannya. Ia kemudian meraih tiara itu dan memasangkanya hati-hati dia atas rambut Redd.
"Ini benar-benar sagat cocok untukmu Redd," bisik Charlotte sambil menata kembali tudung milik sang pengantin.
Redd tertawa kecil, disusul Leen yang masuk bersama Edmund kemudian. Lelaki itu akan menjadi orang yang membawa Redd menuju altar, karena bagi Redd lelaki itu sudah seperti saudaranya sendiri. Edmund sempat menolak memang, namun setelah ia dipanggil ke istana secara pribadi oleh Richard pada akhirnya ia setuju.
"Apa kau sudah siap?" tanya Leen sambil menghampiri Redd.
"Ya."
"Aku baru memasang The Alexandra's Hope untuknya," ucap Charlotte. "Cantik bukan?"
Leen tersenyum, "Itu sangat cantik. Jadi aku rasa pengantin kita siap untuk pergi sekarang."
Redd menunduk, menyembunyikan senyum mirisnya. Ia kemudian menengadah saat merasakan tangan lebar mendarat dipundaknya; itu Edmund yang menatapnya dengan tatapan yang sama saat mereka masih bermain bersama sebagai anak-anak belasan tahun lalu.
"Apa kau takut?" Redd tersenyum mendengar nada itu; nada yang dulu selalu dipakai Edmund jika ia mengajak Redd untuk memanjat pohon bersamanya atau mencuri sesuatu di dapur. Nada yang jahil namun penuh rasa khawatir, yang membuat Reed merasa memiliki seorang kakak.
"Aku tidak takut, aku ini Robin Girl Hood."
Mereka berdua tertawa pelan, sebelum Edmund menarik nafas panjang. "Aku tidak tahu, kau akan menikah secepat ini."
"Kenapa kau berkata begitu?" canda Redd. "Kau seperti ayah yang kehilangan putrinya."
"Aku memang," bisik Edmund. "Aku kehilangan saudaraku," ia tersenyum; dan cinta pertamaku ...
Tentu saja, Edmund tak akan mengatakannya keras. Karena ia tahu ia tidak pantas. Ia terlambat; dan ia kehilangan, tidak ada kesempatan lagi. Sekarang dan selamanya.
"Kenapa kau berkata begitu? Aku akan sering-sering datang nanti."
Edmund tersenyum, menepuk kepala Redd pelan. "Tidak apa, kau akan menjadi ibu negara. Apa menurutmu kau masih pantas naik ke dahan lagi?"
Redd tertawa mendengar guyonan Edmund, walau matanya sudah mulai berembun kembali. "Maaf," bisiknya
"Jangan minta maaf, ini bukan salahmu," Edmund menarik nafas. "Ini adalah kebahagiaanmu, jadi kejar dan dapatkan. Jangan menyerah, kapanpun kau butuh aku. Aku akan datang, oke saudaraku?"
Redd mengangguk dengan hidung yang mulai memerah, jadi Charlotte denga cepat menangkup wajah gadis itu dan membuatnya menegadah.
"Sttt, jangan menangis oke? Kau tidak mau make upnya rusak kan? Ingat yang menantimu bukan hanya calon suamimu, tapi juga seluruh orang di Chevailer."
Redd melengkungkan bibirnya ke bawah, yang disusul kekehan lucu Charlotte.
"Baiklah. Kita berangkat sekarang, ya?"
Redd mengangguk lagi, dibantu Charlotte dan Edmund dia berjalan keluar kamarnya. Mereka menuju belakang istana Arcene; tempat dimana mobil Rolls Royce buatan abad 19 menunggu mereka. Mobil itu dipesan oleh kakek buyut Richard dan diberikan sebagai hadiah untuk istrinya, sekarang mobil itu akan dipakai sebagai kendaraan yang akan membawa Redd ke tempat pernikahannya.
Sebagai informasi, mereka akan menikah di The Collegiate Church Of St.John Melius Est' atau biasa disebut orang dengan nama Melius Est Abbey. Tempat ini adalah katedral tua yang menjadi tempat penobatan Raja dan Ratu, tempat pembaptisan keluarga kerajaan, pernikahan dan pemakaman.
Perjalanan ke sana sendiri akan dikawal oleh sekitar lima mobil, dimana tempat mobil Redd dan Edmund akan ada di tengah. Charlotte dan keluarga yang lainnya akan berangkat terlebih daahulu; dengan iringan lain yang berbeda. Sepanjang perjalanan calon Ratu itu meremat buket bunganya erat, nyaris merusaknya; mengabaikan fakta bahwa bunga itu dipilih spesial oleh Richard untuknya.
"Jangan gugup," bisik Edmund. "Kau akan baik-baik saja."
Redd mengangguk kaku, dan mencoba keras untuk menatap lurus ke depan. Karena begitu ia melihat ke samping, ia hanya akan disuguhi pemandangan jalan yang lenggang sibatasi pagar besi disekitarnya; tapi jangan salah. Karena dibalik pagar itu berjajar ribuan rakyat Chevailer yang menonton dengan antusias seperti melihat sebuah carnaval, ia bahkan bisa melihat banyak wartawan di sana; bahkan banyak yang berasal dari luar negeri. Ia bahkan sempat melihat kameramen berwajah oriental dengan tulisan Jepang besar di kameranya. Demi Tuhan ia bisa mati karena gugup di sini.
Mobil masuk ke pelataran katedral dan berhenti tepat di depan pintu raksasa katedral yang terbuka lebar. Pintu mobil dibuka oleh seorang prajurit dengan seragam militer yang berwarna merah, prajurit itu tersenyum dan membungkuk ke arahnya rendah. Redd balas tersenyum dan melangkah keluar dengam perlahan, teriakan keras menggema begitu ia berdiri dengan tegak; dan ia bisa melihat bahwa ada blokade melingkar sejauh lima belas meter dari posisinya. Puluhan ribu orang ada di sana, beberapa meneriaknya dan melambai; yang dibalas ramah oleh Redd dan disambut pekikan lebih keras.
Ia menoleh saat Edmund berdiri di sisinya, Redd tersenyum gugup; sementara Edmund yang tersenyum menenangkan mengial pada sikunya dan Redd bersegera menaruh tangannya disana; termasuk mencengkeram baju Edmund erat-erat untuk menenangkan dirinya. Leen sendiri berjalan ke belakangnya untuk meraih ekor gaunnya. Pengantin perempuan itu kemudian berbalik sesaat untuk melambai sekali pada orang-orang, sebelum melangkah masuk ke dalam katedral. Dimana sudah ada dua orang pendeta yang menunggu di pintu masuk, yang satu memakai jubah putih emas dan yang satunya memakai jubah merah dan hitam.
Bagian dalam katedral adalah bangunan luar biasa megah, dengan pilar-pilar raksasanya yang terbuat dari marmer abu-abu tampak cerah hari ini, ada pohon cemara di samping tiap pilar, yang berdiri menjulang hingga langit-langit. Di dalam berjajar ratusan orang di sisi kanan dan kiri karpet merah; yang memang digelar panjang hingga ke dalam. Redd menyadari saat orang di dalam memakai jenis pakaian yang kebanyakan modelnya sama, dengan gaun selutut yang ditutupi sampiran bulu di bahu atau coat dengan satu kancing.
Langkah calon ratu itu berhenti kemudian, dan dua orang pendeta itu berbalik untuk menanyakan kesiapannya. Ia tersenyum dan mengangguk, diikuti Edmund yang meyanggupi kesiapannya membawa Redd ke altar. Langkah Redd dilanjutkan sesaat kemudian, kali ini dengan iringan pengantin yang dipimpin oleh Leen dan diikuti oleh tiga anak lelaki dan perempuan. Serta mars pernikahan yang mulai menggema.
Redd, menebak-nebak sambil tetap tersenyum simpul. Apakah memang menikah itu sangat menegangkan seperti ini? Karena bahkan ia yang menikah pura-pura saja rasanya sudah seperti nyaris jatuh setiap saat; lantas bagaimana jika ia menikah sungguhan? Apa ia mungkin akan pingsan?
Tangan Redd mulai dingin, dan ia menyumpah dalam hati soal lorong katedral yang sangat panjang seperti jalan raya. Beberapa kali Edmund berbisik pelan menenangkan, dan Redd hanya akan berdeham mengiyakan. Langkah pengantin wanita itu semakin dekat dengan altar, dan di sisi kanan ia bisa melihat jajaran paduan suara gereja yang menyanyikan mars pernikahannya. Di sisi kiri ia bisa melihat teman-temannya dari kastil dulu; termasuk Bibi May yang berdiri di kursi terdepan, dengan mata basah dan sapu tangan di genggaman.
Redd tersenyum lembut melihatnya, sebelum kemudian ia menghadap depan. Menatap Richard yang berdiri dengan tangan terlipat di belakang, ia memakai baju militer warna merah dengan sampiran kain warna biru di bahu dan rantai di dadanya. Rambut hitamnya disasak ke atas, berantakan dan ada senyum simpul di bibirnya; ia menatap Redd dengan pandangan yang sukar dipahami. Ia berdiri dengan seorang pria yang kelihatan lebih tua di belakangnya, pria itu berambut pirang dan memakai seragam militer warna hitam.
Edmund melangkah dengan pelan menaiki tangga altar, ia kemudian berdiri di sisi Richard dan dengan perlahan menyerahkan tangan Redd. "Tolong jaga dia Yang Mulia," bisik Edmund pelan.
Richard mengangguk mantap dan menarik Redd dengan lembut ke sampingnya. Seluruh undangan dalam katedral duduk dengan serentak, dan hening menyergap ke dalam katedral. Dua anak adam dan hawa di altar berdiri berdampingan menghadap Uskup Agung yang memimpin pernikahan. Tangan keduanya bertautan, dan Uskup Agung itu mulai berdeham siap memulai pernikahan.
"Selamat pagi kepada seluruh hadirin yang hadir dalam katedral hari ini, saat ini kita akan segera menyaksikan pernikahan suci antara dua insan yang saling mencintai; dan siap menghadapi hidup mereka untuk berdua selamanya." Uskup itu membuka sebuah buku emas tebal di atas podium marmer, ia kemudia menaikkan kedua tangannya dan mulai bicara. "Atas dasar delapan sumpah Chevailer, Ikrar, suci, patuh, berani, hidup dan mati, belas kasih, iman serta setia. Aku persilahkan kalian mengucapkan janji, sebagai bentuk sumpah pernikahan yang suci dan diberkati."
Raja Muda itu berdeham dan mengangguk, sebelum kemudian berdiri berhadapan dengan Redd. Tangan keduanya masih saling mengenggam, dan Raja itu menarik nafas sebelum membuka mulutnya.
"Atas dasar Delapan Sumpah Chevailer, aku Richard Alexander Heinry Troten Brichen Dricv. Membawamu, Redd Annabeth Mansen sebagai istriku dan pendampingku; Bahwa hari ini dan seterusnya bersama-sama; Dalam masa baik atau buruk; Untuk lebih kaya atau miskin; Untuk sehat ataupun sakit; Untuk menghormatimu, mencintaimu setiap hari dan mendampingimu selama kita bersama. Aku bersedia."
Richard mengucapkan janjinya dengan lancar tanpa kesalahan, ia kemudian tersenyum; dan menatap Redd dengan lembut. Redd berdeham pelan, dan meremat tangan Richard erat-erat.
"Aku Redd Annabeth Mansen, membawamu Richard Alexander Heinry Troten Brichen Dricv, sebagai suamiku dan pendampingku; Bahwa hari ini dan seterusnya bersama-sama; Dimasa baik atau buruk; Untuk lebih kaya atau miskin; Untuk sehat atau sakit; Menghormatimu, mencintaimu setiap hari dan mendampingimu selama kita bersama. Aku bersedia."
Redd menelan ludah gugup begitu selesai mengucapkan janjinya, ia berusaha menghindari tatapan Richard; dan memilih melihat pendamping pria Richard-si pirang dengan seragam militer hitam-yang menyerahkan bantalan ungu yang diatasnya terdapat dua buah kotak cincin.
Richard meraih cincin pertama dan memasangnya di jari Redd, disusul Redd yang juga melakukan hal yang sama. Melihat itu, Uskup Agung yang mengangguk sebelum kemudian kembali berucap.
"Dengan sumpah yang kalian ucapkan, dengan kesungguhan yang telah kalian janjikan. Aku sahkan kalian sebagai sepasang suami istri," seluruh hadirin dalan katedral bertepuk tangan riuh, dan Uskup Agung itu tersenyum kebapakan hingga suara tepukan mulai surut secara perlahan. "Dan anda diizinkan mencium pengantin anda Yang Mulia."
Kali ini bukan hanya tepukan tangan, ada tawa sopan di penjuru katedral yang membuat Redd memerah. Richard tertawa pelan, ia menarik pinggang Redd mendekat; membuat wanita itu terpekik. Ia kemudian membuka tudung pengantin Redd pelan, dan menatap Redd yang mengalihkan pandang.
"Keberatan kalau aku mengambil ciuman keduamu?" bisiknya nakal.
Redd melotot. "Jangan macam-macam! Dasar cabul!"
Richard mengangkat sebelah alisnya. "Aku kan suamimu."
"Dasar tukang mencari kesempatan dalam kesempitan," cibir Redd pelan.
Raja Muda itu tersenyum simpul, menarik Redd makin dekat dan menundukkan kepalanya. Matanya terbuka separuh, menahan tawa gelinya saat ia melihat Redd memundurkan wajahnya perlahan dan memejamkan mata erat-erat. Richard pada akhirnya benar-benar tertawa saat Redd terus mundur saat ia makin mendekat; jadi ia memilih menyentuhkan hidungnya pada hidung Redd dan menggeseknya gemas.
Pekikan terdengar makin riuh, karena ulah dua insan itu. Mengabaikannya, Richard memilih untuk menangkup pipi Redd dan mencium keningnya lembut. Wanita itu tersentak, tanpa sadar meremat seragam Richard erat karena gugup. Ciuman Richard kemudian turun dengan lembut ke kedua matanya yang terpejam; ke hidungnya dan kemudian ...
"Sudahkah aku katakan," Raja itu berbisik. "Bahwa aku terpukau padamu hari ini?"
Melabuh dibirnya. Menyentuhnya dengan hati-hati dan memberikan lumatan lembut yang membuat Redd rikuh. Wanita itu menarik nafas susah payah, saat Richard melingkari pingganya posesif dan memiringkan kepalanya; mencoba untuk menyesap manis miliknya sejauh yang ia bisa.
Dua anak manusia itu bahkan tidak mau membuka mata, tidak mau menarik nafas yang mulai terasa sesak; bahkan tidak mau mendengar teriakan dan tepukan heboh para hadirin di katedral. Mereka tidak mau, karena mereka ingin beku dalam moment ini. Ingin bisa meresapinya; dan mengenali satu sama lain. Entah itu jiwanya, ataupun bahkan hatinya.
Well, andai saja mereka tahu bahwa besoknya mereka mencetak rekor dalam sejarah Chevailer sebagai 'PENGANTIN DENGAN DURASI CIUMAN TERLAMA'.
Taruhan. Mereka mungkin tidak akan melakukan hal itu.
Maaf karena hilang beberapa hari, Galy fokus untuk menghabiskan hari raya wkwk. Selamat menikmati dan selamat lebaran!