"Oh ya? Jika kau sudah berkeluarga, maka kau akan melupakan kami dan memprioritaskan keluarga barumu itu. Mungkin aku dan Kakak hanya akan dijadikan sebagai alat penghasil uang. Harusnya dirimu yang memberikan uang kepada kami, bukan sebaliknya," kataku. Papa membelalakkan mata lalu menggebrak meja. Dia bangkit dari duduknya.
"JAGA UCAPANMU ITU, REIZERO!" Aku hanya memalingkan wajah ketika dia berteriak begitu. "Aku bukan Mama kalian yang seenaknya meninggalkan anak demi pria tua bajingan itu! Aku masih memiliki hati nurani, tidak sepertinya," lanjut dia. Aku menoleh.
"Hati nurani? Hahaha …," tawaku lagi membuat Papa semakin naik pitam. Dia menarik kerah pakaianku sehingga aku menengadahkan kepalaku untuk menatapnya yang kini hampir naik ke atas meja makan.
"Kenapa kau menertawaiku sedari tadi, Brengsek? Kau ingin aku hajar?" tanyanya dengan nada geram.