Tak ada yang tahu berapa kali desahan kasar terdengar lolos dari sela bibir seorang gadis yang sedang duduk di tepi rooftop sebuah hotel berbintang lima.
Kakinya yang dibiarkan menggantung tampak berayun pada udara hampa dengan irama permen karet yang terus meletup di mulutnya.
Sesekali angin malam meniup rambutnya yang dikuncir kuda, memberikan sensasi dingin dan menyegarkan pada kulitnya. Berada dalam posisi seperti itu, segala sesuatu yang mencapai manik matanya tampak sangat kecil, meskipun cahaya bulan bersinar redup, hal itu tidak menjadi penghalang baginya sebab cahaya yang menyebar di beberapa titik di bawah sana sudah cukup untuk memberinya penerangan yang jelas.
Fokusnya tertuju pada kendaraan yang memasuki basement hotel tempat dimana dia berada saat ini, letupan permen karet terdengar semakin intens setiap kali jumlah mobil yang menarik perhatiannya semakin bertambah, mungkin dia sedang menghitung? Entahlah.
Setelan hitam yang dikenakannya membuatnya tampak seperti menyatu dengan gelapnya malam. Berada di posisi itu selama berjam-jam, tidak sekali pun manik matanya beralih ke arah lain. Tatapannya sangat tajam. Gadis itu seperti pemburu yang mengawasi mangsanya dalam diam.
Malam semakin larut, jumlah kendaraan yang masuk ke basement hotel semakin bertambah. Mungkin karena malam ini para pengusaha kaya raya dan beberapa pejabat negara berkumpul di satu tempat, menghadiri acara yang mungkin lebih cocok disebut sebagai acara ajang pamer kekayaan yang dikemas rapi dengan sebutan 'Pesta'.
Beberapa mobil polisi dan pengawal bergabung membentuk antrian mengular di bawah sana.
Tidak terasa dua jam telah berlalu. Udara malam semakin dingin, dingin menusuk tulang.
Ting…
Refleks gadis itu melirik arloji yang bertengger di pergelangan tangannya. Sebuah alarm yang menandakan bahwa dia harus mulai bergerak. Sekarang sudah pukul dua dini hari.
Perlahan mengangkat kakinya dan berdiri di lantai yang mulai basah karena embun malam. Meregangkan otot-ototnya selama beberapa detik dan kemudian mulai beranjak, langkahnya ringan, tampak begitu santai seolah-olah tidak terbebani oleh apa pun, terus bergerak hingga tubuhnya yang tinggi menghilang di balik pintu. Menuruni tangga, ia kembali memasuki gedung pencakar langit itu.
Berselang tiga puluh menit kemudian… Suara terror menggema.
"Doorrr..."
"Doorr..."
Tiba-tiba terdengar suara tembakan, menggema di setiap koridor dan ruangan, berlomba-lomba memasuki indera pendengaran setiap insan.
Suasana meriah di pesta elit tiba-tiba berubah tegang.
"Doorr..."
Sekali lagi tembakan terdengar, gelombang magnetudo yang dihasilkan seperti nyanyian kematian yang meneror para pengunjung hotel.
Seketika pesta terhenti, beberapa orang bergegas keluar ruangan mencari sumber suara, sementara yang lain tidak bergeming dari posisi mereka sedikit pun.
Beberapa pengawal segera menjaga Tuan mereka masing-masing sementara yang lain dengan cepat menyebar.
"Cepat ke ruang CCTV dan laporkan situasi saat ini," teriak seorang pria. Mereka mengenakan setelan hitam dan earphone bertengger di telinganya.
"Yang lain menyebar, periksa semua ruangan dan temukan sumber tembakan," tambahnya lagi. Mereka adalah Pengawal yang disewa oleh masing-masing elit. Tidak hanya itu, beberapa polisi juga melakukan hal yang sama. Semuanya berhamburan.
Brukk….!!!
Suara pintu yang dibuka paksa terdengar memenuhi ruangan yang penuhi oleh layar monitor.
"Apa yang terjadi?" tanya seorang Polisi yang baru saja memasuki ruangan diikuti oleh dua orang pria berseragam hitam. Napasnya tercekat saat melihat semua layar monitor tidak menunjukkan apa-apa.
"Kamera CCTV rusak, kami berusaha memperbaikinya dan beberapa orang sudah menyebar dan memeriksanya."
"Sejak kapan ini terjadi?"
"Sepuluh menit yang lalu," jawab pria yang bertanggung jawab atas ruangan itu.
"Oh, Sial..." umpat seorang pria berseragam hitam.
"Berhenti dan segera minta mereka untuk memeriksa semua kamar di hotel ini," kata polisi memberi perintah.
"Apa? Apa yang terjadi?"
"Seseorang mungkin telah terbunuh," jawab polisi itu dengan sangat yakin.
"Apa?" Salah satu refleks keamanan bangkit dari posisinya.
"Jangan panik dan tetap tenang. Beritahu yang lain untuk segera memeriksa semua tempat. Saya akan meminta bantuan dari kantor polisi terdekat," kata polisi itu lalu meninggalkan ruangan.
Hanya beberapa menit kemudian, akses keluar masuk hotel ditutup.
Dalam kepanikan orang-orang yang mengadakan pesta, tidak ada yang menyadari keberadaan seorang gadis yang saat ini keluar dari kamar yang ada di lantai tiga.
Suara letupan permen karet terdengar berirama dari sela bibirnya. Melihat sekeliling masih sepi, matanya memicing tajam, mungkin semua orang sudah tenggelam dalam mimpi indahnya?
"Apakah saya memberikan dosis yang terlalu tinggi untuk makan malam mereka?" dia bergumam sambil tertawa ringan.
Melangkah perlahan dan santai, dia berjalan menjauh dari kamar.
Melihat tong sampah di ujung koridor, sejenak ia berhenti, dan dengan gerakan cepat mengeluarkan pisau dan pistol dari saku bajunya dan melemparkannya ke sana sembarangan, juga sarung tangan hitam yang membungkus kedua tangannya segera ia tanggalkan, terlihat bercak noda darah yang masih basah memenuhi beberapa titik.
Selesai dengan itu, dia berbalik. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika manik matanya menangkap keberadaan seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun sedang menatapnya tanpa berkedip.
Gadis itu mendekat dan berhasil membuat anak itu terlihat ketakutan.
"Siapa namamu, adik kecil? Kenapa berkeliaran sendirian, hmm?" tanya gadis itu ramah dengan senyum lebar di bibirnya, satu tangan membelai rambut anak laki-laki itu dengan lembut.
"Ni-Niko."
"Apakah kamu suka permen?" dia bertanya, Melihat Niko mengangguk lemah, gadis itu kemudian mengeluarkan permen karet yang tersisa dari saku celananya.
"Ini untukmu, Niko."
"Jangan takut, yang aku buang itu hanya mainan," katanya lagi sambil mengelus lembut kepala Niko.
"Tapi Niko jangan bilang siapa-siapa, ya?"
Anak laki-laki di depannya mengangguk, membuat gadis itu tersenyum lagi.
"Kalau begitu Bibi pergi dulu, oke?"
"Niko, jangan berkeliaran sendirian," tambahnya lagi sambil mengusap pipi tembem bocah itu lalu bangkit dari posisinya.
'Hanya anak-anak, tahu apa dia?' pikirnya dan pergi.
*
"HOTEL BINTANG LIMA DI PUSAT KOTA X DIKEJUTKAN DENGAN PEMBUNUHAN YANG TERJADI PADA DINI HARI TADI."
"POLISI MENEMUKAN POTONGAN TUBUH MANUSIA DENGAN LUKA TEMBAK DAN SEPULUH LUKA TUSUKAN DI TUBUHNYA."
"KORBAN ADALAH CEO GROUP XXX DAN SALAH SATU ANGGOTA LEGISLATIF YANG MENCALONKAN DIRI SEBAGAI WAKIL PRESIDEN PERIODE BERIKUTNYA."
Dengan gerakan santai, Ara menyeruput teh dari cangkir cantik sambil menatap layar TV. Terlihat bungkusan permen karet yang berserakan di meja yang ada di hadapannya.
"Sepuluh luka tusukan?" dia tertawa dengan senyum mengejek.
"Selain serakah, ternyata mereka juga tidak pandai berhitung," tambahnya dan meraih ponselnya yang tiba-tiba berdering.
"Halo..." terdengar suara seorang laki-laki dari seberang sana.
"Kenapa menghubungiku sepagi ini?"
"Untuk apa lagi kamu tinggal di tempat itu? Pekerjaanmu sudah selesai, aku sudah melihat berita itu menjamur di media sosial."
"Saya tidak bisa keluar, keamanan di hotel diperketat. Tunggu sampai situasi kondusif."