Matahari sudah terbenam, warna jingganya mulai pudar. Terlihat seorang gadis yang terengah, nafasnya memburu menatap ke arah wanita yang menemaninya sejak siang tadi. Gadis itu tersenyum kecut, dia kelelahan.
Berlatih ternyata sangat melelahkan, tapi dia juga tidak bisa diam saja setelah melihat pola di keningnya. Pola yang menunjukkan bahwa dia adalah penyihir sekarang, walau dia bukan yang asli tapi Caroline akan berusaha yang terbaik untuk saat ini.
Wajahnya memerah karena udara dingin, rasanya menyenangkan bahwa dia bisa bebas. Tidak ada yang menganggunya, ini adalah bentuk kebahagiaan yang dia cari. Apakah takdir telah membawanya pada sebuah keindahan? Dia tidak tau.
Tapi yang dia tau adalah perasaan hangat yang memenuhi dirinya. Tubuhnya dia jatuhkan, merasakan bagaimana tekstur salju yang terasa rapuh dan dingin "cukup menyenangkan"
Wanita yang lebih tua tertawa, suara gadis yang lebih muda memang pelan tapi dia jelas mendengarnya "jangan terlalu terlena! Masih banyak yang harus kau lakukan"
Gadis itu kesal, melirik wanita bermanik ungu gelap itu "apakah harus sekarang! Aku masih ingin menikmati kebebasan ini!"
"Apakah kau memikirkan ucapanku tadi?"
"Ibu! Jangan bahas soal itu!"
Gadis yang lebih muda terduduk menatap ke arah wanita yang di panggilnya ibu, dia kesal akan apa yang di katakan wanita itu. Dia jelas mencoba melupakan apa yang terjadi siang tadi, tapi wanita itu mengingatkannya lagi.
Dia menghela nafas menatap ke arah langit yang mulai menggelap, rasanya ada sesuatu yang salah. Tapi dia tidak yakin apa itu "aku benci Alpha!"
"Kecuali dia?" sahut wanita yang lebih tua mendekati gadis muda itu"Caroline.. apa kau tau? Kau tidak akan bisa membohongi takdir"
Caroline menggeleng cepat, maniknya jelas mengatakan bahwa dirinya tidak akan menerima takdir ini. Sebenarnya kenapa dia terlahir sebagai Omega? Kenapa dia bukan Alpha seperti Livina?
Jika dia seorang Alpha, pasti dia tidak perlu memikirkan soal Mate. Ah.. itu jelas akan berbeda karena dia akan jadi Alpha wanita. Jelas dia tidak akan terikat dengan yang namanya Mate, andai jika hal itu benar-benar terjadi.
Tapi nyatanya dia harus berhadapkan dengan takdir dari Moon Goddess saat ini, rasanya menyebalkan tapi entah kenapa dia juga tidak membenci Frey. Apa karena selama ini Frey selalu membantunya? Atau karena Frey adalah Alpha-nya.
Caroline menggeleng keras menatap kesal pada ibunya yang tertawa kecil, sangat lucu melihat reaksi Caroline dan dia menyukainya "apa kau tidak penasaran akan alasan kalian masih belum menyadari takdir itu?"
Caroline langsung penasaran, jika di pikir akan aneh jika dirinya dan Frey tidak menyadari hal itu. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan takdirnya dari Livina atau ada sesuatu di diri Frey yang dia tidak tau?
Tapi Frey jelas normal, lalu apakah ini hanya soal dirinya saja. Caroline menghela nafas kasar menatap ke arah ibunya yang tersenyum "kau salah jika berpikir itu hanya karena dirimu saja! Kenyataannya Frey juga salah dalam hal ini!"
Caroline terkejut, maniknya membulat merasa tidak percaya akan apa yang baru saja dia dengar "dia jelas normal!?"
Wanita itu tertawa "kau seharusnya langsung tau dari reaksinya yang aneh tadi"
Caroline tidak mengerti, tapi reaksi Frey memang sangat aneh. Biasanya Alpha yang mengetahui soal Mate-nya akan merasa senang tapi Frey terlihat ketakutan, dia seperti melihat sesuatu yang mengerikan.
"Apa kau menolaknya?" wanita itu bertanya menatap ke arah Caroline yang terlihat bingung.
Dia tau Caroline memiliki masa lalu yang buruk dan Frey juga sama, keduanya terluka karena masa lalu itu dan sepertinya semua ini akan berdampak pada masa depan mereka. Tapi dia juga tidak bisa ikut campur dalam masalah mereka, biarkan Caroline dan Frey yang mengatasinya.
Benang merah itu tidak akan membuat semuanya buruk, karena mereka adalah bentuk dari takdir. Apa lagi Caroline sepertinya juga masih tidak tau harus apa di sini, wanita itu menyerah dan langsung menghela nafas kasar.
"Baiklah jika kau tidak mau menjawab, bagaimana jika kita makan malam" ucap wanita itu mulai bangkit dari duduknya.
Caroline tersenyum tipis, dia masih tidak tau harus menjawab apa. Dia bangkit mengikuti langkah kaki ibu Livina "ibu.."
Wanita itu menoleh, maniknya menatap tepat pada manik biru itu. Apakah Caroline akan mengatakan sesuatu soal pertanyaan tadi atau dia ingin mengatakan hal lain.
"Bolehkah aku tinggal beberapa hari lagi?"
Seharusnya Caroline kembali besok, tapi dia sangat menyukai di sini. Ini terasa begitu nyaman dan menyenangkan, dia juga terasa seperti anak kandung wanita itu. Walau dia hanya reinkarnasi tapi tetap saja Caroline seperti berada di tempat Livina dan dia bersyukur bisa hadir ditengah-tengah mereka.
"Baiklah.. lakukan saja apa yang kau inginkan! Tinggal bersamaku selamanya juga tidak apa" wanita itu tersenyum lebar menarik tangan Caroline supaya lebih dekat dengannya.
"Ini dingin, dan kau cukup lelah sekarang!"
"Tidak juga, bahkan aku masih harus berlatih lagi!"
"Hei.. siapa bilang kau bisa berlatih lagi!"
"Tidak apa ibu, aku punya hal yang harus aku lakukan sekarang!"
"Jangan bilang kau....!"
"Iya benar, aku ingin menyelesaikan takdir ini secepatnya!"
Langkah kaki wanita itu terhenti, tangannya menyentuh kedua bahu Caroline dengan tatapan khawatir "jangan memaksakan dirimu, kau ada di sini memang karena kami tapi tolong jangan membuat kami merasa bersalah.."
Caroline tersenyum kecil, dia langsung memeluk wanita itu. Awalnya dia memang keberatan, dia seperti boneka yang di gunakan oleh mereka. Tapi setelah waktu berlalu dan dia mengetahui alasan yang sebenarnya, entah kenapa Caroline merasa bahwa ini adalah tugasnya
Dia yang di paksa masuk dalam takdir ini mulai bisa menerimanya, walau sekarang dia masih bukanlah siapa-siapa tapi dia akan berusaha yang terbaik "ibu, aku tidak tau apa yang aku rasakan tapi ini terasa begitu baik!"
'Bersamamu seperti tengah berada di surga, rasa bahagia dan nyaman itu tidak akan pernah bisa aku lepaskan. Maafkan aku ibu..'
Air mata Caroline terjatuh, dia langsung menghapusnya cepat. Caroline tidak mau terlihat lemah di hadapan ibu Livina, hanya karena dia mengingat ibu kandungnya dia tidak boleh mengkhawatirkan ibunya yang sekarang.
Caroline tersenyum lebar melepaskan pelukan itu, keduanya kembali berjalan dnegan tangan yang saling menggenggam satu sama lain.
"Kau mau makan apa?" wanita itu bertanya.
"Hm.. aku ingin daging!" Caroline merasa hidup, dia bisa mengutarakan semua keinginannya bahkan keinginan paling buruk sekalipun.
"Baiklah, mari kita bakar daging!"
Keduanya tertawa bersama, langkah kaki mereka semakin cepat dan menghilang di balik kegelapan yang ada.
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius