Emma mengusap matanya yang basah dengan lengan bajunya lalu duduk di kursinya dengan perlahan. Ia sudah lama sekali tidak menangisi orang tuanya. Ia tahu menangis tidak akan berguna. Saat ini fokusnya adalah mencari cara agar ia dapat kembali ke Prancis dan menemukan jejak orang tuanya.
Namun, ia tidak mengira, melihat poster tentang karyawisata ke Paris akan dapat begitu saja membuat hatinya kembali dihantam kerinduan pada orang tuanya.
Emma berusaha menekan perasaannya dan memfokuskan perhatiannya pada mata pelajaran yang diasuh Bu Wen yaitu Matematika. Ini bukan mata pelajaran favoritnya tetapi Emma tidak pernah mengalami kesulitan memahaminya.
Jam demi jam berlalu begitu lambat.
Akhirnya saat istirahat tiba dan beberapa siswa yang tertarik dengan penampilan Emma mendekatinya untuk mengajak berkenalan. Kebanyakan siswa pria terlihat menaruh perhatian karena kecantikannya, sementara siswa perempuan hanya sekadar bersikap sopan santun.
Emma tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Ia segera menanyakan tentang karyawisata ke Paris.
"Oh.. itu karyawisata selama seminggu untuk anak-anak yang mau melatih bahasa Prancis mereka. Tidak wajib ikut kok. Hanya yang mau saja. Lagipula biayanya mahal. Hanya anak-anak kaya yang ikut ke sana. Mereka ikut bukan untuk latihan bahasa melainkan berbelanja dan jalan-jalan."
Seketika Emma menjadi kecewa. Tadinya ia mengira karyawisata itu adalah bagian dari program sekolah dan semua siswa akan dibawa serta. Ah... kalau ini hanyalah program sampingan, berarti ia tidak akan dapat meminta Pemerintah untuk membayarkan biaya keikutsertaannya.
"Memangnya berapa biayanya kalau ikut?" tanyanya berusaha menahan agar suaranya tidak terdengar getir.
"Sekitar 2000 dolar," jawab Nadia, gadis berkaca mata yang duduk di meja di samping Emma. "Dari kelas ini ada lima siswa yang ikut termasuk aku."
Emma hanya bisa menelan ludah dan mengangguk. "Terima kasih. Aku permisi dulu."
Ia bangkit dari kursinya dan bergegas keluar untuk menyembunyikan keresahan hatinya. Umurnya belum 17 tahun dan belum bekerja. Ia tidak dapat memikirkan cara mencari uang sebanyak itu, dalam waktu kurang dari sebulan sebelum pendaftaran ditutup.
Emma berjalan keluar kelas dengan langkah-langkah ringan. Wajahnya yang keruh membuat teman-teman sekelasnya mengira gadis itu sombong dan tidak mau bergaul dengan mereka.
"Heii.. anak baru! Tunggu sebentar.." Tiba-tiba Bianca datang menghampiri Emma dan menepuk bahunya. "Bu Wen memintaku mengajakmu berkeliling sekolah untuk menjelaskan macam-macam hal yang perlu kau ketahui."
Emma menoleh dan berhenti berjalan. "Baiklah."
"Hmm... namaku Bianca. Kau kenapa pindah?" tanya Bianca sambil mengulurkan tangannya. Emma menjabat tangan gadis itu dengan enggan.
"Bu Wen sudah bilang aku pindah rumah," jawab Emma singkat. Ia tidak menyukai sikap Bianca yang tampaknya sedari awal memandangnya dengan tatapan yang mengingatkannya akan Mabel.
"Hmm.. begitu ya. Baiklah. Tidak perlu marah. Aku hanya penasaran." Bianca mengangkat bahunya dan memberi tanda agar Emma mengikutinya. "Aku akan mengajakmu berkeliling. Ikuti aku."
Karena tidak ingin mencari masalah, Emma berjalan mengikuti langkah Bianca berjalan ke ujung koridor untuk turun ke lantai satu.
"Mungkin kau belum tahu, tetapi anak-anak kelas A adalah siswa terpandai di sekolah ini. Diikuti dengan kelas B, C, dan seterusnya. Anak-anak di kelas F adalah siswa paling bodoh atau biang masalah." Bianca menunjuk ruang kelas yang mereka lewati satu persatu. "Kau tidak akan mau bergaul dengan mereka."
Kalimat terakhirnya ditujukan kepada serombongan siswa yang sedang duduk bergerombol di kelas paling ujung: 2F.
"Heiii... Stardust!" Tiba-tiba terdengar suara yang familiar dari antara gerombolan siswa 2F yang sedang duduk-duduk di depan kelasnya. Emma menyipitkan matanya untuk melihat dengan baik siapa yang berbicara itu.
Ah.. ternyata Haoran.
Dia anak kelas F?
Pemuda itu menyeruak dari antara teman-temannya dan tersenyum lebar menghadap ke arah Emma dan Bianca.
"Kalian saling kenal?" Bianca menoleh ke arah Emma. Gadis itu mengangguk.
"Ya." Ia balas menoleh ke arah Bianca dan melepaskan tangannya. "Aku tidak perlu orientasi darimu. Aku mau bicara dengan Haoran."
Saat ia melihat Haoran di kelas F, seketika Emma mendapat ide untuk mencari uang.
Ia berjalan menghampiri Haoran dan menarik tangannya berjalan ke arah tangga dan turun ke lantai satu, meninggalkan Bianca yang tercengang dan anak-anak kelas F yang keheranan. Sesaat kemudian segera terdengar suara-suara ribut para siswa kelas F menyoraki Haoran dan Emma.
Bianca mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi marah. Ia tidak mengira siswa baru ini sangat tidak tahu malu. Bukannya berterima kasih karena ia bersedia mengantar Emma dan menjelaskan segala sesuatunya tentang sekolah ini, gadis itu malah dengan vulgar memegang tangan seorang siswa kelas F dan menariknya turun.
"Wah... aku tidak tahu kau begitu merindukanku," komentar Haoran dengan suara jahil. Ia tersenyum-senyum senang karena Emma menarik tangannya di depan banyak orang. Bagaimanapun gadis itu adalah gadis tercantik di St. Catherine dan pasti ada begitu banyak murid lelaki yang sekarang menatap Haoran dengan iri.
"Aku tidak merindukanmu. Jangan ge-er," cetus Emma. Ia membawa Haoran ke tempat sepi di samping gedung sekolah dan melepaskan tangannya. "Aku perlu bantuanmu. Aku sudah membayar di muka dengan memegang tanganmu barusan, jadi kau tidak boleh menolak."
"Eh.." Haoran tertegun mendengar kata-kata Emma. Gadis ini benar-benar bukan gadis pemalu, pikirnya. "Baiklah.. apa yang bisa kubantu?"
"Aku perlu uang, 2000 dolar," kata Emma cepat.
Pemuda itu menatap Emma dengan pandangan rumit. Sepasang alisnya tampak mengkerut, menimbang-nimbang permintaan gadis itu. "Kau.. mau menjual dirimu.. kepadaku?"