"Bagaimana kalau gue berhasil?" tanya Kania yang keberadaannya hanya dianggap dekat saat tes saja. Dia sedikit tidak bisa banyak berbicara sekarang.
Malu memperbanyak bicara dia lebih memilih banyak diam karena dia paham dan tahu posisinya jika dia hanya mantan pacar Iqbal.
Banyak bicara pun akan terkesan salah. Dia datang, dijemput Iqbal hanya sebagai adik Tania. Bukan Kania.
Bodoh sekali dirinya!
"Lo yakin dengan hasil lo?" tanya Iqbal memastikan tingkat kepercayadirian Kania padanya. Kania tidak menjawab, dia diam cukup lama dan hanya melihat wajah Iqbal dengan serius. "Gue berbicara karena gue sedikit percaya diri," Iqbal mengakui kepercaya dirian Kania sekarang.
"Berapa persen?" tanya Iqbal kembali menekankan sesuatu. "Seberapa persen kepercayadirian gue, gue yakin lo enggak akan perduli," jawab Kania cepat.
"Tepat sekali," jawab Iqbal menyetujui. "Asal lo tahu aja secara kasar," sambung Iqbal ingin mengatakan sesuatu. "Gue enggak menginginkan lo lolos bersama gue,"
"Gue hanya bercanda waktu itu," Kania memutar bola matanya malas. "Gue bertanya kalau gue lolos, bukan berharap," Kania menekan ucapannya tanpa banyak bicara dengan ekspresi.
"Apa yang lo harapkan dari gue?" tanya Iqbal dengan wajah sangat serius. "Bukankah lo hanya berpikir kalau gue hanya mantan lo? Masalalu buruk lo?" tanya Iqbal kembali menegaskan jika dia menolak Kania.
"Jangan kembali pada masalalu, lo enggak akan menemukan sesuatu yang sama yang akan membuat lo nyaman seperti sebelumnya," nasihat Kania agar dia menyingkirkan harapannya. "Lo akan merasakan sakit keterlaluan nanti,"
"Kenapa?" tanya Kania menanyakan alasannya pada Iqbal lebih dalam. "Karena lo--"
"Kenala gue enggak boleh mengharapkan lo kembali?" Setelah pertanyaan Kania dikoreksi, Iqbal terdiam tidak bisa mengatakan apapun.
"Kenapa gue enggak boleh mengatakan isi hati gue sekarang?"
"Hubungan gue hancur, pacar gue pergi, dan gue berharap ke lo yang jelas-jelas lo menawarkannya. Kenapa gue enggak boleh berharap?" Kania mengulangi ucapannya pada Iqbal dengan wajah sangat serius.
"Kenapa lo sangat serius," tanya Iqbal tidak habis pikir dengan ucapan Kania yang menyudutkannya.
"Karena gue nyaman," Iqbal tertawa canggung mendengar jawaban Kania padanya. "Hapus semuanya, tolong buang gue dari pikiran lo,"
"Semua enggak akan ada yang sama setelah ini, jangan berusaha memperbaikinya dengan kembali. Lo akan merasakan sakit, bukan kenyamanan," jelas Iqbal kembali menolak masalalunya lagi, lagi dan lagi dengan berulang kali.
"Maaf?" ucap Iqbal kembali menjelaskannya pada Kania. "Jangan berharap terlalu jauh, gue masih kurang yakin dengan hasil tes dua hari yang lalu," Iqbal mengembalikan topiknya pada jalan yang seharusnya.
"Apa yang akan lo berikan dengan baik kalau gue benar-benar berhasil?" Iqbal menghela nafasnya berat.
"Gue yakin lo akan gagal," jawab Iqbal dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi. "Tolong jangan mengharapkan gue," mohon Iqbal pada Kania.
"Gue bukan menekan lo untuk kembali ke gue," ucap Kania memulaimya dengan cepat. "Gue hanya bertanya, bagaimana kalau gue berhasil," sambung Kania tidak bermaksud membuat Iqbal menjadi takut seperti ini.
"Tapi lo berharap, masalah paling buruk di dunia ini hanya saat menangani perempuan atau laki-laki yang sedang mengharapkan sesuatu dari seseorang," Kania tertawa canggung mendengarnya. "Lupakan itu," cegah Kania pada Iqbal.
"Pertanyaannya masih sama," ulang Kania pada maksud yang sama.
"Bagaimana kalau gue benar-benar berhasil dan mematahkan ucapan lo," tanya Kania seperti menodongkan sesuatu pada Aldi.
"Karena gue pria sejati dan percaya diri, gue akan mengajak lo balikan dengan sangat terhormat. Tapi ingat satu hal, saat lo gagal. Menjauhlah dari kehidupan gue maupun Salsha," minta Iqbal untuk berjaga-jaga.
"Tentu,"
°°°
"Ada apa? Kenapa lo melamun sekarang? Ayo, jalankan mobilnya," perintah Salsha yang sudah menunggu hampir limabelas menit karena Iqbal melamun dari tempatnya cukup lama.
"Ah, iya-iya. Ayo kita pulang," ajak Iqbal yang tersadar dari lamunannya dan mulai fokua pada perjalanan pulang mereka.
"Lo semakin aneh akhir-akhir ini, apa setelah gue mengatakan kalau gue udah putus sama Aldi lo menjadi sedikit risih ke gue?" tanya Salsha terus terang saja pada Iqbal, Iqbal menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan,"
"Gue lagi kurang enak badan karena beberapa hari ini gue terlalu banyak belajar untuk tes kemarin lusa," jawab Iqbal memberi sedikit alibi yang langsung bisa diterima oleh Salsha.
"Jaga kesehatan lo," ucap Salsha langsung saja. "Ada beberapa materi yang harus lo susul karena lo selalu dapat dispen tiga hari sebelumnya," sambung Salsha memberi sedikit arahan untuk jaga-jaga jika Iqbal gagal masuk.
"Terimakasih karena lo udah mau bantu gue untuk beberapa mata pelajaran untuk buku catatatnya," ucap Iqbal dengan sedikit merasa terbantu oleh Salsha, Salsha terkekeh.
"Lo harus membayarnya," sahut Salsha tidak mengatakannya jika dengan mengatakan terimakasih sjaa itu selesai.
"Ayo pergi makan malam malam ini, gue akan mentraktir lo karena gue udah menumpahkan semua pelajaran yang gue pelajari beberapa hari terakhir," ajak Iqbal pada Salsha untuk pergi keluar.
Salsha menggelengkan kepalanya menolak. "Gue bercanda tadi," ucap Salsha mengoreksi ketulusannya.
"Gue serius soal ini," Iqbal mengulanginya lagi. "Ayo pergi berdua aja, untuk merayakan hari lajang lo setelah putus dengan Aldi, dan kita bisa memulainya dari nol dengan gue," ajak Iqbal membuat Salsha cukup terkejut.
"Bukankah ini terlalu cepat?" tanya Salsha sedikit terkekeh saat Iqbal langsung mengajaknya pergi (Melupakan Aldi). "Kenapa?"
"Bukankah lebih cepat lebih baik?" Salsha tertawa mendengar petanyaan Iqbal yang terkesan tidak nyaman. "Iya gue tahu,"
"Hanya saja, beri waktu gue untuk move on dari Aldo, sebenarnya gue bisa langsung move on aja. Tapi kalau gue terlalu cepat menjalin hubungan sama lo, bukankah akan enggak baik juga di mata orang lain?" tanya Salsha yang masih memikirkan pendapat orang lain padanya.
"Kenapa lo masih melakukannya?" tanya Iqbal membuat Salsha yang mendengarnya terkesan bingung. "Maksud lo?"
"Kenapa lo masih hidup dengan memikirkan pendapat orang lain sedangkan mereka enggak menganggap lo penting dihidup mereka?" Salsha tersentak dengan pertanyaannya.
"Maaf?" sela Salsha sedikit ingin mengoreksi. "Bukan gue yang terlalu sibuk mengurusi orang lain, hanya saja mereka yang terlalu ikut campur di hidup gue," jawab Salsha menjelaskan kenapa dia masih melakukannya juga.
"Mulai sekarang, hiduplah dengan apa mau lo dan apa yang ingin lo rasakan. Tutup telinga lo dan jalanlah maju tanpa mengaktifkan malfungsi yang membuat lo terganggu," Iqbal memberi arahan pada Salsha agar bisa hidup lebih jelas dan melihat ke depan dengan sangat serius.
"Enggak bisa," protes Salsha lagi. "Kenapa? Lo belum mencobanya," Iqbal kembali mendorong Salsha agar mendapatkan semangat hidup lain.
"Karena gue hanya butuh waktu tiga hari untuk move on, ini bukan waktu yang lama kan? Kenapa lo enggak mau menunggu," gerutu Salsha membuat Iqbal terkekeh dan mengelus puncak kepalanya Salsha lembut.
"Gebetan siapa ini? Kok bisa manis banget," keluh Iqbal yang menganggap Salsha gemas karena tingkahnya.
"Tapi lo perlu hidup tanpa memikirkan pendapat orang lain mulai sekarang," Iqbal kembali mengubah topiknya pada yang sebelumnya. Salsha terkekeh, dia menganggukkan kepalanya patuh dan menurut saja karena Iqbal selalu mengarahkannya pada hal yang menyenangkan.
"Iya," jawab Salsha hanya dengan suara, Iqbal tersenyum puas sekarang. Dia mendapatkan jawabannya.
Dua lebih baik daripada Satu. Bukankah ini jelas?
Hallo kak, maaf ya telat update. Insya allah, mulai bulan ini, PL akan update setiap hari ya kak, /senyum