Ayam sudah menggema, berkokok di tengah hutan sana sejak subuh tadi. Sebelumnya Aku tidak pernah kalah dengan ayam dalam hal bangun pagi. Tapi untuk kali ini otakku terus menyuruh mataku memejam dan berkata "sebentar lagi".
"Santi sudah sampai Mak?" terdengar sayup-sayup Mba Ranti menanyakan keberadaanku.
Aku pun bergegas keluar kamar. Kuikat rambutku sekenanya. Kuregangkan tulang belakangku sambil berjalan menuju ke arah dapur. Ah padahal masih ingin tidur tapi kalah dengan rasa sungkan pada Iparku itu.
"Hai mba ranti, Apa kabar?" Sapaku dengan suara sumbang.
Dia pun menoleh ke arahku. Lalu aku mendekat kepadanya dan salim kepadanya.
"Kapan ndok kamu sampai?" tanyanya ramah kepadaku.
Aku pun berjalan mendekati Simbok yang sedang mengulek sambal. Lalu aku mengambil tempe goreng yang masih hangat. Belum sampai ke mulutku Simbok sudah menimpuk tanganku.
"Kebiasaan." Cebik Simbok.
Mbak Ranti cuman senyum melihat aku menyun.
"Tadi malam mbak sampainya." Jawabku sambil lari ke depan membawa kabur satu potong tempe goreng masakan simbok.
"Loh kok mbak enggak di bangunin to...?" tanya mbak Ranti sambil menaikkan nada suaranya karena aku sudah ada di teras belakang rumah.
"Sudah malam mbak, enggak enak sama mas. Lagian aku juga capek banget langsung tidur."
Aku pun melanjutkan perjalanan berkeliling rumah masku. Kulihat cukup luas juga pekarangan punya kakakku ini.
Di belakang rumah kulihat tiga tambak ikan. Sejajar dengan tambak dan halaman belakang ada kebun yang di tanami pohon coklat. Menakjubkan. Kalau dihitung-hitung kakakku ini cukup kaya walaupun cuma sekedar pendatang.
Selain rumah dan tanah sekelilingnya. Kakakku juga punya ladang karet dan sawit yang luas. Hemm kalau di Jawa sudah jadi pesohor kamu kak. Batinku.
Aku berjalan menyusuri kebun coklat kakakku. Diam-diam aku menghitung berapa banyak pohon coklat yang ditanam namun berujung lupa.
Sekeliling kebun memang dipagari dengan bambu. Tapi aku rasa siapa pun bisa menerobos melaluinya.
Aku pun berjalan menuju tambak. Tambak dengan ukuran cukup besar ini memang tampak berwarna hijau. Namun aku yakin di dalamnya terdapat kehidupan yang mengesankan. hal itu bisa di lihat dari banyak kokopan ikan yang tampak sudah besar-besar.
Selain ikan pusat perhatianku juga tertuju pada tumbuhan teratai di permukaannya. Jarang sekali aku melihat teratai bahkan hampir tidak pernah. Karena cuaca bagus dan hari masih pagi. Teratai-teratai itu pun berlomba-lomba memekarkan diri. Warna pink alami kelopak-kelopaknya begitu memikatku. Sayangnya mereka berada di tengah tambak.
Aku pun mengambil sebilah ranting kering. Kumasukkan ujungnya ke dalam air. Sambil jongkok kumainkan ke sisi kanan dan kiri sehingga air pun bergoyang dan membuat seisinya terperanjat. Maksudku adalah ikan-ikan yang sedang menghirup oksigen itu melarikan diri dari tempat semulanya.
Aku tersenyum sendiri seperti bocah.
Pikiranku melayang ke beberapa tahun silam. Kenapa pada akhirnya kakakku memutuskan untuk pergi ke tempat yang notabene masih hutan ini.
Dahulu kami adalah keluarga yang cukup berada. Ayahku adalah orang perantauan berasal dari Kota Semarang. Yang ditugaskan di desaku untuj menjadi pamong. Jaman itu, seorang pamong memiliki posisi yang sedikit termasyhur. Terbukti dari kekayaan yang dimiliki ayah berupa ladang dan sawah.
Setelah ayah merantau cukup lama di desa kami akhirnya ayah jatuh cinta dengan Simbok. Sbagai anak pertama, Simbok tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Jaman dahulu wanita itu haram untuk sekolah. Sama seperri sekarang ini. Pendidikan juga belum cukup merata.
Jadilah Bapak dan Simbok menikah. Keluarga kami cukup terpandang berkat posisi ayah di desa. Selain itu, kekayaan kami juga menjadi tolak ukur bagaimana orang memandang kami.
Dari pernikahan tersebut kemudian lahirlah anak pertama bernama Sardi. Selang satu tahun lahirlah anak ke dua bernama Kardi.
Jaman dahulu tidak ada istilah keluarga berencana. Orang desa khususnya tidak mengenyam pendidikan tentang tatacara kehidupan berumah tangga. Sehingga angka kelahiran meningkat pesat di kalangan rakyat-rakyat pedesaan. Totalnya simbik melahirkan sebanyak lima anak:Sardi, Kardi,Mardi,Aku dan Wisnu.
Namun suatu peristiwa menimpa Mas Sardi sebelum Wisnu terlahir. Berimbas ke seluruh keluarga pad akhirnya hal peristiwa itulah yang membuat Mas Sardi memutuskan untuk ikut transmigrasi.
Sebenarnya Mas Sardi punya cita-cita menjadi polisi atau tentara. Namun tak pernah terlaksana. Dahulu, kata Simbok saat bercerita kepadaku. Mas Sardi pernah di rekrut untuk menjadi anggota serdadu. Namun sebelum keberangkatan Simbok menangis dan menghentikan kepergian Mas Sardi.
Akhirnya Mas Sardi pun mengurungkan niatnya karena tidak hanya Ibu, ternyata Bapak juga melarang.
Sebagai gantinya Mas Sardi pun memulai karir sebagai pamong. Di mulai dari pamong Rt hingga naik pangkat sebagai bayan.
Kemudian Sardi pun hendak di calonkan untuk menjadi seorang carik atau sekretaris desa. Mas Sardi yang merasa mampu dan mendapat dukungan dari Bapak yang sudah tua pun menerima pencalonan itu.
Mas Sardi yang seorang sosialis tidak tahu bahwa posisinya diincar oleh banyak orang yang memiliki kepentingan pribadi. Pada akhirnya Ia di jebak oleh temannya sendiri..
Awalnya Ia diajak oleh temannya itu untuk rapat dadakan. Sebenarnya ia sempat curiga. Karena tempat pertemuannya adalah di tempat perjudian yang cukup terkenal di daerah kami. Memang, terkadang banyak pemuda yang pergi ke sana. Sekedar untuk melihat-lihat.
Namun karena temannya ini mengajak beramai-ramai. Namun hingga tiga hari Mas Sardi belum juga pulang. Ibu yang merasa cemas pun mencarinya. Begitu pun Ayah. Di tanya seluruh teman-temannya. Namun salah seorang teman mengatakan bahwa kak Wito pergi ke tempat prostitusi.
Mendengar kata menjijikkan itu ayah sama sekali tidak mempercayainya apalagi Simbok. Namun warga kampung yang terlanjur mendengar berita keberadaan Mas saya mulai berbisik-bisik.
Awalnya mereka semua memang diam. Berbisik dari satu mulut ke mulut lain. Namun semakin lama-kelaamn tatapan mereka ke pada keluarga kami juga mulai berubah. Mereka mulai menunjukkan kontranya kepada keluarga kami. Sampai akhirnya Mas Sardi pun pulang
Masyarakat berkumpul di latar depan rumah kami. Mereka berbisik, menggunjing, sebagian bahkan berani memaki.
Masku pulang dengan keadaan lusuh. Baju yang Ia pakai adalah baju saat Ia pergi dengan teman yang tidak lain dan tidak bukan adalah rival dari pencalonan kakakku menjadi sekretaris desa.
Masku hanya diam ketika menghadap ayah dan Simbok. Simbok memeluknya dengan penuh air mata.
"Aku di jebak Mbokk" kata Mas Sardi seraya menunduk.
Saat itu aku memang masih terlalu kecil untuk mengerti. Namun keadaan hening di ruang tamu menjelaskan segalanya. Ayah, Ibu, Mas Kardi dan Mas Mardi sudah menduga akan terjadi hal-hal seperti ini. Mereka menatap kosong pada awang-awang. Dalam masing-masing pikiran mereka yang kecewa dengan keadaan yang memalukan ini.
Seseorang mengetuk pintu. Ia adalah salah satu dari pengurus desa. Mengetahui ada ramai-rami di depan rumahku. Ia pasti langsung turun tangan.
Ibu membukakan pintu. Rupanya pak Bayan.
Pak Bayan menjelaskan maksudnya datang ke rumah. Bermaksud tabayun dengan keadaan yang sedang ramai di masyarakat.
"Begini pak bu saya datang ke sini bermaksud untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Namun sebelum itu, kami juga ingin tahu kronologi kejadian yang menimpa mas Wito ini."