Aku menatap tak percaya ketika Anya tiba-tiba menciumku disaat aku sedang tidak siap. Meski bukan ciuman yang intens melainkan hanya saling menempelkan bibir satu sama lain tapi aku mulai menikmati hembusan nafas hangat yang menerpa wajahku.
'Sebenarnya... apa yang berbeda darimu, Anya? Aku terus saja memperlakukanmu berbeda, bahkan jauh berbeda melebihi teman semasa kecilku',pikirku menatap intens Anya.
Tak seberapa lama Anya menarik tubuhnya menjauh dariku, tapi sangat jauh di lubuk hatiku, aku merasa tak rela.
"Maaf...",ucapnya pelan.
Sempai terjadi keheningan panjang sebelum aku menyadari jika Anya bahkan belum sempat memakai pakaiannya.
"Aku akan keluar, agar kau bisa memakai pakaianmu",ucapku di tengah keheningan dan aku pun mulai berjalan ke arah luar.
"Tunggu!",ucap Anya tiba-tiba menarik tanganku.
"Aku bersalah telah mencium dirimu, jadi tetaplah disini!",ucapnya dengan suara yang sedikit membesar.
'Apa yang salah?',pikirku tanpa henti, bahkan ketika Anya berbalik membelakangiku, lalu membuka handuk yang melilit tubuhnya. Anya berniat mengenakan pakaiannya tepat di depan mataku.
Perlahan tapi pasti, aku mulai merasakan bentuk tubuhnya yang besar namun sebelumnya tidak pernah nampak dimataku karena selalu tertutupi oleh pakaiannya.
'Apa setelah ini Anya akan menghajarku karena masuk ke kamarnya tanpa izin?',pikir mematung menyadari jika Anya adalah tipe wanita yang kuat secara fisik.
Sayangnya sangat berbeda dengan apa yang kupikirkan, Anya memakai pakaiannya secara lengkap kemudian berbalik menghampiriku yang terdiam membeku menatapnya.
"A... kau sudah selesai memakai pakaianmu, aku akan keluar sekarang",ucapku setelah sekian lama saling menatap.
"Aku tidak begitu mengerti...",ucapnya pelan terhadapku.
"Kau masuk ke dalam hidupku dan bertingkah seolah kita sudah mengenal cukup lama, seakan diriku lebih dari cukup untuk kau percayai",lanjut Anya dan aku hanya diam mendengarkan.
"Aku tak tahu jika kau berpikir aku begitu",komentarku langsung bungkam.
"Aku menyukaimu",sebuah ungkapan lembut yang pertama kali kudengar dan aku hanya bisa menanggapinya dengan terkejut,"hah?"
"Jangan merasa terbebani! Aku benar-benar tidak bermaksud menjadikanmu pelarianku, aku hanya merasa aneh. Saat aku mengatakannya hari itu, aku mengucapkannya tanpa sadar",ucapku seakan-akan terdengar memberikan harapan palsu terhadapnya.
"Ah-ha?",gumam Anya pelan.
Anya pun berjalan mendekat ke arahku, seketika aku menyadari jika Anya bahkan lebih tinggi dariku. Seperti tinggi khas seorang pria dewasa.
Setelah itu, dapat kurasakan tangannya menyentuh wajahku dan dia kembali menciumku. Tak hanya sampai disitu, Anya bahkan menjilati seluruh permukaan bibirku hingga basah. Aku pun termenung,'apa yang salah?'
Seakan bungkam, kali ini pun aku sama sekali tak mendorongnya menjauh. Diantara bingung dan kaget, aku terdiam membeku. Seketika ada rasa menggelitik muncul di hatiku.
"Maaf membuatmu merasa tidak nyaman, tapi tidak kusangka.. kau bahkan mengacaukan perasaanku",ucap Anya membuatku merasa tergerak untuk menatapnya lebih dalam.
"Tenang saja, aku tahu kau tidak bermaksud buruk",lanjut Anya langsung pergi dari hadapanku seolah dia telah berbuat salah.
Sungguh sebuah rasa yang tak pernah tertebak. Darimana asalnya? Sumbu apa yang menyalahkan rasa cinta itu? Hanya sebuah rasa ingin memiliki yang kami tahu.
"Hahh... apa sebenarnya telah kuperbuat? Melangkah sejauh ini, padahal aku baru mengenalnya seminggu",ucapku merasa kacau.
Aku pun memutuskan untuk pulang ke rumahku, aku ingin memikirkan kembali dengan jernih terkait apa yang baru saja terjadi?
Keesokan harinya...
Tanpa pernah diduga olehku, aku menunggunya! Menunggu dia yang bahkan belum juga datang ketika pembelajaran sudah dimulai.
Merasa iba,'apa ini semua salahku?' pikirku sama sekali tidak bisa fokus.
Ketika waktu istirahat tiba, aku buru-buru menghampiri Adrian, satu-satunya teman terdekat Anya yang kutahu. Akhirnya aku menemukan Adrian.. tanpa bisa kuduga, sedang bersama teman semasa kecilku.
"Adrian? Apa kau melihat Anya? Apa ada sesuatu yang mengganggunya sehingga dia tidak bisa datang?",tanyaku tak bisa menyembunyikan raut wajah khawatir.
"...? Anya? Ya, kurasa dia pulang ke rumah orang tuanya hari ini. Dia tidak menghubungimu?",balas Adrian santai.
Aku langsung menggeleng,'aku bahkan tidak mengetahui apapun tentangnya' pikirku merasa tersadar.
"Anya.. kau tahu dimana alamat rumah orang tuanya?",tanyaku berpikir cepat.
"Hm... ya, mungkin belum terlambat jika kau ingin mendatanginya ke bandara sekarang",balas Adrian sembari berpikir dengan ragu.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengangguk,"beritahu aku bandara mana yang sedang Anya tuju."
Akhirnya setelah mendapatkan jawaban yang cukup memuaskan, aku langsung berlari layaknya orang gila, merasa khawatir, jika aku terlambat sedikit saja. Mungkin... aku benar-benar takkan melihatnya lagi.
Aku ketakutan. Anya sangat berbeda, aku ingin bersamanya. Perasaan gundah saat aku tak lagi bisa melihat ataupun mendengar suaranya. Aku Tak Ingin Melepasnya Pergi!
Dalam satu setengah jam, aku pun sampai ke bandara, berlari tanpa arah dengan masih mengenakan seragam yang bercucuran keringat.
"ANNYAAAAAAAA! JANGAN PERGI!",teriakku merasa sangat putus asa, bahkan aku tak lagi mempedulikan orang-orang yang menatapku dengan berbagai macam tatapan.
"Hngh...?",bahkan tak butuh waktu lama bagiku menyadari, jika aku tengah menangisinya saat ini.
"...."
"...."
"Hei lihat, pria itu menangis", terdengar suara bisik-bisik dari sekelilingku tapi aku hanya berusaha mengusap air mataku yang terus keluar tanpa henti.
"Hei, ayolah jangan cengeng! Kemana perginya Yuuto yang ramah dan begitu percaya diri?",hingga aku mendengar sebuah suara lain yang berbicara padaku dengan lembut dan tenang.
"Aku serius! Jangan menangis! ...Setidaknya, berhentilah menangis, untukku! Kau terlihat menyedihkan sekarang",ucap suara lembut itu hingga dapat kurasakan sebuah tangan menyentuh kepalaku.
"Kau masih akan pergi?",tanyaku pada akhirnya dengan suara pelan.
"Tentu, aku hanya menemui keluarga. Tidak ada hal yang perlu disesali... dan, karena kau telah disini, bagaimana jika kau ikut aku menemui mereka?",tawar Anya dan akhirnya aku pun benar-benar berhasil menatapnya kali ini.
"Sepertinya tidak perlu, aku kan hanya akan menunggu disini",ucapku jelas dengan ragu.
"Ya... kurasa kau benar-benar harus ikut aku kali ini. Ada banyak hal yang tidak kau ketahui tentangku, bagaimana jika kau memulainya dari hal kecil ini?",tawar Anya secara tiba-tiba dan aku pun kebingungan,"hah?"
"Mengejarku sejauh ini, berkeringat karena berlari hingga membuat seluruh pakaianmu basah, berteriak kemudian menangis dan mengatakan jika kau tak ingin kehilanganku. Bukankah semua itu cukup untuk menjelaskan semuanya?",balas Anya menjelaskan panjang lebar hingga aku menyadari jika urat maluku telah putus karena melakukan semua itu secara berlebihan tanpa pikir panjang.
'Aku jelas telah gila kali ini',pikirku merutuki segala kebodohanku, kemudian menatap Anya dengan perasaan lega.
"Bagaimana? Mau ikut?",ajak Anya masih tidak menyerah terhadapku.
"Baiklah.. karena kau begitu memaksa, aku tak punya pilihan lain selain menerimanya",balasku kemudian.
"Eh?",gumam Anya terbelalak kaget.
Ya, sepertinya kali ini, aku benar-benar telah kembali pada jati diriku yang sebenarnya.
— 次の章はもうすぐ掲載する — レビューを書く