Keesokan hari, paginya Bima, Oki dan Raya pergi menggunakan mobil ke tempat kemping yang dikunjungi Dion tiga bulan lalu.
Untuk sampai ke sana, mereka perlu melalui jalan kecil yang melewati beberapa perkampungan. Jalan yang penuh lubang dan sesekali harus tersendat karena bentrok dengan mobil dari arah yang berlawanan.
Oki berada di belakang kemudi, terkadang tampak marah ketika mendapati motor yang mendahului seenaknya. Atau ketika mobil dari jalur berlawanan ingin memaksa lewat dan tidak mau mengalah.
Di samping Oki, di kursi depan terdapat Raya yang menuntun jalan. Sesekali, Raya harus menenangkan Oki yang naik pitam karena situasi di jalan.
Sedangkan Bima, duduk dengan santai di kursi belakang. Memainkan game ponsel tanpa memperdulikan kejadian yang ada di luar mobil. Mau itu macet, perang klakson hingga para pengemudi motor yang memprovokasi. Dia tidak peduli.
Bima fokus ke layar ponselnya. Sesekali matanya melirik ke luar ketika game loading. Melihat sekilas lingkungan yang dilewati.
Perkampungan yang awalnya cukup ramai dengan rumah yang modern, semakin lama berubah menjadi perkampungan yang sepi dengan rumah yang mulai terlihat sederhana.
Rumah-rumah panggung dari anyaman bambu, dengan jarak antar rumah sangat jauh, sehingga membuat suasana perkampungan itu semakin lengang. Hewan-hewan ternak serta anjing terlihat bebas berkeliaran di halaman dan jalanan.
Motor pun telah berkurang. Jalanan pun berubah dari aspal menjadi tanah berbatu. Mobil mulai berguncang, dan Bima yang memainkan game mulai terombang-ambing, sehingga pusing dan mual mendatangi dirinya.
"Ugh... jalannya jelek sekali."
Keluh Bima, yang melirik ke lingkungan luar. Selain rumah, pemandangan sekitar pun telah terhiasi oleh pohon-pohon tinggi. Yang semakin mobil menanjak pohon-pohon itu semakin banyak dan jumlah rumah semakin berkurang.
Hingga akhirnya mereka tiba di jalan yang berada di tengah hutan. Samping kiri telah berubah menjadi tebing. Suara manusia dan kendaraan di luar telah menghilang, berganti suara alam yang tentram.
"Apa benar ini jalannya?" Tanya Oki, yang merasa kalau dirinya semakin jauh dari peradaban.
Raya mengangguk, berkata kalau mereka hanya tinggal lurus saja.
"Apa benar ada tempat berkemah di wilayah ini? Kurasa ini tempat ini terlalu terpencil, mencurigakan sekali."
Ujar Bima yang mengundang gelak tawa dari Oki.
"Hahaha, Bim, apa kamu gak pernah kemping? Tempat kemping tuh memang di tempat kayak gini, jauh dari perkotaan. Sepi dan menyatu dengan alam. Bukannya kamu ini setahun traveling, memang gak pernah ke gunung?"
Mendengar ucapan dari temannya itu wajah Bima seraya merengut. Dia memang traveling ke seluruh penjuru kota di Negeri Pertiwi, namun tujuannya bukan ke gunung atau ke pantai namun di perkotaannya. Ke museum, situs sejarah dan juga perpustakaan daerah.
Gunung? Terlalu melelahkan. Kemping? Buat apa? Lebih baik di kamar, lebih nyaman dan lebih sepi. Pantai? Panas dan membuat kulit lengket. Jadi, yeah... Bima bukan orang yang suka bermain ke alam.
Sewaktu ada kegiatan kemping pada masa sekolah dan kuliah dulu. Bima tidak pernah mengikutinya. Dia beralasan sakit dan tiduran di rumah seharian.
"Aku tidak mengerti orang yang suka kemping. Mereka punya rumah yang nyaman, makanan yang tinggal pesan, tapi kenapa mereka malah hobi menyiksa diri tinggal di tengah hutan yang tidak nyaman? Nyamuk di mana-mana. Makan harus buat sendiri dengan bahan seadanya. Tidak ada listrik, kadang tidak ada sinyal. Semua hal tentang kemping, buatku sungguh tidak menarik."
"Alam, Bim! Alam! Kita menyatu dengan alam! Itu nilainya!" Tegas Oki.
"Kalau kau mau menyatu dengan alam, kau tinggal mati dan tubuhmu akan menjadi satu dengan tanah."
"..."
Oki langsung terdiam. Dia tidak mau lagi membalas, karena tahu kalau dirinya hanya akan kalah dalam adu argumen.
Raya yang mendengarkan obrolan kedua lelaki tertawa kecil. Sesungguhnya, sama seperti Bima, Raya juga kurang mengerti nikmatnya aktivitas berkemah di alam terbuka. Dia lebih memilih aktivitas dalam ruangan. Namun, Raya tidak menolak ekstrim seperti Bima.
"Tempat kemping beragam. Tidak hanya di tempat yang terisolasi seperti ini, ada juga yang di tengah kota. Tergantung masing-masing orang mereka memilih di mana. Tapi, yeah, tempat seperti ini memang normal sebagai kawasan perkemahan. Meskipun, aku tidak menyangkal kalau tempat ini mencurigakan." Tutur Raya.
"Tentu mencurigakan, toh, ada sesuatu yang membuat adikmu seperti itu," tambah Bima.
Raya tersenyum miris sejenak, sebelum menambahkan kalau ada hal lain selain hal mistis tersebut, yang terbilang mencurigakan.
Tempat yang akan mereka kunjungi sebenarnya tidak murni suatu bumi perkemahan. Namun di sana pun terdapat hutan jati putih dan pohon karet.
Raya yang menginvestigasi tempat itu sebelumnya, menyadari kalau tempat perkemahan tersebut tidak memiliki izin resmi untuk beroperasi. Tempat itu tiba-tiba dijadikan bumi perkemahan oleh orang-orang sekitar yang mencium adanya keuntungan.
"Padahal, tempat ini merupakan salah satu hutan konservasi. Dilindungi oleh pemerintah, tapi beberapa warga di sini bekerja sama dengan penguasa setempat untuk membuat tempat perkemahan tersebut. Yang mana, walaupun hanya beberapa hektar, mereka pada akhirnya menambang pohon di kawasan kemping," jelas Raya.
"Pembalakan liar, kah..."
"Well, yeah. Tapi mau bagaimana lagi, kurasa banyak tempat seperti ini di daerah lain juga."
"Sigh... ini menjadi semakin buruk saja. Jadi, berapa lama lagi sebelum kita sampai?"
"Kurang lebih setengah jam."
'Setengah jam?'
Bima seraya melihat jalan. Memperhatikan alam sekitarnya. Bila diingat-ingat, cerita yang disampaikan Raya pada podcast kemarin seharusnya terjadi di sekitar sini.
Dia bertanya kepada Raya, apakah dia tahu tempat berhentinya mobil kala itu. Raya sadar apa yang ditanyakan dan maksud dari Bima. Dia mengangguk lalu menyuruh Oki berhenti tepat di tempat mobil itu berhenti.
Bima mengintip keluar jendela. Dia tidak melihat apapun, Bima lalu menyuruh Oki untuk melaju namun pelan-pelan, hingga sekitar dua ratus meter, Bima menyuruh Oki untuk berhenti.
Bima keluar dari mobil, memandangi jalan yang tepat berada di belakang mobil.
"Ada apa, Bim?" Tanya Oki.
Bima mengernyit, di depan matanya kini terdapat asap hitam yang menyerbak keluar dari dalam jalanan. Sesuatu yang aneh. Dia merasa ada sesuatu di balik batu ada jalan tersebut.
Dia mendekat, tadinya ingin mencoba menyisihkan batu-batu jalanan tersebut, untuk melihat hal di baliknya. Namun niatnya langsung diurungkan ketika merasakan kalau dirinya sedang disaksikan oleh sesuatu atau seseorang.
Bima melihat ke sekitarnya. Dia tidak melihat apapun, namun instingnya berkata untuk menjauh.
'Ini pasti tempat teman Dion itu terjebak di jalan tak ada ujung.'
Bima memutuskan untuk kembali dan meninggalkan apapun yang ada di balik jalan bebatuan tersebut. Bukannya dia takut, Bima hanya tidak mau berurusan dengan apapun yang sedang melihatinya saat ini.
'Tampaknya banyak hal yang aneh di tempat ini. Ini akan sangat menyusahkan...'
Mobil pun tiba di tempat parkiran bumi perkemahan. Tempat parkir yang hanya berupa tanah lapang dengan rumput-rumput pendek patah akibat tergilas ban kendaraan.
Bila tempat tersebut terguyur hujan. Maka permukaan tanah itu akan berubah lembek dan memakan sepatu pengunjung sebagai korban.
Salah satu korbannya sekarang adalah Bima. Lelaki itu turun dari mobil dengan wajah yang fokus pada layar ponsel. Sehingga dia tidak memperhatikan pijakan tanah di samping mobil. Ketika satu kakinya mendarat turun, seketika setengah sepatunya masuk ke tanah basah.
"...fu*k."
Bima melihat sepatunya yang seketika terselimuti oleh tanah. Wajahnya yang sedari tadi telah kesal karena merasakan adanya orang yang sedang melihati. Kini dia semakin geram. Wajahnya semakin merengut.
Sungguh dia ingin pulang. Inilah salah satu alasannya Bima tidak suka melakukan aktivitas di gunung. Apanya yang membuat damai? Yang ada membuat orang kesal dan capek oleh emosi!
Raya yang melihat raut seniornya tersebut langsung menghampiri dan menenangkan dengan menawarkan Bima keripik kentang dan minuman. Sedangkan Oki setelah mengeluarkan barang-barang, dia langsung menghampiri pengelola perkemahan untuk meregistrasi penyewaan.
Setelah beres registrasi, resepsionis itu mengambil uang sewa lalu menyuruh para tamunya untuk masuk tanpa melihat wajah Bima dan kawan-kawan kedua kali.
'Tidak, dia hanya melihat wajah Oki saja.'
Gumam Bima dalam hatinya, mulai berjalan mengikuti Oki yang berada di depan. Matanya masih melirik ke resepsionis yang terus menunduk.
Bagi Bima, sikap pengelola tadi terlalu acuh, seolah tidak peduli dengan bila jumlah uang sewa tidak sesuai dengan jumlah orang yang masuk. Dan, tampaknya bila terjadi sesuatu dalam perkemahan, dia tidak akan peduli sama sekali.
'Lalai atau disengaja?'
Tanya Bima dalam benaknya, yang lalu mulai menghadap ke depan. Melihat jalanan menanjak penuh bebatuan dan tanah basah telah menunggunya.
"Ugh... anjing."
Wajah Bima kembali kusut. Raya yang ada disampingnya tersenyum masam. Dia mengepalkan kedua tangannya lalu mencoba menyemangati seniornya.
"Semangat, Kak Bima!"
Bima melirik sinis ke arah Raya, "Hanya masokis yang bakal semangat bila melihat penderitaan yang sudah menantinya."
"...Umm... yeahhh?"
Raya seketika kehilangan kata-kata. Meskipun telah beberapa kali bertemu dengan Bima untuk beberapa hari terakhir, dia tetap tidak bisa mengerti pikiran dari seniornya satu itu.
Well, setidaknya itu adalah pandangan terhadap dirinya sendiri. Karena dari sudut pandangan Oki yang ada di depan. Dia bertanya-tanya bagaimana Raya bisa mengetahui emosi Bima dan selalu berusaha menenangkannya.
Karena dari mata Oki, Bima bukanlah orang yang ekspresif.
Beberapa menit kemudian, ketiganya pun sampai di tempat perkemahan. Tanah lapang yang dipenuhi oleh rerumputan tipis. Puluhan pohon jati yang menyongsong langit, serta aliran sungai kecil yang berada di bagian selatan tempat tersebut.
Namun dari segala hal tersebut, terdapat satu hal yang cukup mencolok. Terdapat sebuah balok kayu besar di tengah lapang perkemahan. Balok kayu yang mungkin tingginya melebihi tinggi sebuah rumah biasa.
"Woah~ kayu apa itu? Besar sekali!" Tukas Oki yang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Raya yang tidak jauh di belakang tertawa kecil melihat reaksi tersebut. Karena dia sendiri memperlihatkan reaksi yang sama saat pertama kali datang ke perkemahan tersebut.
Gadis itu lalu melihat ke sampingnya, ingin melihat reaksi dari Bima. Namun dirinya semerta merinding ketika yang dia lihat dari raut wajah Bima adalah raut dingin bagai tanpa emosi.
"Ka-Kak Bima...? Ada apa?"
Tanya Raya, nadanya terdengar gugup bercampur cemas. Bima seketika melirik. Dua matanya benar-benar membuat bulu kuduk Raya berdiri.
Gadis itu bahkan mulai bertanya tentang keaslian dari Bima di depannya. Apakah dia benar Bima atau bukan? Kalau benar, mengapa lelaki itu memberikan aura menyeramkan bagai bukan seorang manusia? Namun...
'Bagai suatu mayat...'
Itulah impresi yang Raya rasakan saat ini. Membuat gadis itu serta merta membeku ketika sepasang mata seniornya itu melirik padanya.
"Ki, kau dan Raya siapkan tenda dan lain sebagainya. Ambil tepat yang berada di samping sungai. Jangan pergi ke mana-mana, mau ke tempat parkir, warung bahkan toilet. Beritahu aku bila kalian ingin pergi," titah Bima dengan nada yang serius.
Oki tertegun sejenak sebelum balik bertanya.
"Kau akan ke mana?"
"Hanya berjalan-jalan di sekitar sini. Tapi... tempat ini jauh lebih berbahaya dari ekspektasiku," gumam Bima, yang padahal ekspektasinya itu sudah jauh meningkat pada saat menyadari ada sosok yang memperhatikannya. Namun kini harus diakui, Bima masih meremehkan tempat yang didatanginya tersebut.
"Ah, jangan coba-coba mendekati kayu besar itu," tambah Bima.
"Kenapa?"
"Besar kemungkinan hal tersebut yang dinamakan tabu untuk tempat ini."
"?"
Bima hanya nyengir lalu menyuruh keduanya untuk pergi menyiapkan tenda. Setelah keduanya tiada, Bima kembali memindai sekilas tempat yang ada di depannya.
Selain mereka bertiga, orang yang datang ke tempat perkemahan tersebut mungkin hanya belasan. Itu hanya perkiraan dari jumlah tenda yang berdiri di lima tempat.
Namun bukan jumlah pengunjung datang yang mengkhawatirkan Bima. Melainkan jumlah sosok astral yang dapat dilihatnya kini.
Waktu masih menunjukkan betapa teriknya matahari. Mulai mengeringkan tanah basah yang ada di permukaan. Namun, sosok yang telah menampakkan diri berkisar tiga puluh.
'Terlalu banyak... ini pertama kalinya aku melihat satu tempat dengan puluhan hantu.'
Tidak sampai di situ. Terdapat hal yang membuat Bima semerta menaikkan tingkat kewaspadaannya.
Puluhan hantu tersebut, yang berada di berbagai pojok perkemahan. Ada yang berada di dalam tenda seseorang. Ada yang berada di atas pohon, menggantung sambil tertawa. Ada yang separuh tubuhnya terkubur di dalam tanah. Ada yang terbang hingga ada yang sedang duduk di atas bahu seseorang.
Namun seluruh hantu tersebut memiliki satu kesamaan. Mereka semua memiliki rantai yang melilit di leher masing-masing. Rantai yang terulur dari balik kayu besar yang berada di tengah bumi perkemahan.
'Apa lagi ini? Budak? Ada sistem perbudakan dalam dunia perhantuan?'
Bima bertanya-tanya di kepalanya sambil mulai berjalan ke arah balok kayu besar. Tiba-tiba dia teringat Lani yang ada di gelangnya.
Perbudakan... damn, Bima semerta mengumpat pada dirinya sendiri.
Ketika Bima sampai di depan balok kayu. Dia melihat ke dasar balok, yang mana seluruh rantai yang mengikat para hantu berasal dari sana.
Untuk saat ini, Bima menyimpulkan kalau apapun yang mendominasi para hantu di sekitarnya mungkin berada di dalam sana. Di bawah balok kayu besar, yang Bima sendiri agak aneh dengan besar kayu tersebut.
'Pohon macam apa dengan kayu sebesar ini?'
Pikir Bima yang kemudian kembali memindai sekitarnya. Karena dia merasakan semua mata dari sosok astral yang ada kini tertuju padanya.
Bahkan ada yang mulai mendekati. Tampaknya mereka mulai tertarik karena ada yang mendekati tempat tuannya.
Bima seraya bersikap acuh. Pura-pura tidak melihat segalanya dan berakting sebagai pengunjung biasa.
"Wah, kayu besar, ya. Hebat. Besar. Kuat?"
'Apa yang sedang kubicarakan ini? Sigh~'
Bima seraya berbalik, melihat satu hantu telah berada di depannya. Dia biarkan, bahkan berjalan dengan santai melewati sosok tersebut. Lanjut berjalan menuju satu rumah panggung kayu yang berada di bagian atas atau utara bumi perkemahan.
Dari yang Raya beritahukan, rumah kayu tersebut merupakan tempat pengelola perkemahan tersebut.
'Hmm, jadi, siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya jiwa Dion? Ugh, ini memusingkan...'
— 次の章はもうすぐ掲載する — レビューを書く