Hari berlalu dengan berat dirasakan oleh Bila dan Edwin.
Keesokan hari Bila bangun dengan malasnya setelah mandi dan berganti baju ia membantu ibunya yang sedang terlihat sibuk.
Zahrana sudah bersiap dengan seragam batik untuk ke sekolah, ini adalah hari Sabtu jadi Bila libur hari ini.
"Cie...yang mau ketemu calon suami" zahrana meledek kakaknya yang sedang sibuk.
"Diem kamu anak kecil" jawab Bila judes.
"Ya ya".
Setelah sarapan dan berpamitan Zahra segera berangkat ke sekolah.
Karena kesibukan yang membantu ibunya tanpa sadar hari sudah siang ketika Fani datang.
Ia masuk ke rumah Bila dengan sumringah membawa berbagai kelengkapan make up dan bungkusan lain.
Setelah berbasa basi dengan ibu, ia segera mengajak Bila mempersiapkan diri.
Mendengar ajakan Fani Bila masih dengan cueknya, bukannya mengikuti saran sahabatnya justru Bila menyibukan diri dengan cucian dapur yang menumpuk.
"Nduk sekarang mandi, terus siap-siap". perintah ibu.
"Tapi kerjaan ibu kan masih banyak to" balasnya enggan.
"Sudah ga papa, kamu dandan aja yang cantik sana".
Bila segera mematuhi ibunya untuk bersisp-siap menyambut calon suaminya.
Setengah jam kemudian Fani telah berhasil membujuk Bila untuk dipoles dengan riasan yang lain dari biasanya.
Sedangkan di rumah keluarga Edwin tampak kedua kakak iparnya sedang mengemasi beberapa oleh-oleh untuk keluarga Bila.
Pak Baroto keluar dari kamarnya dan segera bergabung bersama mereka.
Edwin sudah tampak gagah dengan celana formal dengan kemeja batik berwarna hitam, ia terlihat tampan walaupun mukanya ditekuk.
Kedua kakaknya menemaninya sambil mengeluarkan ledekan-ledekan agar Edwin sedikit terhibur.
"Waduh yang mau ketemu calon istri, wes ganteng" sapa pak Baroto.
"Jelas lah papa, hampir selesai masa jomblonya to" sahut Erwin.
"Aku ga pernah jomblo kali mas" jawab Edwin kesal.
"Ya sudah kamu kan mau ketemu calon istri, mbok ya senyum Win" sahut Miranti yang membawajan kopi untuk mertuanya.
"Mbak Miranti ga tahu sih, dia itu pura-pura sedih" Erwin kembali meledek.
"Nanti calon istrimu takut lho" timpal Miranti.
"Kalian semua ga ngerti sih perasaanku, jaman modern masih ada acara perjodohan" Edwin berkata dengan wajah gelapnya.
"Wes....sudah siap semua to, ayo sudah jam setengah dua kita beranhgkat sekarang" ajak pak Baroto.
Mereka segera mempersiapkan diri untuk sebuah perjalanan yang penuh akan kejutan, hari itu hanya pak Baroto, kedua putranya gang akan menani Edwin bertemu Bila.
Dikamar Bila Fani telah selesai mendandani csahabatnya dengan make up flawles Bila tampak begitu cantik.
Ia mengenakan baju kebaya modern berwarna merah muda, bawahan rok berbahan kain jarik, dipadu dengan hijab dengan model terkini.
"Bila kamu cantik banget, pasti calon suami kamu ga bedkedip deh pas ketemu kamu nanti" puji Fani.
"Berkedip lah, emang ikan ga berkedip" jawab Bila asal.
"Ish....Bila, senyum dong cantik-cantik cemberut, sepet nih mata lihatnya".
Bila hanya diam mendengarkan ledekan Fani, ia hanya berfikir bagaimana ia akan menghadapi orang yang kelak jadi suaminya padahal hatinya telah habis ia berikan pada Edwin.
Setelah ke tiga putranya masuk ke dalam mobil, pak Baroto tiba-tiba menghentikan sopirnya untuk merencanakan sesuatu.
"Darto, nanti kamu muter-muter ga jelas yo pas sampai di desa Nisa" pinta pak Baroto pada sopirnya.
"Memangnya kenapa pak?".
"Wes…..kerjakan saja hahahaha..." perintahnya tak bias lagi diganggu gugat.
Pak Darto merasa bingung dengan sikap majikannya, bukankah mereka sudah sangat hafal dengan rumah Bila, tapi mengapa pria baya itu menginginkannya untuk bertele-tele.
Mereka mulai perjalanan ke rumah Bila, menyusuri jalan kota hingga kea rah yang jelas Edwin sangat mengenalnya, terlebih masuk kea rah desa dimana Bila tinggal.
"Inikan jalan menuju rumah Bila, jangan-jangan gadis yang papa pilihkan berasal dari daerah yang dekat dengan Bila". Ucap Edwin dalam hati.
Perasaannya semakin tak menentu terlebih lagi ketika dengan pelan mobil itu masuk ke gerbang desa tempat tinggal Bila, keringat dingin seakan membasahi tubuhnya, membayangkan perasaan sakit yang akan Bila rasakan jika tahu semua kebenaran ini.
Yang sebenarnya adalah Edwin tidak bias melihat Bila menderita, karena baginya itu lebih menyakitkan.
Pak Darto mengendarai mobil itu seolah ia kebingungan mencari alamat seseorang, ia berjalan menuju gang dimana rumah wanita yang ia cintai, disaat perasaan yang sulit diungkapkan Edwin semakin menjadi-jadi, pak Darto memutarkan mobilnya.
Hampir seperempat jam mereka hanya berputar-putar didaerah tersebut, bahkan satu kali mereka melewati rumah keluarga Bila.
Pada saat mereka melewati rumah itupun pak darto seolah-olah akan menghentikan laju mobilnya, seketika itu Edwin merasa begitu antusias "apa jangan-jangan gadis itu Bila" ia menggumam dalam hati.
Akan tetapi ketika secerca rasa lega itu menyergap hatinya, pak Baroto memberi peringatan pada sopir itu untuk melajukan mobilnya kembali.
Bisa dibayangkan betapa hancurnya hati Edwin ketika mendengar hal tersebut.
"Pak Darto, kita mau kemana sih?" tanya Edwin kesal.
"Maaf mas, saya kok lupa jalannya ya".
"Sabar Win…..sebentar lagi juga sampai" jawab papa dengan tenang.
"Edwin sudah pengen lihat calon Bidadari surganya pa" ledek Edo.
"Edwin….senyum….., ntar calon istri kamu takut lagi lihat suaminya manyun terus" timpal Erwin.
Edwin hanya diam mendengar ledeka demi ledekan itu, jika bias ia akan memperingat mereka semua tentang perasaannya, ia merasa sedang dipermainkan oleh takdir.
Fani keluar dari kamar Bila untuk membantu ibu, ia melihat rumah keluarga Bila sudah rapi, makanan sudah tersaji, saat itu ibu hanya sedang menata kue dipiring.
" Bu Fani bantu ya" Fani menawarkan diri.
"Ya nak, terimakasih".
"Bu….ake kepo nih".
"Apa to?" tanya ibu heran.
"Bu….calon suami Bila siapa sih, orangnya gimana?' tanpa-basa-basi fani bertanya.
Ibu tersenyum mendengar pertanyaan Fani, setelah itu beliau menengok kanan-kiri memastikan keadaan aman terkendali.
"Sini tak kasih tahu" ibu mendekatkan bibirnya ke telinga Fani "tapi jangan bilang Bila lho ya" ibu memperingatkan.
Dengan patuh Fani mengangguk "Ya bu….pasti".
"Calon suami Bila itu ya nak Edwin".
"Apa…??????" Fani berteriak karena kaget.
"Sutttt...." Ibu memperingatkan fani dengan menutup mulutnya dengan jari.
"Kok bisa?" tanya Fani heran.
"Ini semua idenya pak Baroto , papanya Edwin".
"Ibu…papanya kak Edwin jahil amat ya, emang ga kasihan bu sama Bila".
"Ya kasihan to, tapi gimana lagi kata pak Baroto biar mereka nanti bisa menghargai satu sama lain, ketika mengingat semua ini".
"Ibu….ini mah so sweet banget"
Fani dan ibu Bila tersenyum bahagia setelah mereka yakin bahwa kebahagiaan yang begitu besar segera menghampiri Bila.
Sementara itu Edwin yang semakin kesal dengan takdir yang sedang ia jalani merasa sangat lelah, jika bisa ia akan pergi saja untuk menemui Bila dan mengajaknya pergi, daripada ia harus menghadapi kenytaan kalau dirinya akan menikah dengan seorang wanita yang berasal dari satu daerah yang sama dengan Bila.
Edwin menyandarkan tubuhnya yang terasa begitu lelah, bahkan hatinya juga begitu. Ia memejamkan matanya untuk menenangkan diri.
Sampai beberapa saat mobil itu berhenti.
"Win turun sudah sampai" pak Baroto mengingatkan Edwin.
Maaf baru Up, maaf juga kalau tulisannya agak kurang kurang gimana, kalau dah lama ga nulis biasanya agak blenk nih inspirasinya.
Mohon dimaklumi.
Nanti sore Up lagi deh, sekarang ini ya pembaca yg baik.
Tetap ditunggu bintang dan Votenya.
Happy reading and love you all ???