Siang itu Edwin bergegas menuju tempat kerja Bila, sampai di butik terlihat banyak pengunjung yang sedang berbeanja dan bila tampak sedang melayani salah satu diantaranya.
Edwin mendekati Bila untuk mengajaknya pergi.
"Maaf permisi bu" sapa Edwin pada seorang pengunjung yang sedang ditemani Bila.
"Oh ya mas, ada apa?" jawab ibu-ibu berjilbap itu.
"Maaf saya ada yang harus diobrolkan dengan mbak ini, saya mohon maaf pinjam mbaknya nanti biar pelayan yang lain yang melayani ibu" pinta Edwin dengan sopan.
"Oh....silahkan".
"Maaf bu bapak ini atasan saya" Bila menjelaskan pada pelanggannya "sebentar bu saya panggilkan karyawan lain dulu".
Ibu baik hati itu mengangguk sambil tersenyum.
Dengan cepat Bila mencari salah seorang karyawan dan segera mengantarnya pada ibu berjilbap tadi.
Setelah ibu itu ditemani karyawan lain Bila segera berpamitan.
Bila dan Edwin sudah berada di ruang kerja Bila, Edwin masih diam ia nampak tertekan.
"Ada apa kak?".
"Bil aku mau ngasih ini ke kamu" Edwin mengambil kotak dari saku celananya lalu menyerahkan pada Bila.
Bila mengambil kotak itu lalu membukanya, matanya berkaca-kaca tahu isi kotak itu adalah cincin.
"Ini maksutnya apa kak" Bila bertanya dengan nada suara yang bergetar.
"Sebenarnya aku mau minta kamu jadi calon istriku dengan cincin itu sebagai tanda pengikat buat kamu, tapi" Edwin diam seolah tak sanggup menyelesaikan ucapannya.
"Tapi....." Bila mulai meneteskan bulir bening dari mata indahnya antara bahagia dan kalut yang bercampur.
"Tapi papa berusaha menjodohkan aku" suara Edwin terdengar pelan.
Tanpa berkata Bila semakin deras mengalirkan air matanya, ia merasa sangat terluka, bahkan menatap Edwinpun kini ia tak berani.
"Kak mungkin kita memang ditakdirkan menikah dengan orang yang orang tua kita pilihkan" Bila berbicara sambil menggenggam kotak itu dengan erat.
"Maksut kamu?" Edwin merasa penasaran.
"Ayah juga menjodohkan aku kak" air mata Bila semakin deras mengalir.
"Apa?" Edwin tampak kaget dengan apa yang baru saja ia dengar.
Mereka kamudian saling menceritakan keputusan orang tua mereka, Edwin merasa sangat geram, mengapa ia tidak melamar Bila sebelum seseorang berniatemilikinya.
"Bila...apa kita kawin lari saja, aku ga mau kamu jadi milik orang lain, aku juga ga berminat dengan perjodohan ini" Edwin dengan tegas meminta Bila.
"Maaf kak, tapi itu tidak mungkin, aku sudah terlanjur menyetujuinya, aku juga tidak mau menyakiti orang tuaku dengan melakukan hal seperti itu".
"Tapi Bila".
"Kakak papa kak Edwin sudah memilih seorang gadis untuk kakak, itu artinya papanya kakak percaya bahwa gadis itu adalah gadis terbaik untuk kakak, sama aku juga berusaha berpikir seperti itu dengan keputusan ayah" Bila berusaha menjelaskan pada Edwin.
"Tapi Bil ga semudah itu".
"Memang ga mudah kak, tapi Allah pasti punya rencana yang lebih indah dibalik semua ini".
"Bila....apa kamu menyerah, apa kamu ga mau berjuang bersamaku mempertahankan cinta kita?"
"Maaf kak bukannnya aku tidak mau memperjuangkan kakak,tapi jika itu tentang orang tua kita aku tidak bisa berbuat apapun" Bila terisak karena ia harus mengatakan semua ini pada Edwin.
"Bila...apa harus sampai disini saja?".
"Maaf kak, mungkin ini yang terbaik untuk kita"
"Baik Bila kalau memang semua harus berahir disini aku terima, tapi aku minta kamu jangan menjauhiku, kita masih bisa bertemankan Bil?".
"Ya kak" Bila mengulurkan tangan hendak memberikan cincin yang ia pegang pada Edwin "ini kak".
"Tidak aku membelinya untuk kamu, kalau kamu tidak mau memakainya paling ga kamu bisa simpan sebagai kenang-kenangan" Edwin menyerah dengan keteguhan hati Bila.
Sepertinya apapun itu tak mampu mengubah keputusan gadis itu, jika hal tersebut berkaitan dengan orang tua.
Dengan lemah Edwin keluar dari ruangan Bila, sedangkan Bila hanya mampu menatap Edwin sambil menangis dan memegang Erat cincin pemberian Edwin.
Edwin kembali ke kantornya tanpa sepatah katapun ia segera masuk ke ruangannya bahkan sapaan bu Anispun tak ia hiraukan.
Bu Anis yang melihat keadaan Edwin memberanikan masuk untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Mas...ada apa?" bu Anis bertanya "ada masalah sama hubungan kamu dan Nisa?".
"Semua sudah berahir bu" Edwin merasa lemas, ia meraih tangan bu Anis yang sudah dianggapnya seperti mamanya kemudian menangis.
Bu Anis yang tahu permasalahan yang Edwin hadapi juga ikut meneteskan air mata, lebih-lebih setelah Edwin menceritakan semuanya ia semakin tak tega melihat Edwin.
"Sabar mas, Allah pasti punya rencana yang indah dibalik ujian kalian" bu Anis mencoba menghibur Edwin.
Setelah Edwin agak tengan bu Anis meninggalkannya sendiri.
Sampai di meja kerjanya ia mengambil ponsel untuk mengirim pesan pada Bila siapa tahu keputusannya akan berubah.
Tapi hal tersebut juga tidak mengubah tekat Bila, ia tetap pada penduriannya untuk menuruti orang tuanya dengan meninggalkan Edwin.
"Hanya pak Baroto yang bisa mengembalikan kebahagiaan mas Edwin, aku harus mengatakan semua ini pada pak Baroto".
Bu Anis pergi ke ruangan lain untuk menelfon papa Edwin, ia menceritakan semua yang terjadi pada Edwin.
Diluar dugaannya pak Baroto juga tetap pada pendiriannya untuk menjodohkan Edwin dengan gadis pilihannya.
Hanya saja ia menceritakan siapa gadis itu pada bu Anis.
"Bu...itu ga akan berlangsung lama, saya yakin setelah dia ketemu gadis pilihan saya bahkan duniapun tidak bisa menghalangi kebahagiaannya hahahah....." pak Baroto berkata dengan nada bahagia.
"Pak tapi bapak tidak tahu keadaan mas Edwin"
"Sudahlah bu, hibur saja dia" pak Baroto menghela nafas panjang "bu Anis ga pengen tahu siapa gadis itu".
"Memangnya siapa pak?".
"Gadis itu ya si Nisa"
"Maksutnya? Nisa pacar mas Edwin?" bu Anis terkejut setengah mati "kok bisa?".
Sabar ya readers ga lama lagi kok happynya tapi blm Eding sih.
dalam menulis cerita kadang ditengah konsep muncul ide baru jadi diselipin deh, al hasil babnya nambah.
Harap maklum autor masih dlm tahap belajar jadi belum konsisten alias masih labil
maaf ???
Happy reading and love you all ???