***
"Lupakan dan cari orang baru, atau temui dia yang masih kamu inginkan. Dua puluh lima tahun, Le, ingat! Ini Indonesia, bukan New York."
'Hah... lagi-lagi bahas ini. Gara-gara Joshua, sih! Mama jadi mengungkitnya lagi, kan....' batin Aletta yang jadi tak fokus menonton serial drama di televisi.
"Le, dengar Mama, kan?" tanya Stefani memegang bahu kanan putrinya yang terlihat tetap asik makan keripik kentang.
Aletta mengangguk singkat. "Jelas, Ma. Seperti yang aku bilang tadi. Kalau sudah ada, nanti kubawa dia untuk bertemu kalian. Itupun kalau dia serius. Ah, Mama... aku saja tidak tahu siapa 'dia' yang kita bicarakan? Sudahlah...."
Stefani hendak menanggapi lagi, tetapi dihentikan oleh Varrel yang mengibaskan tangan. Pria itu menyadari perubahan ekspresi Aletta yang jadi tidak baik.
"Sudah, Sayang, cukup." Dia menatap Aletta yang terdiam, seolah menunggu kelanjutan ucapan Varrel. "Papa yakin, Ale juga ingin merasa dicintai dan punya seseorang yang bisa dia andalkan, selain kita."
Aletta menggenggam erat ujung toples. Matanya berkaca-kaca hanya dengan mendengar ucapan sang papa.
"Tapi, Le... Mama juga benar. Lupakan atau cari yang baru, itu pilihan yang harus kamu buat. Katakan pada Papa kalau kamu sudah lelah mencari dan ingin dijodohkan saja. Papa punya banyak kenalan," ujar Varrel yang ditanggapi Stefani dengan senyum lebar.
"Papa...." Aletta langsung menoleh, menatap Varrel. "Padahal aku sudah terharu... uh, kalian jadi menyebalkan kalau sudah membahas ini," ujarnya seraya mengusap air mata yang tertahan.
Varrel tertawa kecil. Dia mengelus pelan rambut putrinya dan tersenyum bangga.
"Papa mendukung apapun keputusan kamu walaupun itu tidak sesuai dengan keinginan Papa. Jangan menangis, kamu kan gadis yang hebat!" ujar Varrel menghibur Aletta. Namun, bukannya tersenyum, gadis itu malah tak kuasa menahan tangis, lalu berdiri, duduk di samping Varrel dan memeluknya erat sambil merengek memanggilnya.
"Baru segini saja sudah menangis. Bagaimana nanti akhir bulan kamu bertemu dengan tante-tante dan om-om, Le? Ditanya mana pacar, kapan menikah, habis kamu.... Mama tidak akan bisa membantu karena Mama pasti kena juga," ujar Stefani sambil menutup toples keripik kentang yang ditinggalkan Aletta begitu saja.
"Biar saja." Aletta mendongak, menatap Varrel. "Kan ada Papa yang akan membantu Ale."
"Wah kalau itu... Papa sih tidak bisa bantu," ujar Varrel sambil tertawa senang. Membuat Stefani tersenyum dan Aletta yang kembali menekuk wajahnya.
***
Lantai tujuh belas, Kantor Wakil Direktur Wijaya Company.
Seorang pria yang menenteng jas berwarna abu-abu ke luar dari lift dengan senyum lebar yang mempesona. Tubuhnya yang tinggi dan seksi melangkah melewati petak-petak lantai dan kesunyian di lantai tujuh belas itu. Dirinya berhenti di depan meja sekretaris, di mana hanya tinggal satu orang yang ada di sana. Pria yang bisa disebut sebagai tangan kanan wakil direktur itu tengah memeriksa dan menyusun jadwal untuk atasannya untuk beberapa minggu yang akan datang.
"Ken," panggil pria yang baru saja sampai itu dengan suara beratnya. Membuat orang yang tengah fokus itu melonjak kaget.
"Astaga!" serunya sampai hampir terjatuh dari kursi kantor. Dia memegangi dadanya yang bergemuruh sambil menatap pria berkulit sawo matang di hadapannya. "Astaga, Sean... kenapa kau mengagetkanku?" protes Ken menatapnya bergetar.
Tawa Sean lepas melihat wajah sang sekretaris sekaligus orang kepercayaan sahabatnya itu. "Kau serius sekali sampai kaget begitu. Padahal aku hanya memanggil namamu saja."
"Justru karena kau hanya memanggil namaku saja, aku jadi kaget." Ken mengambil pulpennya yang terjatuh karena kaget tadi. "Mau bertemu dengan pak Nanggala?"
"Ya. Dia masih sibuk malam-malam begini?" tanya Sean sambil melihat jam tangannya. "Ini sudah lewat beberapa jam sejak jam pulang kantor."
"Kau seperti mengenalnya satu dua hari saja, Sean. Pak Nanggala selalu sibuk setiap hari, apalagi posisinya tengah dipromosikan. Beliau bekerja semakin gila setiap harinya, dan imbasnya adalah aku."
"Heh, kau ikut-ikutan gila?" tanya Sean dengan seringai tipis.
Ken mengangguk dan kembali menatap layar laptopnya. "Sayangnya begitu. Untung saja aku belum punya pacar."
"Dan kamu bangga, Ken? Sungguh?"
"Yah, tidak juga." Ken merotasikan mata. Dia menghela napas pelan. "Aku juga ingin punya pacar. Usiaku sudah dua puluh tujuh tahun. Ibuku terus bertanya kapan aku punya pacar?"
"Kemudian, berpacaran lah. Tidak usah frustrasi seperti itu," ujar Sean menepuk pundak Ken.
"Bicara memang mudah, Sean. Kalau aku punya pacar di kondisi sekarang, kami hanya akan berakhir sia-sia. Aku selalu di kantor dari jam delapan pagi sampai jam sembilan malam, kadang-kadang sampai jam sepuluh malam. Hari libur kugunakan untuk istirahat karena kelelahan. Bagaimana bisa aku berkencan dengan gadis-gadis di luar sana?" Ken memegang kepala. "Ah, hentikan pembicaraan ini. Semakin dipikirkan, semakin membuatku pusing. Kau ingin bertemu pak Nanggala, kan? Masuk saja. Kau hanya akan terkena omelan seperti biasa."
"Uh, bro... aku turut sedih dengan keluh kesah mu. Akan ku sampaikan nanti padanya."
"Tidak usah, terima kasih." Ken mengatupkan kedua tangannya sambil menunduk. "Aku hanya berkeluh kesah padamu. Sejujurnya, gaji yang diberikan pak Nanggala sangat besar, sebanding dengan pekerjaan yang kulakukan."
"Bro." Sean menatap pria yang hanya mencium bau kertas dan uang setiap harinya. "Untuk apa kau punya banyak uang, tapi tidak punya wanita yang memperhatikanmu?" sahutnya yang kemudian langsung masuk ke kantor wakil direktur tanpa mengetuknya.
"Sialan, Sean!"
Klek...
Pintu tertutup dengan rapat. Sean terkekeh saat memasuki ruangan tersebut. Disambut dengan pandangan tajam dari pria di ujung sana.
"Mau apa kau datang ke sini?"
"Heh." Sean menyeringai tipis, berjalan ke arah sofa empuk yang ada di sana. Dia melempar jasnya begitu saja dan membanting tubuhnya di atas sofa dengan nyaman. "Bagaimana kabarmu, bro?" tanya Sean menatap pria yang sedang work a holic itu.
"Baik-baik saja sampai kau datang," jawabnya ketus. "Pulanglah kalau hanya ingin menggangguku saja. Aku masih banyak kerjaan."
"Hei, jangan pikirkan dirimu saja, tapi pikirkan orang lain juga yang ikut lembur denganmu," ujar Sean membuka botol air mineral yang ada di meja, lalu meneguknya.
"Perusahaan menggaji sesuai dengan pekerjaannya."
"Dia jadi hanya punya kehidupan kantor, tapi pribadinya semrawut, bro."
"Ken yang mengatakannya padamu?"
"Tidak, aku hanya menebaknya saja." Sean mengedikkan bahu. Dia menatap pria yang memakai kemeja putih dengan kancing yang dibiarkan terbuka dua di bagian atas. "Melihat bosnya saja seperti itu, pasti anak buahnya juga."
"Nah, urusi saja hidupmu, Sean. Aku seperti ini juga karena sedang dipromosikan. Tak sudi kalau perusahaan ini dimenangkan oleh sepupuku," ujarnya dengan wajah sarkas.
"Santai sedikit, bro." Sean meletakkan botol air mineral yang isinya tinggal setengah itu di atas meja. "Aku membawa kabar baik untukmu."
"Apa?"
"Reuni SMA akan diadakan tiga angkatan akhir bulan ini."
"Ah," pria itu menjauh dari laptop dan menatap Sean, "akhir bulan ini aku sedang perjalanan dinas ke luar kota."
"Jadi, kau tidak akan datang?" tanya Sean sambil membuka ponsel. "Padahal aku yakin kau akan datang, apalagi kali ini Gea yang mengundang langsung."
"Gea?"
Sean mengangguk kecil. "Ya, kau masih ingat Gea?"
Pria itu mengetuk-ngetuk meja dengan pandangan lurus. Terbayang seorang gadis berambut pendek yang agak tomboi dan seseorang di sebelahnya yang berambut panjang, agak pendiam dan sarkas, serta menawan. "Tentu saja aku ingat."
"Jadi, kau tidak akan datang? Kukira kau akan mencari Aletta juga pada reuni kali ini. Apa akhirnya kau menyerah?"
Pria itu menggeleng. "Perjalanan dinasnya bisa dipercepat. Tanggal berapa reuni itu?"
"30 Mei. Kau akan datang?"
"Ya, aku akan datang. Tidak ada kata menyerah untuk mencari kabar dan keberadaan Ale."
Sean menatapnya cukup lama. Memperhatikan tekad bulat pria yang telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun itu.
"Arkhano, kau...."
Arkhano, pria berusia dua puluh tujuh tahun itu menanggapinya dengan senyum yang sendu dan penuh penyesalan. Dan Sean memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut ketika melihat ekspresinya yang seperti itu.
***
Gea: Ale, kamu sudah pulang?
Gea: Aku mau ke rumahmu sekarang.
Aletta: Ya, datang saja. Aku juga baru sampai di rumah.
Gea: Oke, tunggu aku.
Aletta: Aku mandi dulu.
Aletta yang benar-benar baru sampai di depan rumah pun berjalan melewati halaman, kemudian membuka pintu yang memang tidak dikunci oleh Varrel semenjak dia pulang.
"Ale pulang, Pa, Ma!" serunya saat masuk. Dia meletakkan sepatunya di rak penyimpanan sepatu, kemudian melangkah masuk melewati lantai yang dingin karena suhu ruangan yang rendah.
"Mau kopi, Le?" tanya Varrel yang baru saja menyeruput kopi sambil menonton pertandingan bulu tangkis di televisi.
Aletta menggeleng. "Tidak, Pa. Tadi pagi sudah."
"Sudah pulang, Le? Cepat sekali... masakan Mama belum matang semua," ujar Stefani yang muncul dari arah dapur, lengkap dengan apron sambil membawa spatula.
"Mau ku bantu, Ma?" tanya Aletta meletakkan tas kerjanya di sofa, kemudian mengikat rambutnya ke atas.
"Tidak, tidak. Kamu pasti lelah habis bekerja."
"Tidak lelah kok. Biar Ale bantu, ya?" Dia memang bertanya, tetapi sudah meluncur terlebih dahulu ke dapur.
"Aletta Coline!" seru Stefani mengejar langkahnya yang lebar. "Istirahat saja! Sebentar lagi Mama selesai!"
Begitu sampai di dapur, Aletta berhenti dan menatap meja makan yang telah penuh dengan makanan. Hanya kompor yang masih menyala dan tengah menggoreng daging asap.
"Loh, iya...." Aletta menoleh pada Stefani dan tersenyum lebar.
"Kan sudah Mama bilang...." Stefani mengibaskan spatula. "Sudah, mandi dulu sana! Nanti turun lagi. Katamu, malam ini Gea akan datang, kan?"
Aletta mengangguk. "Baiklah, aku mandi dulu. Gea sudah menuju ke sini, Ma."
"Oh, sudah? Baguslah, makanannya jadi tidak terlalu dingin," ujar Stefani yang berjalan ke arah kompor dan membalik daging asapnya. Dia menoleh dan masih mendapati Aletta yang berdiri di pintu masuk dapur. "Nah, kamu sedang menunggu apa?"
"Oh iya!" Aletta pun terkekeh kecil, lalu berbalik menuju ruang tamu untuk mengambil tas kerjanya, kemudian naik ke lantai atas untuk menuju kamarnya dan mandi.
***
15 menit kemudian.
Aletta menuruni anak tangga dengan cepat. Dari arah dapur, dia sudah mendengar suara Gea yang bertukar canda dengan Stefani. Sementara Varrel masih asik di ruang keluarga sembari menonton pertandingan bulu tangkis, sesekali keluar umpatan karena tim yang didukungnya gagal mencetak poin.
"Papa, ayo makan!" ajak Aletta menunggu di ujung tangga.
Varrel sempat menengok, tetapi kembali menonton televisi dengan alis mengerut. "Sebentar, Le, lima menit lagi. Aduh...!"
"Tinggal Papa, ya," ujarnya dengan nada meledek sembari berjalan pelan ke arah dapur yang terhubung langsung dengan ruang makan.
"Le, tunggu Papa!" serunya yang langsung mematikan televisi, tetapi membawa ponselnya untuk memantau skor lewat berita terbaru.
Aletta semakin memperlambat langkah, kemudian melangkah bersama Varrel menuju ruang makan.
"Ale, Papa... lihat deh Gea bawa apa," ujar Stefani memamerkan parsel berisi seperangkat alat makan yang terbuat dari keramik dengan aksen yang sederhana dan tetap terlihat elegan, meskipun harganya tidak sesederhana itu.
"Wah, kamu pandai menyenangkan hatinya," kata Varrel pada Gea yang telah duduk di kursi ruang makan dan menanggapinya dengan senyuman.
"Hadiah rumah baru, Om."
"Om kira kamu mau memberi rumah baru sebagai hadiah rumah baru," balas Varrel yang ditanggapi dengan tawa dari Gea, Stefani, dan Aletta. "Kalau kamu memberikan rumah baru, Om langsung memasukkan namamu ke kartu keluarga," tambahnya lagi.
"Sungguhan, Om?" tanggap Gea sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Tidak." Varrel menggeleng. "Om hanya bercanda," sambungnya sambil berjalan ke kursi yang berada di ujung. Begitu juga Aletta yang duduk di depan Gea karena sahabatnya itu telah duduk di samping Stefani.
"Yah, padahal kalau diangkat jadi anak, Gea mau kok," ujar Gea tersenyum riang.
Varrel geleng-geleng kepala sembari menyerahkan piring kosongnya pada Stefani untuk diambilkan makanan.
"Dompet Om yang tidak kuat untuk memenuhi ongkos yang biasa kamu dapatkan dari papamu," celetuknya.
"Yah, tidak jadi deh. Ferrari kesayangan Gea butuh perawatan," ujarnya sambil terkekeh masam, membuat seisi ruang makan itu dipenuhi gelak tawa yang mencairkan suasana.
***
Selepas makan malam, Aletta menyuruh Stefani, Varrel, dan Gea untuk menikmati waktu mereka di ruang keluarga, sementara dia mencuci piring dan gelas kotor yang dipakai tadi. Awalnya Stefani menolak, tetapi akhirnya mengalah juga karena Aletta yang terus mendesaknya dengan kepala batu. Ditambah lagi Gea yang 'katanya' ingin membantu Aletta juga.
Nyatanya, gadis konglomerat itu sudah menarik kursi dan duduk tak jauh dari wastafel dengan kaki yang terus bergoyang.
"Kenapa sih, Ge?" tanya Aletta yang jengah juga melihat sahabatnya yang gugup itu.
"Gawat, Le, gawat!" serunya yang kini menggigit kuku-kuku jarinya.
"Heh, apanya yang gawat?!" bentak Aletta mematikan keran air dan menghadap ke Gea, memberikan atensi padanya.
Gea mendongak, menatap lurus sahabat yang telah menemaninya tumbuh bersama.
"Joan bilang...."
"Joan bilang apa?" tanya Aletta menelisik.
"Joan... Joan bilang padaku kalau dia melihat kamu di daerah Senayan...!"
———