Di saat Tami dan Nadia mulai bergerak, Ditya justru menghampiri Rian.
"Kak, boleh saya ambil lagi botolnya?" tanya Ditya.
"Boleh. Ini . . ." Rian menyodorkan botol yang dimaksud Ditya.
"Terimakasih, Kak." Ditya langsung berbalik meninggalkan Rian.
Pertama-tama Ditya mengisi botol tersebut dengan pasir secukupnya. Dia akan menggunakan botol ini sebagai alat musiknya. Setelah itu dia mencari kerumunan orang-orang di sekitarnya. Setelah berkeliling akhirnya dia dapat menemukan kerumunan orang yang cukup ramai.
"Permisi, Kak. Mohon maaf, boleh saya minta waktunya sebentar?" tanya Ditya ragu. Sebenarnya dia sangat malu sekali berbicara dihadapan orang banyak. Apalagi untuk bernyanyi. Tapi kali ini mau tidak mau dia harus melakukannya.
"Ada apa ya, teh?" tanya salah satu dari mereka.
"Hari ini saya dapat tugas dari senior saya untuk ngamen. Jadi saya mohon kesediaan kakak-kakak yang ada disini untuk mendengarkan saya bernyanyi dan menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk saya. Insya Allah hasilnya pun akan disedekahkan lagi untuk yang membutuhkan."
"Wah, boleh tuh, teh." kata temannya yang lain.
"Teh, boleh request lagu nggak?" tanyanya.
"Boleh. Mau lagu apa, Kak?" tanya Ditya.
"Surat Cinta untuk Starla." jawab perempuan itu.
"Sip . . ." Ditya setuju. Kebetulan Ditya juga sangat menyukai lagu yang dipopulerkan oleh Virgoun ini. Ditya mulai memainkan intro musiknya dengan menggunakan botol pasir itu dan mulai bernyanyi.
"Kutuliskan kenangan tentang caraku menemukan dirimu
Tentang apa yang membuatku mudah berikan hatiku padamu
Takkan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantikmu
'Kan teramat panjang puisi 'tuk menyuratkan cinta ini . . .
Telah habis sudah cinta ini tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu . . ."
Semua orang mulai bernyanyi bersama Ditya. Kelihatannya mereka sangat menikmati penampilan Ditya. Walaupun hanya bermodalkan sebuah botol pasir tapi Ditya mampu membuat mereka hanyut dalam lagu tersebut. Bahkan satu per satu orang yang ada di sekitar mereka mulai menghampiri kerumunan itu untuk melihat Ditya bernyanyi.
Sementara itu, Rian baru saja mengecek Nadia yang sedang mengamen. Dan kini tinggal Ditya yang belum dia temukan. Ketika dia sedang berjalan, dia berpapasan dengan Putra.
"Kak Rian, mau kemana?" tanya Putra.
"Aku lagi nyari salah satu junior kita, tadi aku nyuruh mereka ngamen. Aku udah cek 2 orang, tinggal 1 lagi. Dari tadi nggak ketemu."
Lalu tiba-tiba ada dua orang yang lewat di dekat mereka sambil setengah berlari.
"Hei, maaf ada apa ya? Kok kayanya buru-buru banget?" tanya Putra penasaran.
"Kita mau ke arah sana. Katanya ada anak musik yang lagi ngamen dan suaranya bagus."
"Anak musik? Jangan-jangan dia lagi." bisik Rian, "Dimana dia?"
"Di sana!" jawabnya sambil menunjuk ke arah kerumunan itu.
Sementara itu, Ditya masih menyanyikan lagu itu dengan penuh ketulusan dan rasa bahagia. Dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan respon yang seperti ini dari orang-orang di sekitarnya.
"Aku pernah berpikir tentang hidupku tanpa ada dirimu . . .
Dapatkah lebih indah dari yang kujalani sampai kini?
Aku selalu bermimpi tentang indah hari tua bersamamu . . .
Tetap cantik rambut panjangmu meskipun nanti tak hitam lagi . . .
Bila habis sudah waktu ini tak lagi berpijak pada dunia
Telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu
Dan telah habis sudah cinta ini tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu
Untukmu hidup dan matiku . . ."
Akhirnya Putra dan Rian pergi menuju kerumunan itu. Dan benar saja, kerumunan itu sudah bertambah banyak dan mereka melihat Ditya di tengah-tengah kerumunan. Disana juga ada seseorang yang membantu Ditya mengumpulkan uang dari orang-orang yang menonton.
Rian berdecak kagum melihat kemampuan Ditya. Putra pun semakin mengagumi sosok Ditya. Walaupun Ditya sangat menyebalkan baginya, namun dia juga selalu memberikan kejutan-kejutan yang tak terduga.
"Biasanya dia bersikap seperti bom waktu tapi kali ini dia seperti magnet yang mampu menarik orang-orang yang ada di sekelilingnya." Putra berbicara pada dirinya sendiri.
"Ditya itu memang perempuan yang unik, ya." kata Rian.
Baik Putra maupun Rian seolah-olah berbicara pada diri mereka sendiri. Mereka sangat menikmati penampilan Ditya hingga akhir.
"Bila musim berganti sampai waktu terhenti
Walau dunia membenci 'ku 'kan tetap di sini
Bila habis sudah waktu ini tak lagi berpijak pada dunia
Telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu
Dan telah habis sudah cinta ini tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu . . ."
Semua orang bertepuk tangan dengan sangat meriah. Bahkan ada beberapa diantara mereka yang bersorak girang dan bersiul. Sementara itu, Putra mengajak Rian untuk kembali ke tempat mereka.
"Terimakasih semuanya." Ditya membungkuk memberikan penghormatan kepada mereka yang sudah mendengarkannya menyanyi.
"Teh, ini hasil ngamen teteh hari ini." Salah satu mahasiswi yang tadi ada di kerumunan itu menyerahkan satu kantong keresek berisi uang.
"Ya ampun terimakasih banyak ya, Kak. Maaf sudah merepotkan. Terimakasih semuanya, semoga uang ini bisa bermanfaat bagi orang banyak. Aamiin. Kalau begitu saya pamit dulu. Sekali lagi terimakasih."
Ditya pamit meninggalkan mereka dan kembali ke Rian. Tami dan Nadia rupanya sudah berkumpul disana.
"Kamu lama banget sih, Dit." keluh Tami.
"Maaf ya, kalian jadi menunggu lama." Ditya meminta maaf pada mereka.
"Mana hasil ngamen kamu?" tanya Rian.
"Ini kak." Ditya menyerahkan kantong kresek yang berisi uang.
Rian menghitung jumlah uang yang didapatkan oleh Ditya. Mata Tami dan Nadia membelalak melihat uang yang dikeluarkan oleh Rian dari dalam kantong. Diluar perkiraan mereka, dia mendapatkan uang yang cukup banyak.
"Ditya dapat berapa, kak?" tanya Nadia penasaran.
"Dia dapat 102.500." Rian tersenyum. "Kerja bagus Dit. Nama kamu Ditya kan?"
"Iya, Kak. Terimakasih."
"Dit, kamu keliling kemana aja sampai dapat uang sebanyak itu. Kamu sengaja ya, berlama-lama biar dapat uang banyak?" tanya Tami dengan sinis.
"Ditya nggak keliling. Perlu kalian tau, tadi Ditya hanya bernyanyi di satu tempat. Tapi dia berhasil menarik banyak orang untuk melihatnya, sehingga yang tadinya hanya beberapa orang yang menonton, jumlahnya makin bertambah banyak." jelas Rian.
"Oh ya? Wah kamu benar-benar hebat ya, Dit. Suara kamu memang bagus sih, wajar kalau banyak yang menonton kamu menyanyi. Pertunjukkan kamu sama Kak Putra saat acara api unggun aja bagus banget." puji Nadia.
Tami terlihat tidak senang karena kali ini dia merasa kalau Rian mungkin berpikir dia iri pada Ditya.
"Jadi kamu pernah tampil juga di acara api unggun?" tanya Rian.
Ditya mengangguk.
"Baiklah. Kerja bagus untuk kalian semua. Saya benar-benar bangga mempunyai junior seperti kalian." puji Rian.
Tami, Nadia dan Ditya tersenyum senang.
"Jadi kita bisa lanjut ke tantangan terakhir, Kak?" tanya Tami.
"Wah, kalian udah nggak sabar ya?" Semuanya mengangguk.
"Iya kak, cepet kasih tau dong, tantangan berikutnya." Tami merengek seperti anak kecil.
Rian tertawa dengan lembut melihat rasa penasaran mereka bertiga. "Ok, kita akan mulai tantangan berikutnya. Tugas kalian adalah mendapatkan tanda tangan dari pengurus utama ekskul Musik." kata Rian, "Bobotnya ditentukan berdasarkan perolehan ngamen tadi. Kita mulai dari hasil yang paling rendah, yaitu Tami. Kamu harus mendapatkan tanda tangan dari Bendahara Musik. Lalu urutan kedua adalah Nadia. Kamu harus mendapatkan tanda tangan dari Wakil Ketua. Dan kamu, Ditya . . ."
Untuk yang kesekian kali dia tersenyum pada Ditya.
"Jangan bilang aku kebagian tanda tangan ketua?" kata Ditya curiga.
"Bingo!"
Ditya terlihat kecewa. 'Tau begini tadi aku umpetin dulu sebagian hasil ngamen tadi 🤦" batinnya.
"Tapi kak, kami kan nggak tau siapa aja yang memegang jabatan itu." keluh Tami.
"Justru disitu tantangannya. Kalau saya kasih tau, nilai tantangannya akan berkurang. Jadi kalian harus cari tau sendiri. Oh ya, kalau kalian sudah menyelesaikan tugasnya, pin ini akan saya kasih langsung ke kalian dan kalian boleh beristirahat. Get it?" tanya Rian.
"Yaahh . . ." keluh mereka semua. Mereka kemudian berbalik dan pergin meninggalkan Rian.
"Dit, kamu tau siapa pengurus ekskul kita?" tanya Nadia.
"Nggak."
"Masa sih, bukannya kamu Deket sama Kak Desta ya. Pasti dia pernah cerita kan?" Tami tidak mempercayai Ditya.
"Terserah kalian mau percaya atau nggak." Ditya tersenyum pada mereka dan berlalu meninggalkan mereka.
Ditya berpikir keras siapa ketua ekskul musik tahun ini. Dia yakin, orang itu pastilah yang sering mengikuti kumpulan. Lalu tiba-tiba muncul lah sebuah wajah dalam bayangannya. "Nggak mungkin dia, kan?" Ditya bertanya pada dirinya sendiri sambil menggelengkan kepalanya.
Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya pada Desta. Ditya menghampiri Desta yang sedang berdiri di bawah pohon bersama dengan Putra. Ditya mengeluh dalam hati, 'Kenapa harus ada dia juga sih disitu? Mereka udah kaya permen karet lengket terus.'
Begitu melihat Ditya, Desta langsung menyapanya. "Hai, Dit."
Ditya tersenyum pada Desta, "Permisi, Kak. Boleh nanya nggak?"
"Nggak boleh." jawab Putra bagaikan petir di siang bolong.
"Maaf ya, Kak Putra, tapi aku nanya ke kak Desta bukan kakak." Ditya berusaha tersenyum walaupun dalam hati dia mengutuk Putra.
Desta tertawa melihat kelakuan mereka berdua, lalu dia menjawab, "Nanya apa, Dit?"
"Ketua ekskul kita siapa sih, Kak?" kata Ditya berbisik. Walaupun demikian, Putra tetap bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Ditya.
"Hahahaha . . . Masa kamu nggak tau sih, siapa ketuanya?" tanya Putra dengan nada sombong.
"Nggak."
"Payah." kata Putra acuh.
Desta menahan tawa seolah ingin mengisyaratkan sesuatu pada Ditya. Ditya mencoba mengartikan gelagat mereka berdua dan menyadari bahwa apa yang dia takutkan ternyata menjadi kenyataan.
"Jangan bilang kalau ketuanya Kak Putra?" kata Ditya.
"Apakah itu artinya kamu beranggapan bahwa aku layak menjadi seorang ketua?" tanya Putra dengan nada angkuh.
"Diluar layak atau tidaknya, yang penting aku ingin tau siapa ketuanya." Ditya menjawab dengan waspada.
"Memangnya kamu dikasih tugas apa sama kak Rian?" tanya Desta.
"Minta tanda tangan ketua." jawab Ditya.
Putra tertawa terbahak-bahak. Lalu memandang ke arah Ditya. "Kalau begitu kamu akan kesulitan mendapatkan tanda tangannya. Mengingat seberapa kasarnya perlakuan kamu terhadap ketua ekskul."
"Jadi benar kan, ketuanya itu kakak?" tanya Ditya.
"Apakah itu bisa aku anggap sebagai sebuah pengakuan?" tanya Putra.
"Pengakuan apa?" tanya Ditya bingung.
"Pengakuan bahwa kamu memang memperlakukan aku dengan kasar." kata Putra, Dan buruk." tambahnya lagi. .
"Baiklah aku minta maaf kalau kakak merasa tersinggung dengan sikap atau perkataan aku. Tapi seekor semut bahkan tidak akan menggigit kalau nggak diusik." Ditya memberikan sebuah pembelaan untuk dirinya sendiri.
"Kamu menganalogikan diri kamu sebagai semut? Dengan badan kamu yang tinggi-besar seperti ini?" ledek Putra.
"Kak, ayolah. Ini udah siang. Jadi kakak mau ngasih tanda tangan atau nggak?" tanya Ditya kesal.
"Kalau aku nggak mau bagaimana?"
"Maka aku akan kembali ke Kak Rian dan bilang sama dia betapa kekanak-kanakannya ketua kami yang sekarang." jawab Ditya dengan nada mengejek.
"Kamu, tuh, ya. Kenapa sih, kamu selalu bersikap menyebalkan dihadapan aku?" tanya Putra.
"Jadi bagaimana? Mau tanda tangan nggak?"
"Oke, aku akan memberikan tanda tangan aku. Tapi kamu harus menjawab pertanyaan aku dulu."
"Deal." jawab Ditya.
"Ada berapa jumlah daun yang ada di pohon ini?" tanya Putra sambil menunjuk pohon yang ada diatasnya.
"Are you kidding me?" tanya Ditya tidak percaya. Putra hanya menggelengkan kepalanya.
"Pertanyaan macam apa ini?" keluh Ditya. Dia menghela nafas dengan berat sambil memandangi pohon yang ada dihadapannya. Selang beberapa detik, dia menjawab "18.691"
"Salah." kata Putra enteng.
Ditya tertawa. "Darimana kakak tau jawaban aku salah? Coba kakak hitung daunnya satu per satu."
"Kenapa jadi harus aku yang menghitung?" tanya Putra.
"Karena dalam kasus ini, kakak lah yang mengatakan jawaban aku salah. Jadi kakak harus membuktikan ke aku bahwa jawaban aku memang salah dengan menghitung jumlah daun itu." jawab Ditya. "Dan menghitungnya harus satu per satu." Ditya menambahkan penekanan pada kalimat terakhirnya.
"Kamu mau ngerjain aku ya?" tanya Putra kesal.
"Aku nggak ngerjain kakak kok. Kakak pernah melihat sebuah persidangan? Ketika seorang pengacara menyatakan bahwa seorang terdakwa salah, maka pengacara itu akan mendukung pernyataannya dengan bukti-bukti yang konkret. Tapi, kalau pengacara itu tidak dapat memberikan bukti konkret maka tuduhannya cacat di mata hukum." jelas Ditya dengan santai.
Putra terperangah dengan perkataan Ditya. Dia hanya tidak menyangka keisengannya akan dibalas seperti ini oleh Ditya. "Kamu ini sebenarnya anak sastra atau anak hukum, sih?" Putra menggerutu.
"Anak ibu-bapak ku, lah."
"Ada apa nih? Kayanya seru banget." tanya Rian. Baik Desta, Putra maupun Ditya tidak ada yang menyadari sejak kapan Rian ada disana.
"Biasa kak, Tom sama Jerry lagi berantem." kata Desta.
"Kamu masih belum dapat tanda tangan pak ketua?" tanya Rian.
"Belum, Kak." kata Ditya.
"Luar biasa kak Rian. Anak buahnya nggak datang-datang sampai disusulin." puji Desta.
"Aku cuma takut terjadi sesuatu sama dia. Soalnya dua temannya yang lain udah balik dari tadi." kata Rian.
"Maaf ya, Kak." kata Ditya. Lalu dia menoleh lagi pada Putra, "Jadi bagaimana, Kak? Urusan kita belum selesai ini. Kalau kakak bisa membuktikan jawaban aku salah, maka aku akan melakukan apapun untuk dapetin tanda tangan kakak."
Putra terdiam sejenak. Sebenarnya dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengerjai Ditya. Tapi lagi-lagi justru dia yang dikerjai Ditya. Dia tidak ingin memberikan tanda tangannya dengan cuma-cuma pada Ditya. Kalau Putra menghitung daun itu satu per satu maka dia akan terlihat bodoh di depan semua orang. Dia benar-benar kehabisan akal kali ini.
"Kak??" Ditya menjentikkan jarinya di depan wajah Putra.
"Apa?" tanya Putra ketus.
"Jadi bagaimana? Kak Rian nunggu, loh." tanya Ditya.
あなたも好きかも