"Leandra? Apa yang kau lakukan? Aku memintamu pulang" Ia menatapku kesal, alisnya bertaut erat. Sudah kuduga. Ia paling tidak suka bila diganggu ketika ia sedang marah, maksudku ketika berkutat dengan minuman beralkoholnya. Ia tak ingin seseorang mengganggu apa yang ia lakukan sekarang : melarikan diri dari semua masalah yang ia milikki.
Aku masih diam memandangnya yang kembali menuang air sialan itu kedalam gelasnya, meraihnya lalu menenggak minuman itu sampai kandas. Sebenarnya apa yang ia fikirkan? Apa ia merasa lebih baik setelah mabuk mabukan nanti? Apa Mr. Adalson benar-benar berpikir bahwa setelah mabuk semua akan menjadi lebih baik? ia hanya mencari pelarian, mungkin ia merasa terlepas untuk beberapa saat, tetapi ketika semua berakhir, ia masih berada di tempat yang sama, dalam permasalahan yang sama. Mabuk seperti ini tidak akan membantu apapun.
"Leandra ... " ia meraih dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar dolar dari saku celananya lalu melemparnya diatas meja. Aku masih terdiam tak bergeming, berdiri di tempatku drngan menatap apa yang ia lakukan tanpa dapat kumengerti. "Ambilah, pesan taxi dan pulang ke rumah sekarang"
Aku menatap lembaran dollar yang ia berikan di atas meja, kemudian kembali menatap Mr. Adalson.
"Tidak tuan, kau harus pulang, kau tid-"
"Kau fikir siapa dirimu dapat mengaturku seperti ini?" Ia bangkit dari kursi yang ia tempati, memandang diriku dengan pandangan penuh penilaian. Nada suaranya dingin, dan penuh keintimidasian. Aku tak bermaksud mengaturnya, aku hanya tak ingin ia pulang dalam keadaan kacau nanti.
Aku diam tak bergeming dengan sedikit menundukan pandanganku. Mr. Adalson kembali menghisap cerutunya, menghembuskan asap itu tepat di hadapan wajahku dengan acuh. Menyebalkan. Aku hampir terbatuk karena asap dari cerutunya.
Dan aku tahu pandangan beberapa orang terjatuh kepada kami. Lebih tepatnya lirikkan yang dipusatkan pada Mr. Adalson. ia lelaki tampan dengan uang yang dapat ia raih seperti daun. Lebih dari itu ia karismatik. Ia memiliki paras yang menawan dan karir yang mapan. Bagaimana mungkin wanita di sini tak menatap liar padanya?
Bahkan aku rela menjadi seorang babysitter untuk mendapatkan gaji yang lebih besar dari pekerjaan sebelumnya.
"Apa, apa yang kau lakukan tak menyelesaikan masalah tuan, semua tak akan selesai bila—"
"Tapi dapat melupakan masalahku beberapa saat Leandra" Ia memotong perkataanku sebelum aku dapat menyelesaikan ucapanku. Netra hazlenya melirik tajam ke sisi sekeliling kami, menyadari pandangan beberapa orang yang terjatuh pada kami sekarang. Mungkin ia tak suka. Itu terlihat dengan jelas.
"Aku tak peduli nasihatmu Leandra, aku tak pernah membiarkan seorang pekerja bertindak selancang ini padaku," ia kembali menyesap cerutunya. Badass tetapi kharismatik di saat yang bersamaan. "Pulang sekarang. Atau kau kehilangan pekerjaanmu." Desisnya sekali lagi dengan menatapku tajam.
Aku meneguk salivaku. Memberanikan diriku atas perkataan yang ia ucapkan.
"Tidak. Sebelum kau juga pulang," jawabku bersikeras dengan terdiam di tempatku berdiri saat ini. Entah keberanian apa yang merasuki diriku. Aku jelas tak mau kehilangan pekerjaanku. Demi tuhan, uang kuliahku kelak berasal dari pekerjaan ini. Aku hanya tak sampai hati meninggalkan Mr.Adalson di tempat ini dalam keadaan kacau. Dan aku berharap bahwa perkataannya hanya gurauan, semoga ia tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang ia katakan.
"Kau? Mengapa kau sangat keras kepala?" Ia memajukan tubuhnya medekat padaku. Meregup bahuku agar aku menatap matanya. Aku terdiam menatapnya. Memandang netra indahnya yang memabukkan, namun terlihat tajam disaat yang bersamaan. Hembusan nafasnya tercium dari tempatku sekarang. "Mengaturku dengan berharap aku akan menuruti perkataanmu? Itu tak berhasil Leandra. Tak ada yang bisa memberitahuku apa yang harus kulakukan. Terserahmu. Aku tak peduli. Aku akan tetap berada di sini"
Mr.Adalson berbalik dan melangkah duduk di atas sofa. Menaikkan kakinya ke atas meja dengan salah satu kaki yang menopang kaki yang lainnya. Tangannya terbuka lebar di sisi atas sandaran sofa, menunjukkan sisi kekuasaan yang tersirat dari sikap yang ia tampilkan.
Ia menatapku yang masih berdiam berdiri di hadapannya. Aku juga bingung apa yang harus kulakukan, aku tak mungkin menarik narik tangan lelaki itu agar lekas mengikutiku. Tenagaku tak cukup. Tetapi aku juga sudah berkeras hati dengan mengatakan aku akan menunggunya dan tak akan pulang.
Mr. Adalson menuang minuman itu ke dalam gelasnya, Kepalanya memiring seakan menelaah diriku. Ia menatapku—dari atas hingga bawah. "Jadi ... " ucapnya membuka pembicaraan, ia menjilat bagian bawah bibirya. "Kau akan duduk bersamaku, atau berdiri di sana seperti wanita malam yang sedang mencari pelanggan?"
Aku mengernyit kesal mendengar perkataan kasar yang ia lontarkan. Aku berjalan mendekat padanya, duduk disisi sofa dengan jarak beberapa centi dengannya. Aku tak mau bila aku dikira jalang, apalagi sampai ada lelaki yang menggodaku. Tidak. Aku tak suka itu.
"Kau memilih untuk tinggal, nikmati keputusan yang kau buat sekarang," ujarnya picik dengan menarik sudut bibirnya membentuk seringai menyebalkan.
Aku menghembuskan nafas kesal dengan memandang orang orang liar yang berada disekitar sini. Tak ada yang menarik yang dapat kulihat. Percumbuan, para pemabuk, wanita jalang .... cih. Apa enaknya berada di tempat seperti ini?
Aku melirik Mr. Adalson yang terfokus pada seorang penari telanjang yang tengah meliukkan badannya di tiang besi di atas meja. Tidak. wanita itu tak sepenuhnya telanjang. Ia masih mengenakan bikini namun sangat sexy. Hampir 75% bagian tubuhnya tersingkap. Apalagi dengan ukuran branya yang kurasa kekecilan.
Mata Mr. Adalson tampak menatap lekat. Aku yakin ia akan terbakar gairah sebentar lagi.
"Lihat gadis itu Leandra ... " Aku menatap Mr. Adalson yang melirikku melalui sudut matanya. setelah sekian lama diam, akhirnya ia berucap juga. "Perhatikan, bokongnya bagus sepertimu. mungkin milikmu lebih padat. Namun sayangnya kau tak pernah menari seperti itu untukku"
Aku mendelik menatapnya lalu mengalihkan pandanganku secepat mungkin dari Mr. Adalson. Lelaki ini menyebalkan. Pipiku terasa panas karena memerah mendengar kata-katanya yang terlampau vulgar. Aku menari seperti itu? Tak akan pernah.
"Aku akan ke kamar kecil sebentar Tuan," ucapku meninggalkan Mr. Adalson untuk pergi ke toilet. Sejujurnya aku takut menjadi pelampiasan lelaki itu saat bergairah. Walau kami pernah berhubungan badan sebelumnya. Namun, kurasa ia hanya membutuhkan tubuhku, benar tidak?
Maksudku, aku tak mau bila hanya menjadi pemuas nafsunya tanpa terikat sebuah ikatan. Hah? Apa aku mengharapkan hubungan? Entahlah, ini menjadi sangat rumit.Tetapi kurasa ini wajar. Tak ada satupun wanita yang ingin dijadikan pelampiasan. Sekalipun aku mengerti apa yang kulakukan dengannya kemarin adalah hal yang salah.
Kakiku melangkah memasuki kamar mandi wanita dalam club ini. Aku memandang diriku di pantulan kaca westafle. Aku masih terlihat sangat baik sekarang. Make upku masih terlihat pas, tentunya dengan dukungan gaun mahal yang kukenakan kali ini. Aku pikir kami akan berakhir dalam acara pesta tadi, tetapi ternyata justru di sini.
Aku bingung, mengapa aku terjebak di tempat seperti ini? Harusnya aku pergi dari tadi. Pfft, aku bisa saja kembali dan meninggalkan lelaki itu seorang diri, namun di sisi lain aku tak sampai hati meninggalkan Mr. Adalson di tempat seperti ini. Ia pasti akan kembali dengan keadaan kacau—seperti yang biasa kulihat dalam pemberitaan di media masa.
Aku melirik pintu kamar mandi yang terbuka dengan pelan, memandang seorang lelaki berambut coklat yang melangkah masuk dengan gerak-gerik yang tenang. Mr. Adalson, hei? Apa yang ia lakukan di sini? Apa ia lupa ini kamar mandi wanita?
"Tuan, ini kamar mandi wanita!" desisku kesal dengan berbalik menatapnya lekat, ia mendesak tubuhku ke dinding kamar mandi. Aku meneguk salivaku melihat apa yang ia lakukan sekarang. Oh Tuhan. Bagaimana bila ada seseorang yang masuk dan melihat kami?
"Ssst ... " bisiknya pelan dengan hembusan alkohol yang tercium di hidungku. Ia tak mabuk, ia masih dapat berjalan dengan normal, ia masih dapat mengendalikan dirinya, namun aroma alcohol tetap dapat kurasakan.
"Mmh ... " bibirku terbungkam saat sesuatu yang lembut menahan perkataanku yang keluar. "Tuan hentikan, seseorang bisa masuk!" tambahku di sela-sela cumbuan yang ia berikan. Mr. Adalson tak menjawab, aku justru dapat merasakan ia tersenyum. Terlihat menikmati apa yang ia lakukan sekarang.
Apa ia sudah gila?
Ia mendesak tubuhku ke dinding di belakangku, kakiku melingkar di pinggangnya. Dan aku dapat merasakan. Tonjolan keras dari balik celana hitam yang ia kenakan. Bergesekan dengan intiku di bawah sana.
Sial. Sial. Sial. Hal ini membuat lututku lemas.
"Tu—tuan !"
Ia menggesekkan intiku dengan kemaluannya yang keras, bibirnya turun mengecupi daun telingaku, lalu menjalar menuju leherku. Aku menahan desahanku mati matian. Tuhan ini benar benar nikmat! Dan kami melupakan fakta dimana kami melakukan ini sekarang. Aku mulai tak bisa berpikir dengan jernih.
Brak!
Kami menjauhkan pagutan kami saat pintu terbuka dengan kasar. Aku menundukan wajahku malu di balik lengan Mr. Adalson, menyembunyikan agar raut wajahku tak terlihat oleh siapapun. Ini sangat memalukan, jantungku masih berdegup kencang sekarang.
"Hei! Kalian bisa melakukan itu di—oh my good Justin Adalson !"
Wanita itu menjerit antusias. Wajahnya sumringah saat menatap Mr. Adalson yang masih berdiri di sampingku. Sorot matanya yang sebelumnya menunjukkan ekspresi terkejut kini berubah, terlihat antusias ketika ia memandang Mr. Adalson.
Bersambung ....
— 次の章はもうすぐ掲載する — レビューを書く