"Em, kakak, apa kakak baik-baik saja?" tatap Uminoke juga ikut bingung melihat kakaknya yang terdiam masih memandangi wajah Line yang dari tadi bingung.
"Kakak....?" Uminoke memegang bahunya membuat Kachi tersadar.
"Ah, maaf.... Maksudku, sama-sama, aku juga harus berterima kasih padamu karena kamu telah menyelamatkan dan melindungi adikku, terima kasih banyak... Jika tidak ada kamu, Uminoke pasti sudah kenapa-napa," kata Kachi dengan senang dan berterima kasih pada Line yang mengangguk.
"Ah, kalian bisa langsung mandi di kamar mandi manapun. Berkeliling saja di sekitar gedung sini, jika bertemu orang, kalian tinggal katakan bahwa kalian sudah mendapat izin dariku, Kachi... Karena hanya ada aku dan rekanku saja yang sedang mengantar seseorang juga tadi," kata Kachi.
"Oh, kebetulan sekali, tubuh kami sudah pliket... Ayo, Line," ajak Roland.
Lalu Line membelai kepala Uminoke yang berwajah merah dan itu dilihat Kachi yang terkejut dalam hatinya.
"Aku pergi dulu, jangan kemana-mana terlalu jauh," kata Line, ia lalu berjalan pergi.
Uminoke masih berwajah merah dengan memegang kepalanya.
Setelah kedua lelaki tadi pergi, Kachi langsung memegang kedua bahu adiknya membuat adiknya itu terkejut bingung.
"Uminoke, katakan padaku, sejak kapan kamu bisa menggoda lelaki setampan itu?" tatap kakaknya.
"Hah, apa yang kakak maksud, aku tidak menggoda mereka!! Jagalah kata-kata kakak."
"Tapi... Tapi.. Mereka berdua benar-benar sangat ganteng sekali, aku iri adikku bisa mendapat lelaki yang ganteng deh, aku aja belum punya pacar, masa kamu ingin duluan punya pacar?"
"Hahaha, kakak bisa saja, sebenarnya aku menunggu kakak punya pacar, aku masih belum menyatakan suka ku pada Line, aku masih menyimpan rasa ku meskipun dia terus menunjukkan rasa sukanya padaku."
"Aww adikku, apa kau benar-benar serius bilang begitu? Jadi kamu menungguku mendapatkan pacar begitu?" tatap Kachi.
"Ya, aku akan menunggu kakak, karena kakak harus duluan dari aku untuk segalanya," kata Uminoke lalu Kachi tersenyum haru dan memeluk adiknya.
Sementara itu, rupanya Line bersandar di dekat dinding di belakang dinding tempat Kachi dan Uminoke bicara tadi.
Ia bersandar dengan menutupi wajahnya dengan topinya lalu mengangkat wajahnya memperlihatkan bahwa dia memasang wajah serius. Rupanya ia mendengar semua perkataan mereka berdua dan ia menjadi tahu kenapa Uminoke selama ini seperti menghindari dirinya.
Lalu Roland berjalan mendekat. "Aku tak menemukan mayat apapun. Mereka pasti telah membunuhnya," kata Roland. Lalu Line mengangguk dan mereka berjalan pergi dari sana ke kamar mandi. Mereka masuk ke kamar mandi lelaki dan kebetulan, rupanya Suga ada di sana.
Ia keluar dari salah satu toilet itu menatap mereka berdua.
Suga menatap. "Halo... Apa kalian baru?" tanyanya.
"Ya, kami baru dan diizinkan masuk," balas Roland.
"Oh, aku mengerti, baiklah, apa kalian ingin mandi?" tanya Suga.
"Ya, kami ingin mandi, apa ada kamar mandi untuk mandi?" tatap Roland.
"Ada, tapi hanya satu, di pojokan sana. Di sana sudah lengkap ada sabun dan handuk, untuk pakaian, apa aku bisa mengambilkan pakaian untuk kalian?"
"Tidak perlu, kami akan berganti saat keluar nanti," balas Roland.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu."
"Tunggu, apakah ada dua orang wanita yang bernama Nikol dan Barbara di sini?" tatap Line menghentikan jalan Suga.
"Ya, mereka ada di ruang istirahat karyawan, kalian bisa ke sana nanti," kata Suga, ia lalu berjalan pergi.
"Benar-benar pria yang baik, apakah kau bisa mencontohnya... Mas Line.." tatap Roland dengan nada bercandanya membuat Line melirik kesal.
Ia berjalan ke depan kaca wastafel mencuci tangan dan melihat dirinya di kaca. Melihat wajahnya dan kepalanya yang tertutup topi. Ia memegang topinya dan melepasnya.
Seketika rambutnya panjang hingga sampai lehernya dan warna dari rambutnya adalah perak muncul ketika topi itu dibuka. Yang warna biru tua itu seperti sudah tergantikan akar rambut yang berwarna perak itu.
Roland yang melihat itu benar-benar terkejut. "Kenapa pertumbuhannya cepat sekali... Jadi ini yang membuatmu memakai topi terus? Warna rambut biru tua yang kau cat sendiri itu telah berubah dan akar yang tumbuh menjadi perak karena itu adalah warna asli rambutmu," tatapnya dengan tak percaya.
Line menghela napas panjang dan mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah gunting.
"Hei, apa yang akan kamu lakukan dengan gunting itu, kau tidak berencana memotong rambut biru tua itu kan, akar perakmu itu belum bisa memberikan kepanjangan sempurna, jika kau memotongnya, kau terlihat akan gundul nantinya," tatap Roland.
"Haiz, jangan banyak bicara, cepatlah mandi dan biarkan aku memotong ini," Line melirik dengan kesal.
"Baiklah, baiklah, aku akan mandi duluan," kata Roland lalu ia melepas baju atasnya dan meletakkannya di tempat gantung bajunya, kini sekarang ia telanjang dada. Tapi ada yang aneh, dia sama sekali tak punya tato apapun, tak ada bekas luka sama sekali di tubuhnya, meskipun ada beberapa luka tembak di sana.
Line menatap punggung Roland saat berjalan membelakanginya.
Line terdiam sambil menggeleng kepala. Ia lalu menatap rambutnya di kaca depan dan mulai memotong.
Tampak banyak potongan rambut berwarna helaian biru tua jatuh di sana dan kini Line mengatur sendiri rambutnya.
Tak beberapa lama kemudian. Roland keluar menatap, ia terkejut melihat Line.
"Li... Line!!"
Lalu Line menoleh. Tampak rambut Line dengan gaya barunya. Ia lebih tampan dengan rambut barunya dan gaya barunya itu.
"Ini.... Sialan, kau bahkan lebih ganteng daripada aku, sialan," Roland menjadi kesal iri.
"Itu karena dari dulu aku memang lebih ganteng daripada kau," tambah Line dengan percaya diri, ia lalu melepas bajunya dan di saat itu juga. Roland tambah terkejut ketika melihat di bagian dada kiri Line, ada perban melingkari tubuhnya.
"Hei, kapan kau terluka?" tatapnya dengan tatapan mata besar tak percaya.
"Oh, aku tak tahu luka ini berapa lama lagi bertahan. Tapi aku yakin lukanya sudah menutup selama 10 hari terakhir," Line memberikan gunting pada Roland. "Tolong aku melepasnya."
Lalu Roland menerima gunting itu dan Line membelakangi.
Roland menggunting perban yang melingkar itu hingga jatuh ke bawah semua.
Roland terdiam, luka itu menjadi luka tusukan sangat dalam dan darah masih basah ada di sana.
"Line, kenapa kau tidak bilang ini padaku, aku bisa menjahitnya untukmu, apa ini begitu sulit bicara pada rekanmu sendiri, kau terluka begini apakah kau lebih memilih hanya terdiam, jika aku menjahitnya, ini bisa ada 6 jahitan, belum lagi yang depan... Biarkan aku menjahitnya," tatap Roland dengan serius.
Line hanya pasrah dengan apa yang terjadi padanya.
Tak lama kemudian, mereka masih berdiri di dalam kamar mandi itu. Roland membelakangi Line dengan terus menjahit luka Line. Line bahkan tak memasang ekspresi apapun meskipun ia harus biasa menahan rasa sakit tanpa bius itu.
"Ini sudah selesai," Roland menutup luka Line dengan perban lengket sehingga hanya menutupi lukanya saja.
Banyak darah di tangan Roland, ia lalu mencuci tangannya dan melihat punggung Line. Tato tribal itu masih di sana, bentuk tato tribal Line kini terlihat jelas bentuknya. Bentuknya lebih menggambarkan sebuah tanda seperti bentuk yang tidak bisa dijelaskan karena filosofi dari tato tribal tak melambangkan apapun sama sekali.
Roland terdiam dan menghela napas panjang.
"(Aku tidak berpikir soal hal itu, aku benar-benar kecewa dia melakukan hal itu.. Arti dari tato itu adalah sebuah pengecapan,)" pikir Roland. Ia lalu mengangkat tangannya dan memegang punggung Line membuat Line terkejut dan menoleh padanya.
"Hei, kau kerasukan apa?" Line menatap.
"Line..." Roland memanggil pelan membuat Line terdiam menatapnya.
"Hm? Ada apa? Jangan buat suasana nya buruk!" Line bahkan mendorong kepalanya membuat Roland tersadar.
Lalu Roland menghela napas panjang dan mengatakan sesuatu.
"Aku sudah bilang padamu, untuk melepaskan tanda ini, kau sudah berjanji tak akan bergabung dalam hal itu lagi pada kita... Pikirkanlah semua orang terdekatmu," kata Roland dengan ekspresi wajah yang agak sedih.
Line juga begitu, ia menurunkan matanya menjadi sayu. "Aku tahu itu, tapi itu sulit dihilangkan," balas Line.
"Kau tidak perlu beralasan, hanya karena tato ini terhubung oleh kucingmu, apa kau perlu melakukannya agar kucingmu patuh padamu, aku tahu, tato ini adalah sihir kutukan dari julukanmu, raja buas, tapi. Semenjak kau mendapatkan hal itu, kau meninggalkan tempat kita, tempat yang kita tepati bersama, sekarang kita bertemu dalam keadaan yang tidak meyakinkan, aku belum tahu semuanya soalmu, kau sudah tahu semuanya soalku, kenapa kau membuat ini begitu tidak adil," Roland menatap tak terima.
"Awal dari itu semua bukan kemauan ku, kau hanya perlu menyalahkan Kone, kucingku sendiri... Dia yang membawaku ke dalam masalah ketidakadilan ini, dan juga... Ini semua bukan kemauan ku menjadi yang terdepan."
"Lalu kemauan siapa, aku tahu kau ingin menjadi yang terdepan tapi sayangnya, mereka menilai bahwa kau tidak terdepan, tapi yang terkejam," kata Roland.
"... Kau tidak perlu membahas ini," balas Line dengan singkat dan cuek.
"Ck," Roland menjadi kesal dan langsung menekan berat luka Line membuat Line terkejut. "Akhhh... Sialan!!" teriakannya bahkan terdengar oleh Suga yang akan datang ke kamar mandi.
Ia terkejut mendengar teriakan itu dan langsung berjalan ke sana, ia membuka pintu. "Ada apa?!" tatapnya dengan panik. Tapi siapa sangka, ia melihat mereka berdua dengan posisi tidak wajar. Line yang membelakangi Roland memegang gagang kran dengan rasa sakit sementara Roland dekat di punggungnya memegang kedua bahunya. Mereka sama-sama menoleh dan melihat wajah Suga yang terdiam kaku.
"He... Hei, kau salah paham!" tatap Line.
"Ah, maaf, aku mengganggu," Suga langsung menutup pintu membuat mereka berdua terdiam pucat.
"Kau sialan!! Lihat apa yang kau lakukan!?" Line menatap kesal. Ia mendorong dada Roland untuk menjauh dan mengambil handuk dari bahu Roland dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi.
Sementara Roland terdiam menatap telapak tangannya. "(Sialan.... Aku seperti bajingan,)" pikirnya.