Jeni membungkam. Ia tak mampu menatap sorot mata Bu Karin yang terlihat tajam. Memikirkan jawaban apa yang harus ia lontarkan.
"Kenapa kamu hanya diam! Bicara sama Mamah, Jen!" bentak Bu Karin. Emosinya semakin meluap. Rahangnya sedikit mengeras. Amarahnya seakan memenuhi ubun-ubun wanita paruh baya itu.
Sejatinya, memang tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya gagal. Namun, hanya keikhlasan yang bisa menenangkan hati dalam menerima kenyataan.
Bulir kristal bening terlihat semakin membanjiri pipi Bu Karin. Ia tak bisa menerima kenyataan. Hanya bisa menangis dan meratapi nasib. Jeni adalah harapan satu-satunya dalam kehidupan Bu Karin setelah kegagalan dalam rumah tangganya. Tapi ketika sebuah obat penunda kehamilan berada di dalam genggamannya, harapannua sealan musnah. Hidupnya semakin terasa suram tak berarah.
Jeni mengikat rambut lurusnya yang terlihat berantakan. Meraih tubuh Bu Karin yang luruh di atas lantai. Suara tangisan terseguk-seguk keluar dari rongga leheng mamahnya.
"Maafkan aku, Mah" ucap Jeni lirih. Bulir bening terlihat membanjiri wajah cantiknya.
"Mamah tidak butuh maaf dari kamu, Jen!" Bu Karin kembali membentak. "23 tahun Mamah membesarkanmu bukan untuk menjadi wanita murahan!" Nada bicara Bu Karin semakin naik 2 oktav.
Jeni memeluk tubuh Bu Karin. "Tidak, Mah! Tidak seperti itu. Aku mohon percaya sama aku, Mah!" jawabnya lirih.
Bu Karin menghempaskan Jeni dari pelukannya. Seketika tubuh Jeni ikut luruh di atas lantai. Isak tangis Jeni tak mampu meluluhkan amarah Bu Karin yang kian meluap.
Wanita paruh baya itu beranjak dari lantai, meninggalkan Jeni di kamarnya. Melangkahkan kaki dengan sejuta luka di hatinya. Luka tak berdarah, nyatanya lebih menyayat hati dan tak akan sembuh dengan hanya di tetesi obat merah. Kecewa adalah rasa yang tengah Bu Karin rasakan.
"Maafkan aku, Mah!" teriak Jeni seraya menghentakkan tangannya di atas lantai. Menyesali perbuatan bodohnya. Apalah daya jika kisah hitamnya yang telah ia kubur dalam-dalam nyatanya digali kembali oleh kenyataan.
Keharmonisan sosok Ibu dan Anak itu kini tak lagi nampak. Hari-hari mereka dilewati dengan saling diam tak bertegur sapa. Sekali pun Jeni menyapa, tak pernah di jawab oleh Bu Karin.
Kekecewaan Bu Karin yang teramat dalam, tak bisa sembuh dalam waktu singkat. Ia bahkan tak sudi lagi mempertanyakan siapa lelaki biadab yang telah menjerumuskan anaknya ke dalam lembah hitam. Hanya Wili tersangka satu-satunya yang ia tuduh.
Sudah 3 hari ini Wili pun tak menampakkan batang hidungnya di rumah Jeni. Itu semua karena permintaan Jeni yang tak mau jika Wili yang tak berdosa harus jadi sasaran ibunya.
Selama 3 hari itu pula Jeni tak berselera makan, kepalanya yang terasa semakin berat dan pusing menghadapi kenyataan. Asam lambungnya pula ikut naik. Bulak-balik ke kamar mandi hanya sekedar menuntaskan rasa mualnya, akan tetapi tak ada apapun yang keluar dari mulutnya.
Melihat anaknya semakin kesakitan, Bu Karin terenyuh dan menghampiri Jeni yang terlihat lemas di kursi dapur.
"Kenapa, Kamu?" tanyanya ketus.
Tak ada jawabn satu kata pun dari Jeni. Ia hanya terlihat lemas, mata dan bibirnya terlihat pucat. Seketika tubuh lemahnya luruh di atas lantai, tak sadarkan diri.
Bu Karin terperanjat, ia berlari menghampiri Jeni yang terlihat tak berdaya.
"Jen! Bangun, Nak. Kamu kenapa?" Bu Karin mengangkat tubuh Jeni dan menepuk pelan pipinya. Memegang pelipisnya yang terasa dingin. Apa yang telah terjadi pada anaknya itu. Perasaan khawatir semakin berkecamuk dalam pikirannya. Gegas ia mengumpulkan tenaga, memindahkan tubuh Jeni yang masih tak sadarakan diri ke atas sofa ruang tengah yang hanya beberapa langkah dari ruang dapurnya.
"Jen! Bangun, Jen. Ya Tuhan, apa yang terjadi sama kamu, Jen!"
Bu Karin terus mencoba membangunkan Jeni mesli hasilnya nihil. Tubuh Jeni terlihat lemas, bisa jadi karena 3 hari ini ia tak mau makan.
Bu Karin hanya mengingat satu nama dalam pikirannya. Gegas ia mengambil posel Jeni yang berada di atas nakas lalu menghubungi kontak yang bertuliskan nama MY BOY di layar ponsel itu.
"Hallo!"
Terdengar suara bariton yang menjawab telpon Bu Karin. Gegas ia menjawabnya.
"Wil! Tolong ke rumah sekarang, Jeni pingsan. Sampai sekarang masih tak sadarkan diri," ucap Bu Karin dengan nafas agar tergesa-gesa.
"Jeni? Jeni siapa? Oh sorry, Wili sedang ke toilet. Nanti saya sampaikan ya," jawab seseorang di nomor ponsel wili.
"Oh iya terima kasih, Pak," ucap Bu Karin karena suara dari telpon itu terdengar suara laki-laki dewasa.
Dengan perasaan resah Bu Karin menunggu kedatangan Wili. 20 menit berlalu Wili tak juga menampakkan batang hidungnya. Bu Karin semakin kesal di buatnya. Padahal ia pikir kehancuran ini adalah perbuatan Wili.
30 menit kemudian terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah Bu Karin. Wanita yang semakin terlihat khawatir itu bergegas menuju teras rumah memastikan jika Wili sudah tiba. Tapi, ia sedikit aneh. Karena kendaraan roda empat yang berhenti di depan rumahnya bukanlah mobil yang biasa Wili bawa. Ia mengedarkan tatapan penuh selidik.
Tak lama keluarlah sesosok lelaki dengan tubuh tinggi atletis dan raut wajah tampan tak jauh berbeda dengan Wili. Pakaiannya yang sangat rapih dengan balutan jas dan dasi yang mengikat lehernya. Terlihat jelas jika lelaki itu seorang pengusaha.
"Siang, Bu! Apa benar ini rumah yang bernama Jeni?" ucapnya memastikan pada Bu Karin.
Bu Karin yang sedari tadi tercengang menganggukan kepala. "Iya benar, Bapak siapa?"
"Mohon maaf, Bu. Wili tadi sedang sibuk. Jadi saya yang menggantikkan tugasnya," jawab lelaki itu penuh kesopanan.
"Oh begitu. Itu anak saya pingsan."
Bu karin membawa lelaki itu ke dalam rumah guna melihat anaknya yang masih tak berdaya.
Lelaki tadi terlihat terkejut saat melihat Jeni yang tak sadarkan diri. Dugaannya ternyata benar. Tidak rugi jika hari ini ia membuang waktu demi menyelidiki dan mencari keberadaan nomor ponsel yang tadi menelpon Wili. Tidak sulit bagi penguasa seperti dia melacak keberadaan nomor ponsel yang sudah berada dalam genggaman. Kecurigaannya benar. Jika Wili mencintai wanita yang sama-sama ia cintai.
"Mari, Bu. Kita bawa Jeni ke dokter," ucapnya terlihat khawatir.
"Iya, Pak. Terima kasih ya."
Lelaki tadi meraih tubuh Jeni dan membawanya ke dalam mobil. 'Setelah hampir 2 bulan tidak bertemu, kenapa tiba-tiba aku menemukanmu dalam keadaan seperti ini, Jen. Apa yang sudah terjadi padamu!' Ia bergumam dalam hatinya. Terlihat betul jika ia memiliki rasa khawatir terhadap Jeni.
"Oh iya, nama Bapak siapa?" tanya Bu Karin setelah mereka bertiga berada di dalam mobil mewah milik lelaki tadi.
Lelaki itu tersenyum tipis. "Jefri Azhari," jawabnya seraya memasang safety belt.