Namun, Jeni tak memberi tanggapannya lagi. Ia hanya diam dengan wajah ketus dan bola mata tampak berkaca-kaca.
Wili kemudian memilih keluar dari kamar Jeni. Bukan tak perduli dengan istrinya. Ia hanya tak mau membuat Jeni terus marah-marah. Ia tak mau membuat Jeni terus tersulut emosi.
"Aku keluar ya. Panggil aku kalau ada apa-apa." Wili menawarkan diri lagi.
Namun lagi-lagi Jeni hanya diam dengan ketus. Ia tak mau menjawab suaminya. Ia masih saja terpaku dalam keterkejutannya. Ada rasa tak percaya, getaran di dalam dadanya begitu kencang.
"Apa iya aku hamil?" Jeni masih bertanya-tanya sendirian. Kesedihannya terasa berkurang. Namun ia bingung harus sedih atau pun bahagia.
Jeni kemudian mengusap perutnya. Wajahnya masih kaku. Ia segera mengusap air mata yang sempat luruh di pipi.
Jeni kemudian menatap perut yang tengah ia usap lembut.
Dadanya semakin gemetar hebat. Rasa yang berkecamuk. Kebahagiaan di tengah-tengah masalah dan kesedihannya.