アプリをダウンロード
8% Jerat Pernikahan Kontrak / Chapter 33: 33 Pupus

章 33: 33 Pupus

Wili tampak menahan langkah Jeni yang berniat segera pergi dari tempat duduknya. Sebalah tangannya tampak memegang sikut Jeni guna menahannya.

Namun, Jeni menghempaskan pegangan Wili. Ia memandang Wili dengan sinis, berharap lelaki yang berada di dekatnya itu tak menyukai sikapnya.

"Jen! Apa maksud kamu?" Wili kembali bertanya. Ia berharap apa yang dia dengar barusan itu adalah salah.

Mereka kini berdiri dan saling berhadapan. Menatap dengan penuh kesedihan. Namun, Jeni berusaha menghempaskan genggamannya.

"Apa aku harus mengulanginya lagi?" ketus Jeni tanpa sedikit pun terukir senyuman di bibirnya. Ia berusaha terus saja menahan kesedihannya.

"Jen kamu sedang ada masalah apa? Aku akan membantu kamu. Jangan ngawur seperti ini, Jen. Aku mohon ceritakan apa yang membuatmu berbicara aneh seperti ini? Kamu lelah?" Wili tampak tak percaya dengan ucapan Jeni. Ia masih merasa yakin kalau wanita yang masih ia anggap kekasihnya itu sedang dalam kelelahan.

"Aku mohon, Wil. Aku mohon pengertian kamu. Hubungan kita nyatanya harus berakhir sampai di sini saja. Aku sudah mendapatkan lelaki yang lebih baik lagi, yang bisa membantuku dengan cepat. Tidak seperti kamu, Wil. Kamu tidak sungguh-sungguh mencintaiku." Jeni berbicara dengan serius. Ia menatap Wili dengan sinis dan merendahkannya. Jeni berharap kalau cibirannya akan membuat Wili membencinya.

"Aku sangat mencintaimu dan kamu tahu itu. Mengapa kamu harus segampang itu, Jen! Kamu lebih memilih lelaki lain dari pada aku? Kamu bisa-bisanya berbicara seperti itu dengan mudahnya!" Wili mulai tersulut emosi. Gemuruh dadanya tiba-tiba mengencang. Ia tidak menyangka kalau Jeni dengan lantangnya berbicara seperti itu.

"Nyatanya lelaki lain lebih mudah berkorban padaku dibanding kamu, Wil! Sudahlah, Wil. Lupakan semua kisah kita. Anggap saja cerita ini hanya angin lalu dan kita tidak usah mengingat-ingatnya lagi," ujar Jeni dengan tegasnya. Ia kemudian pergi begitu saja meninggalkan Wili, terlihat tanpa penyesalan. padahal hatinya cukup terluka.

Berkali-berkali Wili memanggilnya agar Jeni menghentikan langkah, namun Wanita yang hari ini telah menggores luka di hatinya tampak tidak perduli lagi dengan teriakan Wili.

Wili pun akhirnya kembali duduk di kursi besi yang sama. Lututnya terasa bergetar lemas dan tak mampu lagi menopang tubuhnya. Sesekali ia melirik tas yang masih tergeletak di sampingnya. Tas yang berisi uang kertas senilai lima ratus juta itu kini sudah tiasa berarti lagi.

"Tega sekali kamu, Jen. Mengapa kamu berubah secepat ini!" geram Wili. Ia terlihat mengepalkan kedua tangannya, tampak marah bercampur sedih.

Bertahun-tahun Wili menunggu Jeni dalam mendapatkan cintanya, namun begitu pahit yang ia rasakan saat ini. Andai tidak malu, mungkin saja Wili sudah meneteskan air matanya. Namun, berkali-kali ia berusaha menelan rasa sakit di dalam dadanya. Ia tidak akan pernah membiarkan air matanya jatuh begitu saja walau pun luka di dalam hatinya terlalu sakit untuk di telan.

Setelah beberapa menit memaku dalam kepiluan. Wili beranjak dari tempat duduknya, membawa tas hitam dengan uang yang tak berguna itu. Ia berjalan dengan raut wajah campur aduk antara murka dan sedih. Membuka pintu mobilnya dengan emosi dan masuk serta duduk di dalamnya.

Dengan nafas yang terdengar keras, Wili menghentak-hentakan kedua tangannya di atas setir mobil sambil berteriak.

"Jeni!" teriak Wili begitu keras memanggil nama wanita yang saat ini telah menjadi mantan kekasihnya. Dalam sepersekian detik saja, Jeni bukan lagi siapa-siapa baginya dan impiannya berakhir di tengah jalan.

Padahal, saat ini Jeni masih berada di taman itu. Ia berdiri tak jauh dari mobil Wili. Memastikan Wili pergi terlebih dahulu sampai mobil itu melaju jauh dan tak terlihat lagi.

Sepasang manik yang sedari tadi basah, akhirnya menjatuhnya bulir beningnya. Jeni tak bisa lagi membendung air matanya setelah Wili pergi dari sisinya.

Berat rasanya untuk menerima keadaan ini. Ia tampak duduk di trotoar jalan dengan kedua kaki ditekuknya. Jeni menangis sambil memeluk lututnya. Ia tak bisa lagi menahan rasa sakitnya, rasa sakit kehilangan Wili.

Ini bukan mimpi dan ini adalah kenyataan yang sangat pahit. Impiannya selama ini pupuslah sudah. Rencananya menikah dengan Wili, lenyaplah sudah. Itu semua hanya tinggal kenangan yang sulit untuk dilupakan.

'Maafkan aku, Wil. Aku juga tidak ingin semua ini terjadi. Satu-satunya lelaki yang aku cintai hanyalah kamu, tak ada yang lain. Semoga kamu membenci aku dengan ucapan tadi. Maafkan aku telah melukai perasanmu, setidaknya kamu anggap saja aku wanita jalang agar sakit itu tidak membekas dalam dadamu,' batin Jeni dengan kepiluannya. Ia masih saja duduk di tempat yang sama dengan air mata yang terus saja mengalir deras di pipinya. Ia bahkan tidak perduli saat orang-orang yang lewat melirik aneh kearahnya.

Lututnya begitu terasa lemas, Jeni merasa kalau ia tak kuat untuk berdiri apalagi berjalan jauh. Ia memilih duduk saja di tempat yang sama sampai akhirnya memiliki kekuatan untuk pulang.

"Kita pulang, Jen!"

Suara bariton terdengar lantang dari samping, mengajaknya untuk pulang. Jeni yang tengah menundukan wajahnya segera memastikan lalu ia melirik ke arah samping. Sepatu pantofel berwarna hitam dan mengkilat terlihat di samping tempat ia duduk. Jeni pun mengedarkan pandangannya dari sepatu yang dikenakan sampai ke atas dan memastikan pemilik suara yang tak asing lagi dalam pendengarannya.

Setelah Jeni melihat pemilik suara itu, ia pun segera menurunkan kembali wajahnya dan mengusap kasar pipinya yang basah oleh air mata.

Jeni tidak habis pikir, Jefri selalu tahu saja keberadaannya. Padahal ia tak mengatakan sebelumnya pada Jefri mengenai pertemuan dengan Wili di taman kota sore ini. Namun, selalu saja lelaki angkuh itu tahu akan keberadaannya dan itu membuat Jeni semakin muak karena merasa diawasi.

Rupanya, Jefri memang sengaja membuntuti Wili dari kantor sampai ke taman dan bisa memastikan dengan jelas kalau hubungan antara Wili dan Jeni telah berakhir sudah. Tentu saja keadaan itu membuat Jefri merasa senang karena sekali lagi ia selalu saja menang.

"Dari mana kamu tahu kalau aku ada di sini, Mas?" tanya Jeni ketus tanpa sedikit pun membalas tatapan Jefri yang sedari tadi hanya fokus ke arahnya.

"Aku selalu tahu dimana pun kamu berada, karena kamu adalah belahan jiwaku," jawab Jefri menggoda Jeni.

Namun, bukannya senang Jeni malah merasa muak mendengar ucapan itu dari Jefri.

"Aku akan pulang sendiri saja," tolak Jeni masih dengan suara ketusnya. Tak ada senyuman dari bibirnya dan itu membuat Jefri malah semakin gemas melihatnya.

"Pulang denganku karena kamu adalah istriku dan tanggung jawabku," tegas Jefri. Ia tidak suka dengan penolakan dari siapa pun termasuk Jeni.

'Sialan! Kenapa sih aku harus bertemu dengan lelaki macam Jefri ini! Angkuh dan suka memaksa. Sikapnya sangat berbeda jauh sekali dengan Wili yang selalu lembut dan sopan,' gerutu Jeni dalam hatinya.


next chapter
Load failed, please RETRY

ギフト

ギフト -- 贈り物 が届きました

    週次パワーステータス

    Rank -- 推薦 ランキング
    Stone -- 推薦 チケット

    バッチアンロック

    目次

    表示オプション

    バックグラウンド

    フォント

    大きさ

    章のコメント

    レビューを書く 読み取りステータス: C33
    投稿に失敗します。もう一度やり直してください
    • テキストの品質
    • アップデートの安定性
    • ストーリー展開
    • キャラクターデザイン
    • 世界の背景

    合計スコア 0.0

    レビューが正常に投稿されました! レビューをもっと読む
    パワーストーンで投票する
    Rank NO.-- パワーランキング
    Stone -- 推薦チケット
    不適切なコンテンツを報告する
    error ヒント

    不正使用を報告

    段落のコメント

    ログイン