Meri sedang sibuk membongkar beberapa pakaian yang ia bawa ke Indonesia dan menyesuaikannya dengan fashion untuk acara peresmian desa penyembuhan. Selain pakaiannya, ia juga harus mempersiapkan pakaian untuk ilham juga junior.
Desa penyembuhan terletak di kota istanbul, sebagai kota terbesar di turki ini tentu akan menjadi moment pelesiran pertama mereka ke kota asing.
"jangan membuat dirimu lelah" ilham menarik meri ke sampingnya, meninggalkan apa yang sedang ia kerjakan.
"ini pekerjaan biasa, tidak akan melelahkan. Aku lebih lelah saat bersamamu jadi berhenti mengerjaiku untuk saat ini" meri berusaha memasang wajah mengancam namun tetap gagal menakuti suaminya.
Pria dengan kecerdasan luar biasa itu tentu saja bisa dengan mudah mengetahui keadaan melalui ekspresi. Ia dengan mudah dapat membedakan antara ekspresi yang dibuat-buat atau sungguhan.
Dan kelemahan meri berada pada sisi psikologis itu sendiri. Ia bisa membaca ekspresi seseorang walau tak sepintar ilham dan junior, ia hanya tahu dasar-dasar yang pernah ia pelajari.
"aku harus mengerjaimu untuk bisa memperoleh anak secepatnya tapi tenang saja, masa suburmu sudah lewat jadi aku akan mencoba menahannya" kata ilham.
"aku tidak percaya" meri memasang wajah menyelidik.
"hahaha, kau sangat mengerti aku rupanya" ilham membanting tubuh meri ke sampingnya.
Bukan untuk melakukan sesuatu yang aneh-aneh, ia justru membaringkan meri dan menyelimutinya. Kemudian berbisik "tidurlah, sudah malam dan besok kita akan berangkat pagi"
"pekerjaanku belum selesai" protes meri mencoba untuk bangun tapi tertahan oleh telapak tangan kekar yang menekan dadanya.
"kau punya suami, biar aku. Kau tidur saja jika tidak mau aku membuatmu kelelahan sampai tidak bisa bangun besok pagi" goda ilham.
Tahu suaminya itu tidak pernah berkata omong kosong atau hanya sekedar gertak sambal, ia memilih mengikuti kemauannya itu. Suami yang lemah lembut itu akan berubah jadi harimau garang karena merasa tertantang.
Melihat istrinya begitu penurut, ilham mencium bibir dan keningnya kemudian sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam koper.
Tidak banyak pakaian yang ia masukkan karena agenda mereka hanya dua hari di sana.
Setelah selesai, ia pergi ke kamar junior yang berada di lantai dua untuk memastikan anaknya itu sudah tidur.
Ia tidur dengan nyaman sambil memeluk tubuh wanita yang tidak pernah membosankan di matanya. Bertambah gemuk dalam beberapa hari tapi ilham tetap tidak berkomentar. Ia harap perubahan itu karena meri benar-benar mengandung.
Seperti saat mengandung junior, walau masalahnya tak kunjung berhenti tapi tubuh meri tetap menunjukkan perubahan.
Di pagi hari, teriakan meri dari dapur memecah keheningan. Seketika junior dan ilham berlari ke arahnya.
"ada apa?" tanya dua pria itu hampir bersamaan.
Ilham kemudian tersenyum melihat meri sedang berdiri di atas timbangan digital yang sengaja ia sembunyikan sejak awal agar meri tak melihatnya dan menyebabkan keributan seperti saat ini.
"bagaimana bisa berat badanku sampai lima puluh lima? Apa kau yakin ini tidak rusak?" meri menatap ilham dengan mata berharap jawaban ilham menunjukkan bahwa bukan tubuhnya yang bermasalah tapi timbanganlah yang rusak.
"asistenku baru membelinya kemarin"
Jawaban simpel itu secara tidak langsung terdengar seperti sambaran petir di saat mendung.
"saat di rumah ibu hanya lima puluh tiga dan sekarang naik lagi" keluh meri
"turunlah, kita harus segera berangkat setelah sarapan"
Meri tertunduk lesu memperhatikan postur tubuhnya, tak lupa ia mengelus perutnya dan berpikir bahwa saat ini ia tidak mungkin hamil.
Jika sampai ia hamil di bulan pertama bersama ilham, ia mungkin akan memiliki anak sepuluh karena suaminya itu.
Butuh waktu tujuh bulan untuk bisa hamil junior, dan bersama ilham ia tidak mungkin hanya butuh satu bulan.
Mereka kembali melakukan perjalanan setelah menyelesaikan sarapan. Dengan adanya asisten rumah tangga yang membantunya, meri jadi tidak terlalu kelelahan membersihkan rumah.
Kini ia hanya fokus pada pertumbuhan junior dan memperhatikan suaminya.
Di perjalanan, meri lebih banyak diam, ia selalu ingin muntah jika banyak berbicara. Ia memilih memandangi jalanan yang di lalui sementara junior dan ilham sibuk pada game di ponsel mereka.
Memiliki hobby yang sama dengan orang tersayang memanglah sangat menyenangkan. Ilham dan junior bagaikan sebuah tubuh dan bayangan melalui cermin. Mereka serupa mulai dari hobby, pemikiran, kecerdasan hingga warna kulit.
Terkadang meri berpikir mungkinkah junior adalah anak ilham, bagaimana mungkin junior memiliki kulit putih bersih seperti vampire pucat di daerah lembab. Anaknya itu nyaris tak merona kecuali terkena sinar matahari yang panas.
Seperti saat ini ketika di dalam mobil, kulitnya yang putih itu terlihat pucat padahal jika ia mengikuti gen ayahnya tentu junior akan memiliki kulit yang agak kecoklatan karena itulah warna kulit andre.
Namun jika ia mengikuti gen ibunya, junior tetap tidak akan seputih saat ini. Di antara ilham dan andre juga meri, ilhamlah yang memiliki warna kulit serupa dengan junior.
Memikirkan junior adalah anak dari ilham adalah suatu kekonyolan tak berdasar. Saat andre ke beijing, meri memang tinggal di apartemen milik ilham, mereka sekamar dengan alasan tak ada yang memperhatikan meri saat malam terlebih karena sikap ceroboh dan keras kepalanya. Tapi mereka bahkan hampir tidak bersentuhan di kasur, lalu tidak mungkin ia hamil hanya karena di kamar yang sama. Itu mustahil.
Penjelasan terbaiknya adalah junior lahir dan besar di negara dengan ras kulit putih, kemungkinan makanan yang di makan meri saat hamil mempengaruhi warna kulitnya. Di tambah saat ini, ia besar di turki yang pada musim panas hanya terasa lembab.
Di istanbul, cuaca sama dengan di izmir. Di penghujung musim salju masih terasa dingin walau tak terlihat salju yang turun.
Turun dari mobil, meri di manjakan dengan pemandangan hamparan taman luas dengan air mancur. Bunga-bunga menghiasi sepanjang jalan menuju taman. Bunga cantik membentuk pagar seakan menyambut siapa saja yang berada di ujung jalan.
Ia sering mendengar desa penyembuhan dari fuad, tapi ia tidak pernah bertanya desain dari desa itu.
"apa memurutmu ini tepat untuk di jadikan desa penyembuhan?" ilham bertanya sambil membimbing meri dan junior melangkah memasuki pusat penyembuhan di desa itu.
Pusat penyembuhan itu merupakan sebuah rumah sakit namun lebih mirip sebuah kastil dengan menara dan cerobong asap yang menjulang tinggi. Ruangan di dalamnya berisi ruang dokter serta klinik khusus.
Ruangan du dalamnya di desain sedemikian rupa sehingga pasien hanya akan merasa berada di ruang keluarga dan bukan di ruangan dokter yang notabene merupakan tempat orang sakit.
"ini sangat indah, orang yang tinggal di desa ini pasti akan sangat nyaman mencurahkan keluh kesahnya. Di tambah jika mereka memiliki keluhan serupa itu semakun memudahkan para dokter untuk menangani penyakitnya" senyum simpul terlukis indah di wajah cantiknya saat menatap suaminya. "apa desa ini di khususkan untuk semua penyakit atau umum?"
"aku hanya mengkhususkan untuk penyakit hyperplexia, amnesia, Low litent inhibition dan trauma di area ini. Untuk penyakit lain berada di desa sebelah"
"hanya kebetulan atau aku memang merasa tempat ini terinspirasi dari kisahku? Trauma, amnesia, hyperplexia. Itu semua berkaitan denganku dan junior. Tapi LLI? Belum ada di keluargaku" meri bertanya sekaligus mencoba menjawab sendiri.
"kau terlalu banyak berpikir. Semua penyakit itu berhubungan dengan saraf dan genetik jadi ku tempatkan di sini. Di desa penyembuhan ini juga ada perawatan untuk penyakit lain seperti kanker, tumor dan lainnya" jawab ilham
"tapi tempat ini..."
Ilham dengan cepat memotong ucapan meri "sudah ku bilang ini khusus departemen saraf dan genetik. Jangan banyak berprasangka"
Junior yang menyaksikan pembicaraan dua orang dewasa itu hanya menjadi penonton setia tanpa berkomentar. Ia justru fokus pada daerah sekitarnya yang sangat tertata. Pandangannya bahkan sempat menangkap sebuah ruangan dengan televisi lebar di dalamnya. Ia menduga bahwa itu adalah bioskop, tapi kemudian berubah karena melihat layar itu penuh dengan bagian-bagian dari ruangan yang terpantau.
Mereka kembali mengelilingi kastil itu, menaiki tangga yang sangat luas. Kakinya seakan tidak merasakan lelah melihat setiap sudut ruangan yang di desain berbeda-beda. Sangat indah, seperti segala sesuatunya sudah di susun secara detail.
"tinggal di sini pasti sangat menenangkan" ujat meri.
Ilham mengernyitkan dahinya mendengar ucapan istrinya yang terbilang aneh di telinganya. Meri tidak pernah berpikir menyenangkan tinggal di rumah sakit, seindah-indahnya tempat ini tetaplah itu di khususkan untuk pasien.
"aku sudah membangun istana untuk kita di izmir, jadi jangan meminta untuk tinggal di sini" jawab ilham
"hahaha, aku hanya mengatakan menyenangkan tinggal di sini tapi tidak mengatakan aku akan tinggal di sini. Lagi pula, aku ingin tetap di rumah lama kita"
"kau benar, rumah kita tetap yang paling menyenangkan. Tapi ada sesuatu yang harus ku luruskan. Rumah itu bukan milikku, itu milikmu dan atas namamu jadi itu rumahmu" kata ilham
"apa kau baru saja mengatakan kau menumpang di rumahku?" goda meri
"Mmm, jadi nyonya bisakah kau menampungku untuk sebulan, setahun dan seumur hidupmu?" balas ilham
"tentu. Kau boleh tinggal selama yang kau mau" jawab meri
"bukan selama yang ku mau, selama kau masih menginginkanku" ralat ilham lagi.
"saat aku tidak menginginkan mu lagi, aku sangat yakin seribu persen kau tidak akan melepasku. Jadi berhenti mengatakan omong kosong. Aku masih ingin melihat pemandangan di luar, sore hari pasti sangat indah" meri melangkah pergi bersama junior meninggalkan ilham yang hanya tersenyum mengikuti kepergian dua orang yang di cintainya itu.
Perkataan meri sangatlah benar, bahkan jika meri tak mengingikannya ia akan tetap bertahan. Jika cinta istrinya sudah benar-benar hilang maka cinta yang ia miliki untuknya sudah cukup bagi mereka agar bisa hidup tenang.
Mereka hanya perlu bersama menjalani hari-hari tersisa di hidup mereka dan tidak memikirkan cara untuk saling melepaskan. Mereka akan tetap bertahan bahkan jika bosan mulai menghampiri hubungannya.