.
.
.
Setelah acara orientasi selesai, Can langsung menarik Beam, teman sekelas barunya untuk mengajaknya pulang bersama karena kebetulan rumah mereka berada di arah yang sama.
Can dan Beam berkenalan ketika upacara sambutan para siswa baru dimulai. Beam memiliki penampilan seperti oppa-oppa korea, wajahnya tampan tapi juga cantik. Ia berbicara dengan ramah, santai dan penuh percaya diri. Can senang mengobrol dengan Beam yang memang suka banyak bicara tentang hal-hal menyenangkan yang pernah dia alami. Mereka berdua menemukan banyak kesamaan dalam hal-hal yang mereka sukai. Jadi Can tidak mengalami kesulitan untuk membuka diri untuk kemudian menjadi akrab dengan Beam. Mereka bahkan telah bersepakat untuk menjadi teman sebangku ketika sekolah dimulai.
Di parkiran sekolah, Beam menyalakan motor maticnya. Sementara Can sudah duduk di belakangnya, di bangku penumpang. Mereka pun akhirnya meninggalkan sekolah yang sudah mulai sepi itu.
Sepanjang jalan, Can tidak berhenti menceritakan apa yang ia rasakan ketika sekelompok dengan Tin, tentang pembicaraan Tin dengan teman-temannya di toilet dan sikap Tin yang seolah membenci Can. Di antara ceritanya, Can yang merasa kecewa dan kesal tidak luput untuk mengejek Tin sebagai pelampiasan kekesalannya. Can mengatakan kalau Tin itu sombong karena ia tampan. Padahal Can sempat mengaguminya. Tin juga tidak berhak membenci Can tanpa alasan yang jelas. Can mengatakan kalau Tin itu gila dan lain-lain... blah..blah.blah...
Beam yang sebenarnya di dalam hati mulai mengeluh kalau telinganya mulai panas karena semua cerita Can, hanya bisa mendengarkan namun tidak berniat memberikan pendapatnya karena ia tidak mengerti apa-apa dan tidak tahu harus berkomentar apa.
Setelah Can memberikan pernyataan kalau dia menyesal sempat mengagumi Tin dan bahwa dia sekarang membenci Tin, akhirnya curhatan Can pun berakhir. Ketika Can akhirnya memaksa Beam yang sejak tadi hanya diam, untuk memberikan pendapatnya, Beam hanya mengatakan,
"Kalau kau memang tidak menyukainya, aku tidak masalah. Kalau memang benci, kau hanya perlu mengabaikannya di sekolah. Tidak perlu membuang tenaga untuk memikirkannya apalagi mencari masalah dengan Tin".
Can yang mendengarkan akhirnya mengangguk dan mengiyakan. Meskipun masih kesal, Ia memutuskan untuk melupakan masalah ini dan dia hanya akan mengabaikan Tin saja. Lagipula Tin adalah kakak kelasnya. Mereka mungkin tidak akan terlalu sering memiliki urusan yang sama atau bahkan tidak akan sering bertemu karena wilayah kelas mereka yang terpisah.
Can dan Beam akhirnya sampai di depan rumah Can. Beam mengucapkan selamat tinggal setelah berjanji akan menjemput Can keesokan paginya untuk berangkat ke sekolah bersama. Can masuk ke rumah dan langsung menuju kamarnya berniat untuk beristirahat sebelum makan malam nanti.
Setelah hari orientasi itu, kehidupan sekolah Can berjalan normal tanpa ada kendala yang berarti kecuali Can yang merasa terganggu ketika beberapa kali ia berpapasan dengan Tin di sekolah dan Can dapat merasakan tatapan Tin yang aneh pada dirinya. Tapi Can tidak mengerti arti dari tatapan itu. Tin juga tidak mengatakan sepatah katapun tapi ia akan segera membuang muka ke arah lain setiap kali ia melihat kehadiran Can.
Can yang masih bersembunyi di balik pintu kelas, tanpa kehadirannya disadari oleh Tin yang ada di dalam kelas, mengingat kembali moment lain ketika ia jadi semakin tidak menyukai Tin.
Saat itu, sejak naik ke kelas 2, Can memutuskan untuk bergabung dengan tim basket sekolah. Ia tahu kalau ia bergabung maka mau tidak mau ia akan berada di ekskul yang sama dengan Tin. Apalagi Can tahu kalau Tin adalah wakil capten tim basket.
Meskipun Tee adalah kapten basketnya, namun sebenarnya, Tin adalah pemimpin yang sebenarnya di tim basket. Tin lebih memilih menjadi wakil capten karena ia tidak mau dipersulit oleh tugas-tugas dan tanggung jawab seorang kapten. Dan Tee yang tahu alasan ini juga tidak pernah memberikan tugas-tugas berarti kepada Tin. Dengan kata lain, Tin memiliki status wakil kapten tanpa harus melakukan tugas-tugas seorang wakil kapten dan ia tetap dihormati sebagai pemimpin yang sesungguhnya.
Meskipun mengetahui resikonya akan berurusan dengan Tin, tapi Can memutuskan untuk tetap bergabung dengan tim basket. Semua itu karena Can sebenarnya sangat menyukai basket dan ia sudah tidak tahan lagi ingin bergabung di tim basket sekolahnya. Can enggan bergabung ketika ia masih kelas 1 karena saat itu ia masih kesal dengan Tin.
Di suatu hari, Can untuk pertama kalinya mengikuti latihan tim basket. Setelah memperkenalkan diri kepada senior-seniornya, Can diberi informasi hal-hal terkait tim basket sekolahnya. Setelah menerima beberapa arahan, Can mulai masuk ke lapangan basket bersama anggota baru lainnya untuk melakukan pemanasan bersama.
Saat itulah, Tin muncul. Ia memasuki gelanggang basket. Awalnya ia masih asyik berjalan sambil mengobrol dengan Two, tapi tiba-tiba langkahnya berhenti ketika ia melihat para anggota baru yang sedang berbaris dan melakukan pemanasan. Tin menyadari kehadiran Can disana karena saat itu Can juga sempat melihat ke arahnya. Can menyadari sikap aneh Tin yang langsung memasang sikap diam dan terkesan dingin ketika melihatnya. Tin bahkan langsung membuang muka dan pergi bergabung dengan teman-temannya.
Sikap tanpa alasan yang ditunjukkan oleh Tin semakin membuat Can kesal ketika Tin kemudian mulai sering mengganggu Can. Bukan mengganggu secara fisik tapi lebih kepada memberikan tugas-tugas melelahkan kepada Can. Padahal masih ada anggota baru lainnya yang bisa disuruh atau dimintai tolong. Tin juga sering menegur Can ketika latihan atas kesalahan-kesalahan kecil yang tidak sengaja dilakukan oleh Can. Tin juga sering berbicara atau memberikan tanggapan dingin ketika Can sedang berbicara memberikan pendapatnya di tim basket atau hanya sekedar menanyakan hal-hal terkait teknik basket yang ingin ia pelajari.
Sikap Tin ini semakin lama semakin kentara dan sampai sekarang, bahkan semua orang yang ada di tim basket sudah sepakat beranggapan kalau Tin tidak menyukai Can. Meskipun mereka tidak tahu apa alasannya. Teman-teman lain di tim basket hanya bisa memberikan dukungan kepada Can setelah melihat Can yang nampak kasihan setelah dipersulit oleh sikap Tin itu. Two dan Tee yang juga tentu menyadari sikap Tin, hanya bisa berusaha menengahi semampunya agar Can tidak merasa tertekan dan kesulitan hingga merasa tidak betah berada di tim. Kadang ketika Tin sedang dalam mood untuk mempersulit Can dengan tugas-tugas atau mengkritik tingkah laku Can, Two dan Tee berusaha mencairkan suasana dan mengalihkan ketegangan diantara Tin dan Can dengan bercanda dan mengatakan hal-hal konyol dan lucu agar suasana menjadi sedikit santai.
Sifat Can yang baik dan periang membuat semua orang di tim basket kecuali Tin menjadi menyukainya. mereka senang bergaul dengan Can. Menurut mereka, Can adalah matahari di tim. Makanya mereka sangat peduli dengan Can. Dan inilah juga yang menjadi alasan Can untuk tetap bertahan di tim basketnya.
Can yang berada di balik pintu, hanya bisa menghela nafas ketika mengingat hal-hal menyebalkan tentang Tin. Seperti Tin yang selalu bersikap dingin hanya kepadanya. Tin yang selalu mengkritik tingkah lakunya, mengatakan kalau Can itu bodoh dan kekanak-kanakan. Tin yang tidak pernah berkata baik, memuji ataupun tersenyum kepadanya ketika semua hal itu sering Tin lakukan di hadapan orang lain.
Can yang kembali mengintip ke dalam kelas, lagi-lagi tersenyum melihat senyuman Tin yang tampan. Meski di dalam hati ia merasa iri karena tidak pernah menerima senyuman yang sama. Can tidak sadar waktu terus sudah cukup lama berlalu. Ia sudah berdiri di depan pintu dan diam-diam mencuri pandang kepada Tin selama lebih dari tiga puluh menit. Dan selama tiga puluh menit itu pula, Tin tidak menyadari kehadiran Can sampai kemudian Tin mematikan layar handphone dan memasukkan handphone itu ke dalam saku celananya.
Can terkejut mengetahui Tin yang akan segera beranjak pergi. Ia sempat bingung harus melakukan apa sampai ia memutuskan untuk segera berlari dan bersembunyi di lorong yang tidak jauh berada di samping kelasnya. Can menyaksikan kepergian Tin dengan penuh rasa penasaran.
Dahi Can mengernyit ketika ia mulai berpikir alasan keberadaan Tin di kelasnya.
"ada apa dengannya? kenapa dia ada di kelasku. Dasar aneh. Gara-gara dia, aku jadi kesorean untuk mengambil buku-ku. Lagi pula kenapa dia malah duduk di bangku-ku. Aku malas kalau harus menyapanya."
Meski ada keluhan dalam pertanyaannya, Can tidak sadar pipinya mulai memerah ketika ia mulai berpikir dan mengingat ekspresi Tin tadi.
"Aku akui dia memang tampan. Bagaimana mungkin aku tidak pernah melihatnya tersenyum seperti itu. apa mungkin dia itu bukan Tin tapi sebenarnya adalah hantu?"
"Seandainya dia sering tersenyum seperti itu kepadaku lalu bersikap baik dan lembut. Berbicara dengan hangat dan ramah kepadaku. Maka aku pasti tidak akan membencinya."
"aku pasti akan sangat meyukainya"
"eh... hah...! oyyy..." Can mengacak-ngacak rambutnya sendiri ketika ia menyadari apa yang baru saja ia pikirkan. "Tampan ? Suka? Aku? Eewww... apa yang aku pikirkan. Bagaimana mungkin aku bisa berkata kalau aku akan sangat menyukainya. Lagipula kenapa aku ingin dia bersikap lembut dan hangat kepadaku? Astaga..aku mulai gila..aku rasa aku sedang sakit... aku harus segera pulang.." Can yang merasa aneh dengan dirinya dan pikirannya sendiri segera mengambil bukunya di kelas setelah memastikan kalau Tin sudah pergi jauh dari kelasnya. Setelah itu Can langsung pulang ke rumahnya.
Di rumah, Can segera ke kamarnya. Mencuci muka di kamar mandi lalu menjatuhkan diri di atas kasur. Ia melakukan gerakan-gerakan aneh dan berantakan di atas kasur sambil terus-terusan mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Sesekali ia menggelengkan kepalanya kasar seolah sedang menampik hal yang sangat serius di dalam pikirannya.
Setelah beberapa waktu, Can mulai tenang. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah setelah melakukan gerakan acak yang aneh-aneh. Can merasa lelah karena sejak tadi ia sudah berusaha keras menghapus bayangan senyuman Tin yang tampan dari pikirannya namun kemudian gagal. Dan kini wajahnya perlahan memerah ketika ia kembali membayangkan Tin yang tersenyum sambil mengusap kepala Can dengan lembut. Kemudian Tin memuji Can dengan mengatakan, "kau pasti lelah, istirahatlah" Tin dalam khayalan itu kembali tersenyum lalu memeluk Can dengan sikap yang hangat. Can tersenyum malu dan seperti orang bodoh karena khayalannya sendiri. Ia baru tersadar ketika mendengar panggilan ibunya yang mengajaknya makan malam. Can pun keluar dari kamarnya untuk menyantap makan malam bersama keluarganya.
.
.
.
01.39
20 Oktober 2019
RE:23/10/2020/23:51