Ruangan yang cukup besar itu masih ramai dengan berbagai suara. Rara yang terlihat akrab dengan putra-putri sahabatnya. Kedua pria paruh baya yang sibuk berdiskusi serius di sudut lain. Atau pun sosok wanita yang masih saja sibuk menasehati Nathan yang sedari tadi sudah merasa tak nyaman.
Hanya Nathan yang seperti tak ada dalam satu dimensi yang sama. Ia tak lagi mendengar apa yang di ucapkan Nina kepadanya. Nathan seperti merasa jika Nina tak akan mengerti duduk permasalahan yang di hadapinya kini. Wanita yang tak lain adalah sahabat mamanya itu seperti mendorongnya untuk mendekat lebih dulu. Nathan ingin, tapi meskipun begitu, apakah hubungan ibu dan anak akan bisa sedekat seperti yang lain jika Nathan yang selalu menjadi sosok yang tak tau apa-apa? Lagipula ia terlanjur tak memiliki kemampuan dalam mendekatkan diri pada sosok mamanya itu.
"Nathan, bisa bicara sebentar denganmu? Bolehkan, bu?"
Nathan menaikkan kepalanya pada sosok pria yang menjulang di depannya itu. Pria empat tahun lebih dewasa yang sejujurnya selalu membuat Nathan jengkel dengan keinginannya dalam mencampuri urusan orang lain. Namun kali ini Nathan sedikit memberi poin baik untuk pria blasteran itu, Nathan seperti terselamatkan dari situasi yang begitu ia benci.
Melangkahkan kaki ke sepanjang koridor rumah sakit, mereka masih kompak terdiam. Langkah yang seirama dengan lengan sama-sama di saku celana membuat pesona mereka semakin memancar. Banyak sekali pasang mata yang memperhatikan dengan kekaguman yang lebih. Dua orang tampan dengan tubuh proporsional bak model, orang-orang seperti menyaksikan peragaan busana sekarang.
Nathan seperti tak mempedulikan suara pekikan kagum dari kaum hawa itu. Pikirannya sudah begitu rumit dengan masalah yang dihadapinya. Dan yang membuatnya lebih parah adalah tak ada sosok penting yang hadir untuk memberikan belaian lembut pada kepalanya yang seperti ingin meledak. Nathan butuh Rian sekarang, ia begitu butuh.
"Kau bisa memberitahuku tentang apa yang membuat dahimu itu mengerut dalam."
Nathan menolehkan kepala pada pria yang duduk di sampingnya. Mereka kini duduk di bangku taman yang hanya bisa diisi oleh dua orang. Bahu mereka pun sampai harus bersentuhan, Nathan tak mempermasalahkan hal itu. Ia bahkan cukup berterimakasih karena pemandangan yang cukup membuatnya rileks. Tanaman hijau atau pun bunga warna-warni yang mengelilingi mereka. Nathan tak menyangka, bagaimana bisa Max tau tentang atap bangunan tinggi yang ditata begitu indah ini?
"Kurasa kau tau apa penyebabnya," jawab Nathan singkat. Lengannya pun merogoh kantung celana dan mendapati bungkusan yang berisi obat kegundahannya, rokok.
"Kenapa malah merokok? Kita sedang ada di tempat yang begitu indah dengan udara yang bersih."
Max mencegah tangan yang akan mematikkan api ke batang rokok yang sudah terselip di antara bibir Nathan. Ia pun menarik rokok itu dan menyimpannya di saku jaket. Saat Nathan ingin mengambil batang rokok yang baru, Max pun dengan sigap merampas korek api dan menyimpannya.
"Maaf, aku lupa kalau kau ternyata tak suka ada orang yang merokok di sampingmu. Kalau begitu aku akan mencari tempat lain, kembalikan korek apinya!"
Dengan menyodorkan tangan, Nathan berkata dengan lesu. Ia sudah menahan kesal atas sikap Max kali ini. Nathan merasa mereka masih belum cukup dekat untuk bisa saling bercanda.
"Bukan karena aku yang tak suka asap rokok, tapi alasan yang sebenarnya adalah karena aku... Aku tak ingin ada kawanku yang candu dengan rokok. Itu berbahaya, tak sehat untuk tubuh."
Nathan menyerah, ia tak ingin mendebatkan hal kecil di saat otaknya sedang penuh masalah besar. Mengantongi bungkusan rokok itu lagi, kepala Nathan pun menengadah dengan mata terpejam erat. Menghembuskan nafas panjang, ada baiknya juga ia tak merokok, akan sia-sia jika udara sebersih ini di abaikan.
Di sisi lain, Max menolehkan pandangannya pada Nathan. Leher putih yang begitu terekspos itu menampakkan hasil karya indah yang sempat ia torehkan. Karya yang masih memerah jelas, membuat jiwa nakal Max seketika melonjak. Ia ingin sekali menambah hickey itu, kalau perlu sampai memenuhi leher milik Nathan.
Max begitu berhasrat, mengungkung tubuh dengan erat dan bergumul bersama dengan hanya selembar selimut yang menjadi penutup. Decapan lidah kala dirinya mencoba mencari lawan dengan menyusup mulut Nathan. Erangan nikmat kini terngiang-ngiang di telinganya. Ingatan suara yang masih begitu ia hafal membuat pikirannya terdorong. Suhu panas yang secara drastis menyeruak dari tubuh-tubuh berhasrat. Pekikan sakit kala Max berusaha menembus pertahanan Nathan yang paling inti. Benda perkasanya yang akan di puaskan dengan kesempitan lubang yang dimasukinya. Menggerakkan tubuh sesuai irama hingga keringat bercampur gairah menjadi satu. Bergerak cepat mencapai kepuasan hingga nafas tergesa dan getaran tubuh yang tak kuasa menahan kenikmatan bertubi. Max begitu menginginkan Nathan sedalam itu.
Mencoba melakukan gerakan kecil, Max mengangkat tangan. Ia berusaha memulai aksi pendekatannya itu dengan mengeluskan tangan dibelakang leher pria di sampingnya itu. Nathan yang merasakan gerakan tiba-tiba itu jadi terlonjak kaget. Matanya langsung terbuka dan menuju sumber permasalahannya. Max bahkan sudah mulai membuat belaian lembut yang membuat Nathan merasakan sedikit getaran konyol.
Nathan membelalakkan mata, bibirnya kini sudah menjadi sasaran dari pria yang baru beberapa lama di kenalnya itu. Ia merasa bodoh saat hanya membuka mulut tanpa sekali pun menolak. Bibir bawahnya terasa digigit dan di kecap. Lidah masuk mengajaknya menari bersama, Nathan sudah merasa malu setengah mati saat mata yang sempat terpejam itu kini terbuka. Mereka berpandangan dengan Max yang masih melumat dengan penuh nafsu.
"Eunghh..."
Nathan tak sengaja melenguh saat Max semakin intens. Lengan besar itu kini mengungkung tubuh Nathan dengan punggung dan belakang lehernya yang dicengkram erat. Ini gila! Nathan seperti hilang harga diri saat biasanya ia lah yang menjadi dominant sejati. Tapi secara jujur Nathan katakan, ciuman ini begitu luar biasa.
Max pun merasakan gairah itu tanpa ragu. Membalas tatapan yang terlihat sayu namun terlihat sedikit menghindar. Max tak ingin hanya seperti ini, masih banyak fantasi liar yang menderu ingin di lakukan. Ini adalah waktu yang sangat tepat, Nathan masih terlihat bimbang dengan langkahnya sendiri. Pikiran jahat Max pun berseru dengan keras. Ini saat yang tepat, sekarang.
"Maafkan aku."
Sikap jantan pun akhirnya dipilih Max. Memberi kecupan singkat di akhir dan mengelus sudut bibir yang terdapat bekas saliva mereka yang tercampur. Max tak tau lagi maksud dari keterdiaman Nathan yang menatapnya begitu tajam. Tapi satu yang pasti, Max tak menyesal telah mencuri sedikit cela dari kegundahan Nathan.
"Hei! Aku tau kalian ada disini."
Max dan Nathan pun cepat-cepat membenahi duduk. Posisi mereka yang tepat di samping kanan paling pojok dari pintu masuk membuat mereka memiliki sedikit waktu untuk meredam ekspresi wajah. Max pun menumpu kakinya menyembunyikan benda yang sempat terbangun di balik celananya itu. Nathan yang menatapnya pun hanya bisa menatap datar.
Bunyi langkah kaki yang bergesekan dengan rumput sintetis itu menandakan sosok yang kini sudah semakin mendekat. Berjalan sedikit berkelok karena banyaknya tanaman yang di tata sedikit memperlambat kedatangannya. Cherlin melihat dua pria diantara celah tanaman yang ia yakini sebagai kakak dan pria incarannya itu.
"Ya, tebakan ku benar! Kalau brother ke sini pasti tak lupa untuk menyempatkan diri duduk menikmati suasana indah ini."
Cherlin pun kini menjadi pusat perhatian ke dua pria itu. Cherlin dengan tampang cerianya langsung menempati lengan kursi yang ada di dekat Nathan. Kursi itu begitu kecil, hingga Max merasa Cherlin mengambil kesempatan itu untuk begitu dekat dengan Nathan. Max menahan geramannya, Cherlin yang memakai celana begitu pendek dengan posisi miring dan Max melihat mereka seperti sedang berpangkuan.
"Lin! Jangan bertindak tidak sopan, kau bisa duduk di samping kakakmu ini!" ucap Max berusaha setenang mungkin. Tapi seperti tak mengindahkan ucapannya, Cherlin malah menempatkan satu lengan di belakang punggung Nathan. Cherlin seperti membuat gara-gara dengan kakaknya itu.
"Lin! Ku bilang-"
"Tak apa, aku tak keberatan."
Jawaban singkat itu nyatanya membuat Max merasakan hatinya begitu sakit. Setelah lenguhan saat mereka berciuman seintens itu, apakah tak cukup membuat jelas Nathan jika Max sedang ingin mendekatinya. Apakah Nathan berusaha memperjelas orientasinya dengan berdekatan langsung dengan seorang wanita?
Setelah sikap gegabah yang di ambil Max waktu itu, Nathan seperti tak menganggapnya ada. Setiap kali Max mendekat, Nathan pasti akan mengambil langkah seribu untuk menjauhinya. Mereka memang masih sering bertemu, Max dengan keluarganya masih rutin mengunjungi rumah baru yang ditempati Nathan dan Mamanya itu. Seiring berjalannya waktu, mama Nathan pun sudah mulai pulih dari lukanya dan terlihat sudah mulai menerima keadaan.
Hari ini juga sebenarnya adalah jadwal Max untuk terbang ke Bali. Max sampai harus membujuk papanya yang begitu disiplin itu untuk menunda jadwal, Max ingin sekali mendampingi Nathan. Saat ini adalah sidang putusan dari perceraian orangtua Nathan.
Max menatap tatapan lesu milik Nathan saat ini, ketuk palu sudah seperti awal kehancuran pria yang berperan sebagai anak itu. Max ingin sekali mendekap tubuh yang masih saja munafik dengan menampilkan raut seolah tak terjadi apa-apa.
Bahkan saat langkah itu mulai meninggalkan tempat pengadilan, Max yang sudah tak bisa membendung perasaannya itu pun menarik Nathan kedalam mobil miliknya.
"Lin, kau beritahu semua jika Nathan saat ini sedang bersamaku,"
Max langsung mematikan ponsel sebelum sempat mendapatkan balasan. Ia melemparkan ponsel mahalnya begitu saja ke bangku belakang.
Menghidupkan mobil, Max langsung menancap gas ke apartementnya, Max ingin melihat Nathan dengan ekspresi yang jujur.
"Mau bawa aku kemana?"
Max menolehkan pandangannya sekilas ke Nathan. Pria itu nampak menghindarinya dengan terus menatap pemandangan di sampingnya.
"Ke tempat pribadi," jawab Max singkat. Ia pun sesekali menatap wajah orang yang dipujanya itu dari samping.
"Tempat pribadi milikmu? Kenapa harus mengajakku?"
Nathan berkata dengan ketus. Pandangan tajam itu kini sepenuhnya mengarah ke Max.
"Nath..."
"Atau kau ingin memanfaatkan keguncangan hatiku ini dengan mencium ku tanpa ijin atau dengan paksaan lagi?"
Max merasa seperti maling yang tertangkap basah, meski begitu ia berusaha tak gentar. Menancap gas lebih cepat, Max ingin segera sampai, ia ingin sekali mendekap tubuh itu dan menenangkannya.
"Sekarang kau bahkan membawa mobil seperti kesetanan. Kenapa, penismu sudah memberontak seperti waktu itu, ya?"
Nathan kini sudah tak bisa mengendalikan emosi, bicaranya pun sudah mulai meninggi. Max pun langsung menepikan mobil dan mendekap Nathan di pelukannya.
"Heh! Lepaskan aku!"
Nathan berusaha memberontak, tangannya pun memukul-mukul bagian tubuh Max yang bisa di jangkau. Setelah usahanya itu tak membuahkan hasil, Nathan pun bertindak pengecut dengan menggigit leher Max yang tak terlindungi kaos itu. Nathan menggigitnya dengan keras, ia merasa begitu kekanak-kanakan saat ini.
"Tidak apa, kau bisa memukul ku. Gigit sekeras yang kau mau, tak apa. Nath... Aku hanya ingin berusaha dekat denganmu, terlepas dari sikapku yang selalu ingin ikut campur, itu karena aku dengan tulus peduli padamu."
Air mata yang sejak tadi ditahannya pun kini mengalir perlahan. Nathan tak bisa melihat dengan jelas karena pelupuk matanya yang masih saja di desak untuk mengeluarkan tanda kesedihannya. Meski begitu ia masih saja menggigit leher Max, ia tak ingin terlihat memalukan dengan suara sesegukan yang dengan kuat ia tahan itu.
"Hei... Bisa kau lepaskan aku sebentar? Kita tak mungkin terus begini dipinggir jalan," bujuk Max dengan suara dalamnya. Mereka sudah di posisi ini sejak beberapa waktu lalu. Jujur saja, Max juga sedikit merasakan perih di leher yang sedang digigit itu.
"Hiks... Ughh..."
Nathan tanpa sengaja merengek, ia menggeleng cepat. Ia masih sangat malu jika Max menatap wajahnya yang penuh air mata dan ingus itu.
"Kau jangan khawatir, aku tak akan menertawakan mu."
Max masih berusaha membujuk, lengan satunya pun kini mengelus surai lembut itu dengan penuh kelembutan.
"Heh! Jangan kau pikir, hiks... Aku sedang butuh pelukan mu ini, ya! Hiks... Aku hanya ingin menggigit lehermu ini sampai, hiks... Putus!"
Nathan mendorong tubuh Max dan langsung mengusap wajahnya dengan punggung tangan. Ia seperti hilang muka saat ini, pasti Max akan menjadikannya bahan tertawaan.
"Bersihkan dengan ini!"
Max menarik lengan Nathan yang sibuk mengucek matanya itu. Menyodorkan sapu tangan bersih yang langsung di tarik Nathan dengan cepat.
"Jangan terlalu keras mengucek mata, nanti akan jadi bengkak."
Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan suasana lebih hening. Matahari yang sempat memancar dengan cerah pun kini secara tiba-tiba meredup. Nathan merasa alam seperti menyadari kemendungan hatinya saat ini.
Memasuki kawasan apartement elite, mereka pun naik ke lantai tertinggi gedung itu. Lift terbuka dengan hanya menampilkan ruangan besar yang kosong dan hanya satu pintu yang terlihat.
Nathan sudah tiga kali menginjakkan kaki di tempat ini. Pertama dan kedua ia datang dengan kondisi setengah sadar akibat pengaruh alkohol, tapi Nathan tak pernah menyangka akan ada yang ketiga kali, itu pula ia datang dengan sadar.
"Kau bisa langsung mandi untuk menyegarkan pikiranmu. Tak perlu ku antar, kau tau dimana tempatnya, kan?"
Nathan menatap Max dengan tajam, pria itu seperti menggodanya dengan kerlingan mata dan senyum lebar.
Meski begitu Nathan tak ambil pusing, ia pun langsung berjalan ke arah pintu yang masih ia hafal, kamar Max.
Deringan ponsel menarik perhatian Nathan. Lengannya yang masih sibuk mengeringkan rambut itu pun terpaksa berhenti. Menyampirkan handuk kecil ke lehernya ia pun menatap nama sang pemanggil.
"Hmm..." gumam Nathan tanpa minat. Ia masih merasa kesal dengan Rian yang sudah beberapa hari ini tak bisa dihubunginya.
"Kok jawabnya gitu sih, sayang?"
"Lalu, kau mau aku bagaimana? Jangan berharap lebih saat aku yang sedang butuh bantuanmu ini malah kau abaikan."
Nathan menjawab dengan nada tinggi. Ia merasa kekasihnya sudah berubah begitu banyak. Mereka sudah mengenal pribadi masing-masing, meski kalau untuk urusan keluarga mereka seperti kompak untuk tutup mulut.
Rian itu terbiasa memberinya kabar kemana pun ia pergi. Bahkan tak jarang Rian yang selalu bersikap posesif dengan memberondongnya dengan beberapa pertanyaan saat mereka akan terpisah walau hanya dalam hitungan jam. Tapi mengapa Nathan tak bisa bertingkah sebaliknya.
"Aku akan menemuimu jika hatiku sudah membaik."
Nathan melemparkan ponselnya begitu saja kearah ranjang. Dengan jengkel ia pun mengacak rambutnya yang masih basah.
"Perlu bantuan untuk mengeringkan rambut?"
Nathan tak sadar jika Max telah membuka pintu, pria itu bahkan sudah berjalan begitu dekat kearahnya. Tubuh atas yang masih telanjang dan bagian bawah yang hanya di tutup handuk pendek membuat Nathan jadi salah tingkah. Ia tau benar, Max saat ini sedang menaruh rasa tertarik padanya.
Max itu terlihat seperti tipe pria yang berkemauan keras, sifat pemaksa bahkan sudah di tebaknya sejak awal. Di situasi sekarang ini Nathan bahkan sampai bisa bergetar takut dengan tatapan intens dan seringai itu.
"Nath..."
"Antar aku pulang setelah ini!"