Gibran langsung terdiam saat melihat sosok Kanaya saat ia hendak berbalik. Perempuan itu juga ikut menghentikan langkahnya saat melihat Gibran di tempat itu.
"Pak," sapa Rani dengan tersenyum canggung.
"Pak." Kanaya ikut menyapa meskipun ia janggal dengan kalimat tersebut.
"Nay, aku ingin bicara denganmu." Gibran berbisik agar tidak ada orang yang mencurigai mereka.
"Maaf, Pak. Saya masih bekerja," ujar Kanaya seolah telah profesional dengan kerjanya.
"Sebentar," kekuhnya masih lirih.
"Maaf." Kanaya melenggang pergi tidak ingin menjadikan Gibran sebagai alasannya untuk malas bekerja.
Gibran memandang kepergian Kanaya dengan sedikit kecewa, harapannya untuk berbicara masih belum ia dapat di tempat itu. Gibran melangkah pergi untuk kembali ke ruangan dan kembali bekerja.
****
"Kamu satu kantor dengan Gibran?" Ratu cukup terkejut saat mendengar cerita dari sang sahabat, ia tidak habis pikir dunia begitu sempit sehingga tempat yang sekarang Kanaya tempati kerja sama dengan tempat Gibran bekerja.
"Iya, aku juga bingung." Tampang lelah begitu terlihat di wajah Kanaya, perempuan itu nampaknya tidak begitu suka dengan keadaan yang membawanya bersama Gibran lagi.
"Terus apa keputusan kamu?" Ratu merasa penasaran dengan keputusan Kanaya, ia pikir Kanaya bukanlah orang yang lemah, bukan juga tipe wanita yang akan lari dari tanggung jawab.
"Gimana lagi, aku akan tetap kerjalah. Lagi pula dia bukan penjahat, disini dulu aku yang menyakitinya. Jadi, aku harus tetap tanggung jawab dalam pekerjaan yang sudah ada. Apalagi itu masalah pribadi." Ratu tidak dapat menjabarkan ekspresi Kanaya bahagia atau sedang sedih, yang ia tahu perempuan itu sedang berjuang untuk melanjutkan hidup.
"Baiklah, itu terserah kamu. Semoga kamu cepat dapat pekerjaan lain yang lebih aman," pungkas Ratu.
"Iya, semoga. Terimakasih doanya, terima kasih juga atas segala kebaikanmu selama ini. Semua yang aku alami sampai hari ini adalah karenamu atas bantuanmu." Tatapan Kanaya tampak begitu tulus.
"Halah kamu ini bicara apa. Semua yang kamu alami adalah kehendak dan dari bantuan Tuhan, jangan lupa bersyukur dan berterimakasih padanya," Ratu meluruskan.
Kanaya langsung terdiam seolah yang Ratu katakan benar, tetapi apa yang harus ia lakukan.
"Kenapa?" Ratu bingung dengan perubahan wajah Kanaya.
"Oh, iya. Tadi aku sengaja menghindar dari Gibran, aku tahu setelah pulang kantor pasti dia akan mencariku. Jadi, aku sengaja mengambil tindakan agar tidak berpapasan dengannya." Kalimat dan ekspresi Kanaya seolah menggambarkan sebuah keberhasilan yang patut di banggakan.
"Heii ... dia hanya Gibran. Ingat, Gibran. Jangan anggap dia layaknya teroris dong," koreksi Ratu merasa tidak terima.
"Bukan begitu, aku masih cukup syok dengan adanya dia di tempat itu. Haruskah aku menjawab segala pertanyaan dia."
"Nay, masalah itu di hadapi bukan di tinggal lari. Ingat! Kemanapun kamu pergi, kamu tidak akan merasa tenang jika masih ada masalah yang belum terselesaikan di pikiran dan hati kamu. Jangan jadikan masa lalu sebagai alasan kamu menghindar. Sakit hati itu wajar buat semua orang, tetapi kamu bukankah sadar kalau Gibran yang kala itu tersakiti, bukan kamu. Aku tidak akan memaksa kehendakmu, tetapi aku adalah seorang sahabat. Tugas sahabat adalah mengingatkanmu. Aku ingin kamu berjalan dengan tenang, lebih baik selesaikan masalahmu dengan Gibran. Jangan membuat semuanya menjadi rumit." Kalimat panjang lebar itu Ratu tujukan pada Kanaya dengan niat tulus, dan tidak ada maksud lain.
"Aku tau, Tu. Tapi --."
"Kamu lakukan yang menurutmu benar. Maksud aku, dari semua kata-kata aku lakukan yang menurut kamu benar. Jika salah kamu tidak perlu melakukannya karena itu hati kamu, kamu yang berhak menentukan mana yang harus kamu lakukan." Ratu tersenyum sembari mengusap pelan pundak sang sahabat.
Kanaya menggangguk paham, tiba-tiba pikirannya mulai berfikir tentang semua kalimat Ratu.
****
"What?" Ryan terkejut saat ia mendengar cerita Gibran kalau Kanaya bekerja sebagai office girl di tempat kerjanya.
"Ini beneran?" Rio ikut tidak yakin.
"Iya."
"Setau aku, Kanaya kan lulusan sarjana ekonomi. Kenapa dia kerja sebagai office girl?" Heran Rian.
"Itu juga yang aku pikirkan, kenapa dia tidak bekerja sebagai keuangan kantor atau apa gitu," tambah Rio.
"Entah."
"Terus apa yang akan kamu lakukan?"
Gibran mengubah posisi berbaringnya dengan duduk benar, ia tidak langsung menjawab pertanyaan kedua temannya tersebut.
Rio menaikkan kedua alisnya beberapa kali untuk meminta jawaban dari sang pemilik masalah.
"Aku tidak tau."
Rio menjitak kepala Rian pelan, ia merasa sangat kesal bercampur greget dengan sikap Gibran yang di luar pemikiran mereka.
"Aww ... apa apaan lo pukul pala gue. Bosan hidup Lo." Rian merasa tidak terima.
"Ini rasakan!" Rian membalas perlakuan Rio lebih kejam.
Gibran membaringkan tubuhnya lagi, kali ini ia tambah dengan menutup kedua telinganya. Rasa gelisahnya semakin bertambah dengan perlakuan tidak jelas kedua sahabatnya.
****
Kanaya berniat membuka pintu saat ada yang mengetuk pintu rumahnya. Namun, ia cukup merasa ragu saat mengingat sudah pukul 22.30 Wib. Tentu ia merasa curiga dengan kedatangan seseorang di jam seperti itu, apalagi ia tinggal sendirian tidak ada orang di rumahnya selain dirinya. Memang ada tetangga yang dekat dengan rumahnya. Namun, cuma 1 orang, yang lain cukup jauh dengan jarak rumah Kanaya.
Kanaya merasakan tubuhnya gematar saat berniat mencari celah dari lubang siapa pelaku pengetuk pintu di depan rumahnya.
"Siapa sih?" Gumam Kanaya merasa ragu untuk mengitip.
Kanaya mendekat ke jendela, terdengar suara ketukan itu lagi. Kanaya membuka sedikit tirai rumahnya, ia merasa bernafas lega saat melihat sosok di balik pengetuk pintu. Kanaya segera membuka pintu tanpa ragu.
"Kenapa lama?" Tanya laki-laki itu.
"Duduk!" Kanaya membawa dia duduk di kursi luar rumahnya.
"Kak Arka ada apa datang larut malam?" Kanaya mendudukan tubunya di kursi dengan pelan. Begitu juga yang di lakukan Arka.
"Aku tadi baru beli nasi goreng, kebetulan lewat sini. Jadinya aku mau kasih kamu juga." Arka menerangkan apa adanya.
"Wah, yang benar? Aku lagi lapar nih," jujur perempuan itu.
Arka menyodorkan satu bungkus nasi goreng itu pada Kanaya dengan tersenyum, ia merasa ikut senang bisa membuat wanita yang di sukainya bahagia meskipun hanya dengan hal kecil.
"Terimakasih ya, Kak." Kanaya tersenyum dengan sungguh sungguh.
Arka mengangguk dengan menutup singkat kedua matanya.
Kanaya memakan nasi goreng yang Arka bawa, perempuan itu ternyata memang tidak berdusta. Ia sungguh sungguh lapar, seperti yang terlihat dari cara makan Kanaya, sangat lahap dan terburu buru.
"Pelan, Nay." Suara itu terdengar merdu dan sabar.
"Iya, Kak."
Setelah selesai makan, Kanaya minum dan mengusap bibirnya dengan tisu.
"Kak, lain kali jangan datang malam malam ya, takut jadi fitnah."
BACA TERUS KISAH GIBRAN
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
JANGAN LUPA MASUKKAN KOLEKSI YA
SALAM
GIBRANKU.