Kanaya dan Gibran pergi menggunakan mobil milik Gibran untuk mencari keberadaan Ratu. Meskipun kedua Insan itu sama-sama tidak tahu di mana sang sahabat berada. Namun, mereka harap ada petunjuk lain yang membawa mereka ke sang pelaku.
"Kenapa kamu tidak telvon dia?" Usul Gibran.
"Iya ya, aku akan coba hubungi dia sekarang," ujar perempuan cantik itu.
Kanaya mulai mencari nomor Ratu dengan teliti agar dirinya tidak salah menelvon seseorang lagi seperti yang di lakukanya beberapa menit lalu. Apalagi kalau ia salah menelepon Arka segalanya pasti akan semakin rumit. Setelah berhasil menemukan nomor Ratu di kontak ponselnya, Kanaya segera memencet tombol panggilan untuk memastikan keadaan sang sahabat.
"Kok mati ya."
"Nomornya mati?" Sahut Gibran.
"Aku jadi takut terjadi sesuatu sama dia. Kenapa tadi aku tidak langsung menemuinya di fotocopy. Kenapa aku malah ketemu dengan Arka," sesal perempuan itu sungguh sungguh.
"Arka?" Nama laki-laki lain selalu terdengar tajam di telinga Gibran jika yang menyebut adalah bibir Kanaya.
Kanaya segera menutup mulutnya dengan tangan kanannya, ia merutuki ucapanya dalam hati telah sembarangan menyebut nama seseorang di depan Gibran. Kanaya hanya tidak ingin orang lain ikut terjerumus dengan masalahnya.
"Iya. Ayo kita fokus ke jalan." Kanaya berusaha mengalihkan pembicaraan mereka agar tidak semakin merambat ke mana-mana.
"Siapa Arka?" Gibran tentu tidak akan tenang dan tidak akan bisa tidur jika sosok yang baru saja Kanaya sebut belum terungkap.
"Kamu itu kepo banget ya." Kanaya menoleh dengan tatapan meledek.
"Siapa?" Tatapan Gibran mendadak serius tidak seperti sebelumnya.
Keduanya hanya saling menatap tajam, Kanaya bahkan membuang muka dari Gibran untuk menunjukkan rasa kesal dari laki-laki menjengkelkan tersebut.
****
Mulut Ratu masih terbungkam kain dengan rapat. Berusaha keras ia membuat kain itu lepas dari mulutnya agar bisa berteriak minta tolong. Kedua matanya melihat dua cowok bertubuh kekar, berjaket hitam, dan tengah memakai topeng. Pikiranya masih belum bisa menebak siapa sosok dari kejahatan penculikkan itu.
"Aku tidak tega. Ku lepas ya," ujar salah satu laki laki itu dengan berbisik.
"Penculik itu harus tega." Teman satunya semakin memberi semangat.
Pikiran salah satu penculik itu mulai ikut terpengaruh.
"Tapi setidaknya kita lepas mulutnya, tanganya tidak usah," bisiknya lagi.
Tampaknya temanya masih berfikir dengan kalimat temanya. Sepertinya fikiranya mulai goyah.
"Kamu benar. Lagi pula bagaimana kita tanya dia kalau kita bungkam mulutnya." Keduanya tertawa kecil setelahnya.
"Baik! Kita akan lepas mulut kamu, jangan sampai berbuat onar," ujar penculik itu tidak terdengar mengerikan. Ratu yang mendengarnya pasti masih berfikir berkali kali untuk meyakinkan diri kalau mereka penculik sungguhan.
"Aahhh!!" Teriak Ratu saat merasa legah kain di bibirnya terlepas. "Toloooong!!! Tolooong!!!" Teriak Ratu tak tahan lagi.
"Ssttss ...." salah satu penculik itu mengangkat telunjuknya di bibir balik kain untuk meminta Ratu agar diam.
"Kamu diam, atau kita akan pacarin kamu." Laki laki itu segera menutup mulutnya rapat rapat.
"Kok pacar?" Protes teman penculik itu.
"Sorry, maksud aku apa apakan kamu," ralatnya.
"Mau kalian apa?" Tatapan Ratu ketakutan saat melihat badan kedua penculik yang ternyata bertubuh kekar. Namun, dari bentuk badan itu membuat Ratu teringat seseorang.
"Kita cuma mau tanya, kamu tidak perlu takut."
Kedua alis Ratu terangkat, ia merasa aneh dengan kedua penculik kalem tersebut. Bahkan bisa di katakan ucapan mereka sama sekali tidak mengerikan.
"Iya, Mbak. Kami cuma mau tanya soal Kanaya," jujur sang penculik.
Ratu cukup terkejut dengan niat mereka untuk mencari tau tentang Kanaya.
~"Memang apa yang ingin dia tau tentang Kanaya? Lagi pula Kanaya bukan orang kaya, apa yang dia inginkan darinya," ~batin Ratu dalam hati.
"Kamu Brandon ya?" Tuduh Ratu pada kedua penculik itu.
Kedua penculik masih diam tak mengaku, tampaknya ia masih enggan menjawab hal serahasia itu bagi mangsanya.
"I --iya." Akui salah satu penculik.
Namun, teman penculik itu seperti tengah menyenggol lengan temannya. Sepertinya ia tidak setuju dengan pengakuan sang kawan kepada seseorang yang di culiknya.
"Hah?" Ratu melotot tak percaya, ia tidak habis pikir yang menculiknya adalah sepupu sahabatnya. Apa yang harus di lakukanya agar bisa melepaskan diri. Rasa bingung masih berkerumun nyata di pikiranya. Bahkan, rasa tidak percaya itu seakan membuat pikiranya tidak bisa berfikir dengan jernih.
"Siapa nama pacarmu?" Tanya pelaku itu dengan asal.
"Heh, bukan itu, Bro," protes kawannya.
"Sorry ... sorry. Dimana rumah suami Kanaya?" Tanyanya mulai benar.
"Suami? Dia kan belum menikah." Karena rasa takut masih terasa pada diri Ratu, seolah tidak bisa membuatnya berhati hati saat bicara. Pikiranya terasa sudah buntu untuk berfikir dahulu.
Kedua penculik itu benar-benar terkejut mendengar kejujuran Ratu. Bahkan, keduanya sama sama terdiam cukup lama setelah mendengar jawaban di luar dari angan agannya.
"Bukanya yang kami dengar dia sudah menikah," ngeyel sang penculik .
"Kalian pasti salah info. Sudah, lepaskan aku, Barandon!!" Ratu menarik narik tali di tangannya agar terlepas. Namun, ternyata usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil, tali itu masih terikat kuat di kedua tanganya.
"Cukup belum?" Bisik salah satu penculik itu pada kawanya.
"Cukup dulu aja, aku tidak tega."
"Baik. Apa yang tadi kamu ucapkan benar? Kalau kamu jujur aku pasti akan melepaskanmu."
"Iya, aku jujur. Kamu keponakkanya, bukanya kamu tau kalau dia belum menikah. Sudah lepaskan aku sekarang!"
"Ya, ya, ya ... ok aku lepas."
Kedua pria kekar itu segera memotong tali yang sejak tadi menjerat tangan Ratu. Ratu yang merasakan tanganya bebas segera berlari keluar gudang dengan cepat. Tempat itu ternyata tidak jauh dari tempat fotocopy Kanaya. Ratu segera keluar untuk mencari bantuan.
****
"Aduh ... kita cari Ratu kemana? Aku jadi bingung ini," gerutu Kanaya kebingungan.
"Apa kita putar balik di sekitar fotocopy, siapa tau ada petunjuk lagi," tawar Gibran.
"Terserahlah!"
Gibran memutar arah kemudinya untuk kembali ke tempat fotocopy Kanaya, berharap ada petunjuk lain disana. Berdebat dengan Kanaya sejak tadi membuat pikiran Gibran gerah, ia jadi sulit memikirkan cara agar bisa menemukan keberadaan Ratu.
"Ada tanda tidak?" Tanya Gibran agar Kanaya mengamati sekeliling dengan lebih teliti.
"Kita disini dulu sebentar, aku mau cari minum dulu," ujar Kanaya merasa haus.
Kanaya membuka pintu mobil Gibran dengan pelan, kakinya ia langkahkan pelan keluar dari mobil sport tersebut untuk turun ke jalan aspal. Perempuan itu menutup kembali pintu itu dan ia berjalan menuju kedai minuman yang sejak tadi jadi incaranya saat merasa haus. Kanaya menyodorkan uang 10.000an untuk mengambil satu botol air mineral. Niatnya ingin membeli satu botol, tetapi tidak mungkin juga ia tega membiarkan Gibran kehausan. Kanaya mengambil satu botol lagi untuk di berikanya pada Gibran.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA ....
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
SALAM
GIBRANKU.