"Emang dari kapan Ka Arka mulai kirim pesan ke lo?"
"Sebenernya udah beberapa kali sih. Yang pertama itu dua hari setelah kejadian tabrakan Lyta sama dia," terang Lyta.
"Ihh kok lo nggak pernah cerita sama gue, Ta. Eh bentar-bentar, tadi lo bilang dua hari setelah lo tabrakan sama dia. Maksudnya tabrakan? Lo ketabrak motornya?"
"Bukan. Jadi pas awal pertama masuk SMA ini tuh di tikungan sana, Lyta nggak sengaja nabrak seseorang yang ternyata bernama Ka Arka itu. Lyta udah minta maaf, tapi dia cuma diem dengan muka datar bin flat terus langsung pergi gitu aja," seru Lyta menggebu-gebu.
"Okay, gue paham. Sekarang yang nggak gue paham adalah kenapa seorang Arkana Daniswara yang terkenal antiperempuan, ah maksud gue jarang banget berhubungan sama makhluk hidup yang berjenis kelamin perempuan, kok bisa-bisanya gitu kirim pesan ke lo. Wahh, ini patut dijadikan sejarah perkembangan manusia yang sejenis Ka Arka sih," ucap Arisha dengan panjangnya. Matanya menyorot heran sekaligus kagum pada Lyta.
"Jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan apa?"
"Ka Arka suka sama lo lagi," seru Arisha.
"Hahh?! Nggak mungkin lah, Sha. Nggak tau ah, pusing Lyta,"
"Hmm.. Ya udah deh, mending sekarang lo habisin aja siomaynya. Nanti keburu bel masuk, habis ini pelajaran kimia loh," peringat Arisha.
"Huhh, ya ya. Chemie is my biggest enemy," keluh Lyta.
****
Matahari sudah berada sedikit jauh dari atas kepala. Lyta yang baru saja pulang langsung masuk ke dalam rumah dan menjatuhkan diri di sofa.
"Assalamualaikum, Bun" ucap Lyta sambal mencium tangan sang Bunda.
"Waalaikumsalam, udah pulang anak Bunda. Gimana sekolahnya, hmm?" tanya Bunda perhatian.
"Alhamdulillah lancar. Bang Ian mana, Bun? Tumben Lyta pulang nggak ada suaranya,"
Memang biasanya setiap Lyta pulang sekolah, Abangnya itu sudah duduk manis di depan televisi sambil menonton serial kesukaannya, Upin dan Ipin. Bocah banget emang kakak laki-lakinya itu.
"Ngapain kamu nyariin Abang, dek? Kangen?" seru Bang Ian yang tiba-tiba muncul dari dapur sambil membawa satu piring yang berisikan kue coklat.
"Eh, apaan nih main nyomot aja. Ambil sendiri sana," ucap si Abang sambil menjauhkan piring dari jangkauan adiknya yang suka makan.
"Ish Bang Ian mah gitu, pelit banget jadi orang. Jangan pelit-pelit nanti kuburannya sempit,"
"Huhh, ya udah nih makan. Daripada nanti nangis bombay,"
"Bundaa, Bang Ian tuhh," rengek Lyta manja.
"Aduh kalian ini kenapa sih kalo ketemu pasti berantem mulu," ucap Bunda menengahi.
"Kalo nggak berantem sama anak Bunda yang paling manja ini, hidup Ian serasa hampa, Bun," kata Bang Ian mendramatisir.
"Hmm, kamu ini ada-ada saja," pungkas Bunda.
Seperti itulah keseharian Lyta di rumahnya. Setiap hari diwarnai dengan pertengkaran-pertengkaran kecil dengan Abangnya yang justru akan sangat dirindukan jika suatu saat nanti ia telah memiliki keluarga sendiri. Lyta sangat bersyukur terlahir dalam keluarga yang sangat harmonis dan saling menyayangi satu sama lain. Walaupun ia seringkali bertengkar karena hal-hal sepele dengan kakaknya, tapi ia yakin bahwa kakaknya itu sangat menyayanginya.
Earlyta POV
Adzan maghrib telah berkumandang. Setelah mandi dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, aku berjalan menuju meja belajar. Ku tarik sebuah novel karangan penulis terkenal dan membacanya. Membaca sudah menjadi hobiku sejak kecil. Sempat terlintas dibenakku untuk menjadi seorang penulis hebat dan mempunyai buku-buku ku sendiri. Pasti akan sangat menyenangkan melihat antusiasme orang-orang saat membacanya. Kegiatan membacaku terhenti ketika ada satu pesan masuk ke ponsel ku.
"Dia lagi? Kenapa dia selalu mengirimi Lyta pesan kosong seperti ini?"batinku berbicara.
"Apa maksudnya ya?" gumamku.
"Ah besok saja Lyta mikirnya sambil cerita sama Arisha,"
— 次の章はもうすぐ掲載する — レビューを書く