Almira Shofia Prameswary
Sore hari ini Andrew kembali menjemputku padahal aku telah menolaknya secara halus, tapi dia tetap memaksa. Dalam perjalanan pulang, kami tak terlalu banyak bicara atau mungkin aku yang pada hari ini lebih ingin memilih diam. Syafina yang biasanya ceria pun hari ini seperti telah kehilangan motivasinya untuk bahagia, aku mendekapnya namun tetap tak ada reaksi, pandangannya selalu tertuju ke luar jendela entah apa yang di lihatnya, tapi ku rasa hati, fikiran serta pandangannya sedang tak sejalan.
"Sayang, kamu kenapa? Ko dari tadi tante perhatiin kamu diem aja, gak kaya biasanya? Kamu gak enak badan."
Syafina tak menjawab, dia hanya menggeleng pelan. Aku memegang dahinya untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja dan ternyata memang tak ada gejala demam pada dahinya.
"Syafina mungkin pengen sesuatu?"
Andrew mencoba membujuknya, namun jawabannya tetap sama, Syafina hanya menggelengkan kepala saja.
Andrew memberi isyarat padaku dengan tatapan matanya untuk memastikan acara setelah ini, namun sepertinya saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk kami makan bersama.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan kurang menyenangkan, kami pun tiba di depan rumah. Andrew langsung turun dari mobilnya lalu berlari untuk membukakanku pintu.
"Makasih."
Namun tanpa sadar, di seberang sana ada yang telah memperhatikan kami.
"Ayah."
Syafina menyadari kalau ayahnya telah kembali, dia meronta dan memaksa segera turun dari gendonganku lalu berlari menghampirinya. Angga membentangkan tangannya lalu menngkap Syafina yang di akhiri pelukan hangat penuh rasa rindu dan kasih sayang antara ayah dan putri kecilnya.
Ingin rasanya aku melakukan apa yang saat ini dilakukan oleh Syafina, melepas rasa rindu yang selama beberapa hari ini selalu mengganggu, tapi hati ini masih terlalu sakit dengan apa yang terjadi sebelumnya, hingga memaksaku untuk tak beranjak menghampirinya.
Jantungku mulai berdebar tak karuan manakala dia datang menghampiri masih dengan senyum yang sama yang saat ini sulit ku mengerti. Entah dia mengerti dan merasa bersalah atas rasa sakit yang ku rasa atau tidak.
Angga memperkenalkan dirinya pada Andrew, bahkan mereka sempat sedikit berbasa-basi untuk menanyakan yang sebenarnya mungkin saja tak begitu penting. Beruntung Angga tak terlalu lama di hadapanku, karena seandainya dia lebih lama lagi berada dihadapanku pastilah kini aku telah lepas kendali tak sanggup lagi menahan perasaan marah, sedih, kecewa juga tangisku walaupun sebenarnya aku bahagia bisa kembali melihatnya, tapi wajah ini sama sekali tak ingin menunjukkan rasa itu, barulah ketika Syafina melambaikan tangannya aku bisa tersenyum dengan terpaksa.
"Mira?"
Andrew menyadarkan ku dari lamunan yang entah sejak kapan ku lakukan.
"Eh, iya, kenapa En? Oh iya, mau mampir dulu?"
Andrew tak langsung menjawab pertanyaanku, sepertinya dia kembali tengah memikirkan sesuatu.
"Mmhhh, gak deh Mir, lain kali aja ya."
Andrew langsung pamit, aku tak berbasa-basi mencegah atau memaksanya untuk sejenak bertamu di rumahku karena sebenarnya aku sedang ingin sendiri, aku butuh ketenangan yang mungkin saja bisa mengobati luka hati yang sedang ku alami.
Angga Abimana.
"Kamu udah makan belum?"
Syafina menggeleng, aku merasa hari ini dia tak seperti biasanya, senyumnya seakan seperti terpaksa, padahal ketika menggendongnya tadi dia terlihat begitu ceria.
"Makan sekarang yuk? Ayah bawain sesuatu."
Aku membawakannya sesuatu, ini adalah masakan yang dulu sering dimasak oleh Viona, Syafina pun begitu menyukai masakan ini, karena ketika dia masih tinggal bersama neneknya ketika dia sedang tak berselera untuk makan, neneknya akan selalu membuatkanya masakan ini dan itu selalu berhasil membuat Syafina menjadi ceria kembali.
Tapi kali ini, sepertinya takkan sama, setelah beberapa kali suapan, Syafina langsung menolak untuk makan, padahal porsi makannya tak seperti ini, aku merasa seperti ada sesuatu yang membuatnya berubah dari yang sebelumnya.
"Kamu kenapa sayang? Kamu sakit?
Syafina menggeleng. Aku memegang keningnya, tapi tak ada gejala demam sedikitpun.
"Syafina, ayah mau nanya sama kamu, tapi kamu harus jawab jujur."
Kali ini Syafina tak menjawab pertanyaanku, namun aku tetap bertanya padanya karena mungkin saja ada sesuatu yang mengganggu fikiran anak sekecil itu.
"Syafina, apa yang bikin kamu jadi kaya gini? Setau ayah, anak ayah itu anak yang baik."
Syafina masih terdiam, wajahnya tertunduk menandakan dia tak berani untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan.
"Syafina, kalau ayah nanya, kamu harus jawab!"
"Apa ayah jahat sama tante?"
Deg, satu pertanyaan yang terlontar dari mulutnya membuatku bingung dan takut untuk menjawab atau menjelaskannya.
"Maksud kamu?"
Aku mencoba memastikan apa yang dia tau, atau apa yang terjadi sehingga dia bertanya seperti itu.
"Waktu tante habis nelefon ayah, tante nangis, terus kemarin Syafina denger tante nangis lagi pas mau bobo, tapi Syafina diem pura-pura bobo terus meluk tante."
Aku menghampiri Syafina lalu memeluknya, seraya mencari jawaban apa yang harus ku beri agar dia bisa mengerti.
"Sayang, ayah gak pernah jahatin tante, itu cuma salah faham aja, ayah sayang sama tante sama kaya ayah sayang sama kamu, jadi ayah mana mungkin tega buat nyakitin kalian."
Setelah mendengar jawabanku tadi, Syafina mulai kembali tersenyum namun kini giliranku yang harus kembali terfikirkan masalah itu, padahal sore tadi aku telah meneguhkan hati untuk menjauhinya karena ku rasa laki-laki tadi adalah orang yang tepat untuknya. Dia berbeda denganku, aku yakin dia akan mampu mengimbanginya karena mereka satu profesi dan dari luar pun begitu terlihat serasi.
Ponsel berdering, ku lihat pada layarnya dari orang yang sudah ku kenal, setelah mengobrol sesaat panggilan pun berakhir.
Aku tersenyum, lucu mendengar pekerjaan yang ku terima saat ini yang ku rasa tak ada hubungannya dengan profesi yang ku jalani.
"Pesta?" Gumamku dalam hati.
Tapi tak apa, selama menghasilkan uang yang halal, apapun akan ku lakukan selama itu masih dalam batas pekerjaan yang wajar.
"Siapa yah?"
"Kerjaan sayang, dua minggu lagi kayaknya ayah harus ninggalin kamu dulu, gak apa-apa kan?"
Syafina mulai murung saat tau bahwa aku akan meninggalkannya lagi karena pekerjaan.
"Nanti ayah perginya lama gak?"
"Cuma sebentar sayang, cuma semalem aja, habis itu langsung pulang."
Pada akhirnya Syafina berusaha bisa memahami apa yang aku lakukan. Aku sering memberinya nasehat tentang hidup, memang anak sekecil itu takkan langsung memahami apa yang ku katakan, tapi dengan seringnya aku bicara padanya mungkin akan lebih bisa memahami satu sama lain.
"Nanti kamu nginep di omah dulu ya?"
Syafina menatapku, entah apakah ada yang salah dengan apa yang ku ucapkan ataukah memang ada yang sedang dia inginkan.
"Kenapa gak nginep sama tente Mira aja yah?"
Rupanya Syafina lebih ingin untuk menginap di rumah Mira, tapi itu semua tak mungkin aku lakukan mengingat kondisi saat ini sedang tak begitu nyaman.
"Sayang, dengerin ayah, kamu jangan keseringan ngerepotin tante lagi ya? Kasian tantenya, nanti kecapean."
"Emang cape kenapa yah?"
"Kan tante harus kerja sayang, yang namanya kerja kan harus pake tenaga, nah kalau tante kerja terus harus ngejagain kamu juga nanti kan tenaganya bisa abis, terus nanti tantenya sakit, kamu gak mau tante sakit kan?"
Syafina mengangguk bersemangat, mungkin pertanyaan teraakhir dariku tadi bisa sedikit difahaminya.
"Maaf sayang, mulai sekaranga kamu harus bisa jauh dari tante Mira." Gumamku dalam hati.
Hari telah semakin larut, mataku masih belum siap untuk terpejam, kejadian sore tadi rupanya bisa betah berlama-lama dalam bayanganku, tapi aku akan bahagia kalau dia memang bahagia dengannya, aku yakin mereka cocok.
Ting.
Dalam sepinya malam, ternyata masih saja ada yang menghubungiku.
"Maaf."
Pesan yang hanya berisi satu kata itu dan juga satu buah emoji sedih pertanda menyesal atas semua yang telah terjadi.
"Iya gak apa-apa."
Aku membalas pesan itu dan juga menyertakan satu emoji tersenyum sebagai pertanda aku benar-benar telah memaafkannya, tapi kemudian kumatikan ponsel itu berharap untuk tak berkomunikasi dulu.
Almira Shofia Prameswary
Beberapa malam ini aku merasa sulit untuk memejamkan mata dan juga begitu mudahnya berurai air mata, kejadian itu benar-benar menguras emosi dan tenaga, namun syukurlah melihatnya baik-baik saja aku sudah bahagia dan mungkin aku pun akan berusaha merelakannya bersama Ana.
Rasa haus memaksaku untuk bangkit dan membasahinya hingga malam ini perutku terasa kenyang hanya dengan terisi air putih saja. Setelah selesai aku kembali menuju kamar dan akan mencoba untuk tidur, tapi ternyata sebelum empuknya kasur itu membelai tubuhku, terangnya lampu di seberang sana memaksaku untuk sejenak menatap seseorang yang sedang duduk ditemani secangkir teh hangat yang dari jauh bisa sedikit terlihat masih mengepul menandakan dia belum lama berada di sana.
Tanpa sadar aku tersenyum namun tetap berurai air mata, belum benar-benar rela kalau memang kenyataanya dia harus menambatkan hati pada Ana.
Refleks aku menyibakkan gorden untuk menutup jendela ketika dia menatap tepat kearah jendela kamarku yang memang berada di depan, berharap dia tak menyadari keberadaanku yang beberapa waktu memperhatikannya.
Ku tarik selimut menutupi seluruh tubuh, kembali mencoba untuk memejamkan mata berharap mimpi dapat mempersatukanku dengannya, karena aku merasa sulitnya dunia nyata mempersatukan kami berdua.