Angga Abimana
Pagi ini aku berangkat tak sendiri, Ana memaksa untuk ikut menghadiri acara yang akan dilaksanakan sekitar pukul sepuluh pada sebuah pusat perbelanjaan yang di mana di sana terdapat sebuah toko buku besar yang terkenal dengan lengkapnya koleksi buku yang mereka jual, tak hanya itu saja, toko itu pun menjual perlengkapan belajar serta beberapa jenis alat musik harmoni dan melodi.
Dalam perjalanan, karena yang memegang kemudi adalah Ana, aku menyempatkan diri membalas pesan Mira yang dari jam terkirimnya, pesan itu masuk sudah sejak tadi malam sebelum ponselku mati kehabisan daya baterainya, tak disangka ternyata Mira membalasnya dengan cepat hingga kami bisa mengobrol sesaat, dan pesan terakhir darinya ternyata menanyakan keberadaan Syafina, awalnya aku sempat ragu untuk memberikan alamat di mana Syafina tinggal sementara saat ini, namun aku tetap memberikannya alamat itu namun tak berharap Mira berkunjung ke sana.
"Senyum-senyum sendiri aja, lagi chating sama siapa nih?"
Ana ternyata memperhatikan ku yang sedang sibuk dan asik sendiri dengan ponsel dalam genggaman.
"Eh, ini Mira nanyain Syafina."
"Owh."
Mendengar jawabanku, Ana tak lagi berkomentar apa-apa namun wajahnya berubah datar semenjak tau aku berbalas pesan dengan Mira. Beruntung kami segera tiba pada tempat yang kami tuju, dan tak lama setelah itu acara pun dimulai.
Setelah acara tersebut selesai, Ana masih kehilangan moodnya karena kejadian tadi, aku jadi merasa tak enak.
"Maaf lama."
Ana tersenyum dengan senyum yang sangat jelas sekali masih begitu dipaksakan.
"Sebagai permintaan maafku, aku traktir makan sama nonton deh, mau gak?"
Mata Ana sekilas melirik padaku, senyumnya mulai terpancing.
"Bener nih?"
Aku mengangguk meyakinkannya bahwa tawaranku bukan sekedar rayuan gombal.
"Ya udah, yuk jalan sekarang, kamu yang nyetir ya!"
Untuk saat ini aku terpaksa mengikuti semua keinginannya, setidaknya hanya sampai dia tak marah lagi padaku.
Tempat yang kami tuju tak begitu jauh, dalam waktu setengah jam saja kami sudah berada di dalam gedung bioskop untuk melihat film yang sedang booming saat ini. Aku dan Ana memilih tiket tempat duduk pada barisan yang paling belakang karena menurutnya pada tempat ini film yang diputar pada layar bioskop menjadi tak terlalu besar untuk dipandang.
Lampu sudah mulai dimatikan, aku mulai melepas jaket padahal pendingun ruangan di dalam begitu terasa dingin, tapi aku tak tega melihat Ana menggunakan pakaian tipis, jadi aku memberikan jaket ku padanya agar tak kedinginan.
Lima belas menit telah berlalu, aku yang tak sering nonton bioskop mulai merasa kedinginan, kedua telapak tanganku mulai ku usap-usap agar terasa sedikit hangat, namun ketika beberapa kali aku melakukan itu, Ana menggenggam tanganku, sepertinya dia menyadari aku yang mulai merasa kedinginan.l, bahkan setelah itu dia mulai merapatkan tubuhnya hingga kepalanya bersandar dibahuku. Cara ini memang membuatku lebih hangat, tapi aku juga merasa tak nyaman.
Setelah lama menahan rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhku, akhirnya film yang kami tonton pun selesai, lega rasanya karena itu berarti penderitaanku juga ikut berakhir. Aku dan Ana segera pergi dari tempat itu untuk mengisi perut yang sudah mulai kelaparan, kali ini Ana kembali yang mengemudikan mobilnya, dia tak tega melihatku kedinginan seperti tadi harus mengemudi.
Kami tiba pada tempat makan yang tak jauh dari tempat sebelumnya. Kami masuk dan langsung menemukan tempat yang masih kosong, kebetulan hari ini sepertinya tak begitu terlalu banyak pengunjung, melihat tamu baru yang datang, salah seorang pelayan dari tempat makan itu menghampiri kami.
"Silahkan mba, mas, mau pesan apa?"
Ana menatapku seraya memberi kode agar memesan lebih dulu, namun saat ini aku sedang tak ingin memilih-milih sesuatu, jadi apa yang Ana pesan aku hanya ikut saja.
"Kamu aja yang pesen, aku ikut aja."
Setelah selesai bersantap yang tak begitu menggugah selera, Aku dan Ana kembali pulang menuju kostan, tubuhku yang mulai merasa tak enak harus memaksaku untuk cepat beristirahat. Sebelum sampai d rumah, Ana mampir terlebih dulu ke sebuah mini market untuk yang tak jauh dari kostan untuk membeli beberapa barang yang dia perlukan, setelah selesai Ana segera memacu mobilnya menuju kostan.
"Kamu minum obat dulu ya."
Ternyata Ana membelikan ku obat dan beberapa makanan kecil untuk menemani malam kami yang hanya akan dilalui di kostan saja.
Malam telah kembali menjelang, demamku sudah mulai berangsur turun, seandainya Ana tak ada di sini, mungkin sakitku akan bertambah parah.
"Makasih, kalau gak ada kamu, kayanya aku bisa-bisa sakit lebih parah."
"Iya, gak apa-apa."
Ana tersenyum, baru kali ini aku merasakan perhatian yang Ana berikan.
"Oh ya, selama kita saling kenal, kamu belum sekali pun cerita tentang masa lalu kamu."
Ana masih menatapku, namun kali ini senyuman itu telah hilang, berganti raut wajah getir harus kembali membayangkan kejadian buruk yang pernah dia alami.
"Dulu, aku ngelakuin sebuah kesalahan tentang apa yang harusnya aku cari. Mungkin waktu itu aku mikirnya hidup pasti lebih mudah kalau kita punya segalanya, tapi pada kenyataanya, aku lebih butuh sesuatu yang lain."
Ana mulai menceritakan masa lalunya, yang dari cara bicara dan ekspresinya sepertinya yang dia ceritakan adalah sebuah pengalaman buruk. Aku belum menanggapi ceritanya dan lebih memilih diam menjadi pendengar yang baik.
Ana beranjak dari tempat duduk dan berdiri tepat di depanku, lalu kemudian dia melakukan sesuatu yang membuatku merasa tak percaya dengan apa yang ku lihat. Ana menanggalkan pakaian yang dikenakannya hingga hanya menyisakan pakaian dalamnya saja, namun tujuannya bukan ingin memperlihatkan kesempurnaan tubuhnya, melainkan menunjukkan bukti kelam dari masa lalu yang pernah ia alami.
Luka memanjang itu tertutupi oleh tatto yang sengaja dia buat, agar tak menjadi bekas yang tak enak di lihat untuk suaminya kelak, biarlah tatto itu menutupi luka di tubuh dan hatinya.
"Aku pernah di siksa sama mantan suamiku sendiri, sampai jadi kayak gini."
Ana mulai menitikan air mata, tak sanggup membuka luka yang sampai kapanpun sepertinya takkan sembuh kecuali dia telah menemukan sandaran baru untuk menopngnya agar tetap mampu berdiri.
Aku menghampiri Ana dan langsung memeluknya, mungkin sebuah pelukan bisa mengurangi rasa sesak dalam dadanya, setelah dirasa tenang, aku mengambil pakaian miliknya yang tergeletak di lantai dan memberikan padanya untuk dikenakan kembali.
"Maaf."
Aku tersenyum padanya seraya mengusap sisa air mata yang masih membekas di pipinya.
"Terimakasih."
Ana berusaha mengendalikan emosi karena mengingat kejadian buruk yang pernah ia alami.
"Lebih baik sekaranga kamu mandi dulu, mungkin habis mandi bisa lebih fresh."
Ana menyetujui usulku, dia langsung menuju ke kamar mandi yang memang berada di dalam kamar kost, sedang aku menunggunya dengan merebahkan diri seraya melihat foto-foto Syafina, dan juga Mira. Aku tersenyum, ada rasa rindu yang tiba-tiba saja terbersit. Namun sesaat kemudian aku terperanjat kaget namun senang melihat pada layar ponsel tertera panggilan video dari Mira. Dengan jantung berdetak kencang aku menjawab panggilan video darinya.
"Halo." Ucapnya di seberang sana, tak lupa dengan senyum manis di wajahnya yang membuatku bertambah gugup, aneh, aku yang sebelumnya biasa saja ketika melihatnya semakin hari menjadi semakin salah tingkah, terutama ketika dia menatapku.
"Hai."
Aku membalas menyapanya, juga dengan tampilan senyum sebaik mungkin.
"Lagi ngapain?"
"Aku lagi..."
Tak sempat aku menyelesaikan jawaban pertanyaan darinya, suara dan wajah di sampingnya itu membuatku kaget kembali.
"Ayah..."
"Loh? Syafina, ko kamu sama tante? Kalian lagi di mana?"
Mereka berdua tertawa, mungkin lucu melihatku terkejut.
"Syafina lagi nginep di rumahku, soalnya tadi waktu aku ketemu dia di sana, pas aku mau pulang dia malah nangis gak mau di tinggalin, terus pengen ikut, aku jadi gak tega ninggalinnya, jadi ya aku ajak aja, gak apa-apa ya?" Jelas Mira.
"Hhhmmm iya gak apa-apa, tapi Syafina jangan bandel ya, jangan ngerepotin tante!" Ucapku pada mereka berdua.
"Iya Yah."
"Syafina gak bandel ko, dia baik malah, gak rewel."
Mira mencium Syafina, dan sepertinya begitu memanjakannya. Sesaat kemudian Syafina menghilang dari layar ponselku, entah dia pergi kemana dan apa yang mau dilakukannya.
"Syafina lagi ngapain sayang?"
"Ngambil boneka tante."
Obrolan mereka terdengar dari panggilan video yang masih berlangsung.
"Siapa Ga? rame bener."
Aku kembali terkejut, kali ini dengan kehadiran Ana yang telah selesai mandi dan berdiri di samping ranjang dengan hanya mengenakan handuk yang melilit menutupi tubuh basahnya.
"Bukan siapa-siapa."
Aku segera mematikan panggilan video yang ternyata masih berlangsung.
"Oh ya, aku keluar dulu ya, kamu mau ganti baju kan?"
Ana mengangguk, dan aku bergegas dari ranjang dan beranjak menuju kursi yang berada di depan kamar kost ku.
Muncul rasa khawatir di benakku tentang kejadian tadi, "apakah Mira melihat aku sedang bersama Ana? Ah semoga saja tak seperti apa yang aku fikirkan."