Rebekka merasakan kedua tangannya mati rasa.
Menggenggam seikat bunga Marigold di tangannya, mengenakan gaun pengantin putihnya yang indah, napas Rebekka tercekat. Ia berdiri di tengah gereja, melihat adik kembarnya, Rachel yang mengenakan gaun pengantin, berdiri di tempat yang seharusnya ia tempati, di hadapan Roland–tunangannya, pria yang harusnya ia nikahi hari ini…
Tidak mungkin.
Ini adalah hari pernikahannya, hari pertama di hidupnya yang baru bersama kekasih yang ia dambakan–
Rebekka melihat panik ke segala arah. Ini… lelucon, kan?
Di atas altar, sepasang pria dan wanita berhadapan, menatap ke arahnya dengan mata penuh ejekan. Mereka berdua adalah dua orang yang begitu ia sayangi dan cintai, yang dalam hidupnya tidak akan tergantikan. Tapi apa yang mereka lakukan? Ini adalah hari istimewa Rebekka dan Roland, bukan Rachel dan Roland!
Rebekka pun sadar, bukannya menatap bingung ke arah pasangan di altar, semua orang justru menatapnya dengan mata penuh olok-olok.
Semua orang begitu antusias melihat ekspresi kebingungan horornya.
Mengapa?
Semua orang di ruangan ini adalah teman-temannya, kerabatnya, dan begitu banyak kenalan-kenalannya–tapi semuanya tidak terlihat terkejut. Mereka justru terlihat sedang menunggu. Menunggu Rebekka menyadari…
"Princess Rebekka, apa Anda tersesat?" tanya seorang pria yang berdiri di sebelahnya di depan bangku gereja.
Rebekka mengerjap heran, dengan tatapan masih begitu bingung.
Pria itu dikenalinya sebagai salah satu teman Roland, namun pria itu kemudian tertawa. "Pffft, teman-teman, lihat wajahnya. Dia pasti bingung sekali," bisik pria itu pada teman-teman di sekitarnya.
"Princess Rebekka, seharusnya kau tidak mengenakan gaun putih di pernikahan adikmu," ejek yang lain.
Rebekka dengan cepat mencari keberadaan orang tuanya dengan kedua matanya. Orang tua yang tidak pernah peduli padanya itu pastinya bisa memberinya penjelasan, kan? Meskipun mereka tidak pernah menyayanginya–
Tapi apa yang Rebekka lihat adalah senyum merendahkan dari ayah dan ibunya.
Mengapa?
Apa yang sebenarnya…
Pria di sebelah Rebekka menyodorinya sebuah undangan. Rebekka mengenal undangan ini dengan baik, karena ialah yang mendesainnya untuk hari ini, untuk penikahannya dengan Roland. Saat Rebekka membukanya, ia terkejut dan dadanya menjadi sesak saat ia melihat bukan namanya tercantum di bawah nama Roland, tapi nama adik kembarnya, Rachel.
"A-apa…" ia tidak mengerti.
Bagaimana bisa?
Rebekka melihat kedepan, dimana adiknya sedang menatapnya tanpa ekspresi bersama Roland yang tertawa mengejek padanya. "Kau masih tidak mengerti?" tanya Roland heran. "Jadi kau memang lambat ya, Becky."
Mendengar Roland mengejeknya untuk pertama kalinya membuat hati Rebekka hancur berkeping-keping. Lambat? Oh, ya, memang semua orang menjulukinya sebagai putri pemalas. Ia adalah putri yang tidak punya keahlian apapun, berbeda drastis dengan saudari kembarnya, Rachel yang tahu dan sanggup melakukan segalanya.
Ia bukan Rachel yang rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, ia adalah Rebekka, putri tanpa ambisi yang sudah cukup bersyukur dengan segala yang ia punya–
Tapi mengapa Roland, orang yang harusnya paling tahu perasaan Rebekka tentang ejekan-ejekan itu, justru mengejeknya seperti ini?
"Becky, dengar," Roland tertawa kecil. "Hari ini bukanlah hari pernikahanmu. Hari ini tidak akan pernah menjadi hari pernikahanmu," ucap pria itu.
Rebekka mengerutkan alisnya tidak mengerti. Wajahnya memperlihatkan ekspresi rumit, bingung, sedih, kecewa, dan terkhianati.
"Aku tidak pernah ingin menikahimu, dan aku bahkan tidak pernah mencintaimu. Rebekka, sejak awal kau hanya putri pengganti," ucap Roland.
Putri Pengganti?
Rebekka benar-benar tidak mengerti.
"Sejak awal, aku seharusnya ditunangkan pada Rachel. Tapi bukankah kau ingat bahwa Rachel pernah menolak untuk ditunangkan padaku sebelumnya?" tanya Roland tenang. Tatapan merendahkannya masih menusuk Rebekka dengan tajam.
"Itu dulu," tambah Rachel. "Karena segala kesalahpahaman telah selesai sekarang, tentu saja kami sadar bahwa kamilah yang seharusnya menikah, bukan kau," lanjutnya.
"I… ini lelucon, kan? Kumohon katakan padaku ini hanya salah satu dari lelucon-leluconmu!" serunya. "Tapi bukankah kau sendiri yang membantuku mempersiapkan pernikahanku, Rachel?" tanya Rebekka tidak percaya.
Rebekka sangat mencintai adik perempuannya ini. Ialah satu-satunya keluarganya yang menyayanginya, tidak seperti ayah dan ibu mereka.
"Tidak, Becky. Kaulah yang membantuku mempersiapkan pernikahanku ini," jelas Rachel tenang.
Kedua kaki Rebecca terasa lemas. Ia kembali melihat ke segala arah, pada senyum-senyum mengejek dan merendahkan yang terarah padanya.
Ah.
Semua orang sudah tahu rupanya.
Mereka sudah tahu bahwa ini bukan pesta pernikahannya, tapi pesta pernikahan Rachel. Dan diantara semua yang ia kenal, tak ada yang memberitahunya tentang pengkhianatan dan rencana mereka.
"Ayahanda, Ibunda, bagaimana bisa kalian mengijinkan semua ini terjadi?! Ini adalah pernikahan kerajaan! Aku adalah seorang Putri Raja, dan bagaimana bisa kalian–"
"Pffft–"
Hening.
"HAHAHAHAHA!"
"BWAHAHAHA!"
"Putri Raja, katanya?! HAHAHAHAH!"
Rebekka yang ditertawakan oleh seluruh hadirin di gereja itu mulai lemas, ketakutan dan gemetaran. Mengapa? Mengapa mereka tertawa? Mengapa semua orang tertawa, bahkan adiknya dan orang tuanya?!
"Rebekka, apa kau lupa bahwa kau diadopsi menjadi saudari Rachel saat kau masih berusia dua tahun?" tanya Raja, setelah akhirnya berhasil menghentikan tawanya.
Diadopsi?
Saat ia berusia dua tahun?
Rebekka sama sekali tidak tahu, dan tidak ingat. Bagaimana bisa tak ada yang mengatakan apapun padanya soal fakta ini?
"Rachel sakit parah saat ia masih berusia dua tahun, dan seorang peramal mengatakan bahwa kami harus mengadopsi seorang anak gadis lain yang memiliki kemiripan dengan putri kami dan membesarkannya sebagai saudari kembarnya sehingga kesialan yang menimpanya akan ganti menimpamu."
Penjelasan Raja pun semakin membuat Rebekka merasa lemas. Ia mulai kehilangan kesadarannya pada realita dan menerima keyataan ini membuat kepalanya pusing. Ia bukan saudari kandung Rachel? Ia bukan saudari kembarnya… dan ia hanyalah seorang anak entah dari mana yang kebetulan punya kemiripan dengan Rachel?
Rebekka merasa tubuhnya tidak kuat lagi menerima ini semua. Tawa dari semua undangan pesta pernikahan dan tatapan mengejek mereka semakin membuat Rebekka merasa ingin pingsan, dan air matanya sudah tak terbendung lagi.
Mengapa? Apa salahnya?
Mengapa semua ini terjadi padanya?
Klik!
Suara pintu terbuka terdengar dari belakang Rebekka.
Semua orang pun menghentikan sejenak tawa mereka dan menoleh ke sumber suara, termasuk Rebekka yang begitu kebingungan dan hampir kehilangan kesadarannya.
Ia melihat seorang pria muda berambut hitam, tinggi, ramping dan berbusana rapi–seperti seorang pengantin pria–berjalan ke arahnya. Rebekka mengenali pria itu, pria paling tampan yang ia kenal, dan pria paling munafik yang begitu ia benci.
Semua orang terkesiap bingung melihat sosok itu.
"Putra Mahkota Heinrich Hyacinth?"
"Dia baru datang? Apakah dia diundang?"
"Mengapa ia mengenakan setelan pengantin pria yang sama dengan Prince Roland?"
"Mengapa…?" tanpa sadar Rebekka bertanya pelan.
Sosok pria berambut hitam yang muncul itu berhenti di hadapan Rebekka dan semua orang, dan tiba-tiba berlutut. Kebingungan semua orang masih belum terjawab saat pria itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Jadi kau benar-benar Becca yang kukenal…" gumamnya.
Rebekka masih menatapnya tidak mengerti saat Heinrich meraih satu tangannya.
"Becca, maukah kau menikahiku?" tanya pria itu.
Rebekka yang masih tidak mengerti apapun memiringkan wajahnya dengan air mata yang akhirnya menetes. Ia bingung.
"Huh?"