Semua orang di dalam gereja terpaku di tempat mendengar kata-kata Heinrich yang begitu tidak terduga.
"Menikah? Apa maksudnya ini?" Raja Marigold, ayah Rebekka maju mendekat. "Rebekka… Bagaimana His Highness Heinrich…"
"Aku selalu ingin menikahi Becca," Heinrich memotong kata-kata ayah Rebekka.
Semua orang saling berpandangan dan berbisik-bisik. Sementara Rachel di sisi Roland merona merah dengan sangat marah. Mengapa bahkan di hari pernikahannya yang berhasil ia rebut dari Rebekka, spotlightnya tercuri lagi?
"Tapi karena aku tahu Becca telah bertunangan, akupun mengurungkan rencanaku," jelas Heinrich. Heinrich mendongak pada Rebekka, menatapnya lurus-lurus. "Tapi sekarang tunanganmu telah menikahi wanita lain, jadi Becca, ijinkanku menikahimu."
Rebekka masih belum benar-benar memahami apa yang sedang terjadi sekarang. Bagaimana bisa Heinrich, orang terakhir yang ia harapkan datang untuk menyelamatkannya tiba untuknya?
"Kau bisa menjawab nanti," Heinrich berdiri, masih memegang tangannya. "Mari pergi dari sini dulu. Aku tidak mau keputusanmu soal menikahiku dipengaruhi oleh orang-orang yang tidak penting."
Semua orang terdiam dengan mulut terbuka melihat dua sejoli itu berjalan pergi meninggalkan gereja.
Dan beberapa detik kemudian, Rebekka menatap tangannya yang ditarik oleh Heinrich, menjauh dari prosesi pernikahan. Rebekka masih belum meregister kejadian tadi di kepalanya dan ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Saat baginya dunia terasa putih dan kosong, di hadapannya, Heinrich, satu-satunya pria yang benar-benar tidak ia sukai justru menyelamatkannya dari mimpi buruk itu.
Ia tidak sadar Heinrich telah membawanya ke sebuah kereta kuda. Ia tidak sadar ia telah keluar dari ibukota, menuju entah kemana–
Barisan pohon hijau dan bunga-bunga liar di pinggir jalan mengalihkan perhatian Rebekka perlahan-lahan dari kebingungan dan kesedihannya. Rasa sakit di hatinya yang sempat berubah menjadi mati rasa kini mulai bangkit menjadi rasa sakit baru.
Kekecewaan yang tak terbendung.
"Apa kau sudah merasa baikan?" tanya Heinrich tiba-tiba sambil menyodorkan sebuah wadah minum padanya.
"Apa-apaan ini? Kemana kau membawaku–"
"Kemana pun kau ingin pergi," jawab pria itu, mendorong wadah minum itu pada Rebekka.
Rebekka terdiam.
Ia menegak air yang ditawarkan padanya, teringat saat terakhir ia bertemu Heinrich dua tahun lalu. Pria itu masih belum berubah, tak banyak bicara dengan ekspresi yang tanpa cela. Wajahnya seperti tersenyum tipis, meski jika dilihat lagi, ia mungkin bukan sedang tersenyum. Itu hanya wajah defaultnya yang otomatis terlatih dari kecil sebagai Pangeran Tertua Kerajaan Central Hyacinth.
Pria munafik.
Munafik, adalah kata yang keras. Rebekka tidak pernah menyukai Heinrich, berkali-kali ia ingin menegaskannya dan itu tidak pernah berubah sejak pertama kali mereka bertemu.
"Mengapa kau tiba-tiba datang… apa kau sebenarnya ingin mengejekku seperti mereka semua?"
Heinrich tersenyum lembut. Senyum lembutnya yang seperti senyum bisnis, yang ia tunjukkan setiap hari pada semua orang. "Menurutmu?"
Rebekka tidak bodoh. Ia tahu pria rasional dan tak berhati ini menginginkan sesuatu darinya. "Apa yang kau inginkan dariku?" jadi ia bertanya untuk memastikan.
Heinrich terdiam di tempat. Aneh melihat pria itu menunjukkan ekspresi datar, dan sekilas Rebekka bisa melihat tatapan rumit di matanya. "Aku menginginkan Marigold," jawab Heinrich, akhirnya mengatakan sesuau.
Sang Putri pun melebarkan matanya.
Heinrich Hyacinth, Putra Mahkota dari Kerajaan Terbesar Benua Petunia, mengatakan hal sekontroversial itu seolah tanpa filter, di hadapannya, Putri Kerajaan Marigold–
Ah.
Rebekka adalah putri?
Ingatan tentang kejadian beberapa jam lalu menusuk hatinya kembali. Jika apa yang dikatakan orang tuanya benar, maka ia bukanlah putri sama sekali. Ia hanya diberi gelar itu sebagai rasa kasihan dan terimakasih karena sudah menanggung kesialan putri mereka yang asli.
"Saat aku berusia tujuh tahun, kau tiba-tiba muncul dan diumumkan sebagai putri kembar Rachel. Padahal aku tahu persis bahwa Rachel adalah putri tunggal sebelumnya," Heinrich menjawab dengan datar.
"Kau–oh, jadi kau sudah tahu tentang segalanya, sehingga kau memanfaatkan kejadian ini setelah merencanakannya sejak lama?" tanya Rebekka.
Heinrich hanya mengangguk, namun pria itu menoleh ke arah jendela kereta kuda, tidak menatap matanya langsung. "Tapi ini adalah kesempatan bagiku dan bagimu, bukan begitu, Becca?" tanya Heinrich.
Rebekka mengerutkan alisnya.
"Melihat bagaimana kau dibuang, aku yakin kau tidak akan diam saja dan tak melakukan apapun untuk membalas mereka," ucap Heinrich.
"Aku bukan dirimu," Rebekka mengejek.
Keheningan yang cukup lama menyelimuti kereta kuda itu. Namun anehnya Heinrich tidak terlihat seperti seorang yang sedang benar-benar menginginkan sesuatu dari Rebekka. Ia terlihat sedang berpikir dalam diam, sendirian, tanpa ada yang bisa tahu apa yang ada dalam kepalanya.
"Ini adalah sebuah kesepakatan yang kupikirkan begitu aku tahu rencana mereka terhadap dirimu," Heinrich mulai membuka pembicaraan lagi.
Rebekka tidak peduli. Apapun yang pria ini tawarkan, pasti bukan ide baik untuk menerimanya.
"Seperti yang kubilang, menikahlah denganku," ucap Heinrich. Ia menjelaskan, "Dengan begitu mereka akan berpikir ulang untuk membuangmu. Kau akan tetap memiliki gelarmu sebagai Putri."
Rebekka menggigit bibir bawahnya, menunduk dalam dan mencengkeram rok gaun putihnya yang indah. Ia kesal, marah, merasa dipermainkan dan tidak ingin lagi hidup di dunia dimana tidak ada orang yang menganggapnya sebagai manusia ini. Sudah ia duga bahwa mengikuti Heinrich hanya membuatnya berhasil kabur dari sarang harimau dan masuk ke mulut buaya–
"Dengan begitu, aku bisa mendapatkan status sebagai menantu Marigold."
Heinrich menyelesaikan kata-katanya.
Dan Rebekka menelan tangisannya.
"Turunkan aku disini," ucap Rebekka dingin.
Heinrich tidak mengatakan apapun. Pria itu hanya mengetuk dinding kereta di belakangnya dan sejenak kemudian, kereta berhenti. Rebekka turun dari sana, berbalik dan berjalan ke arah hutan di sisi jalan. Ia ingin sendirian saat ini.
Sementara itu, Heinrich juga turun dari keretanya dan mengatakan pada kusir untuk meninggalkannya di sini.
"Anda mau mengikutinya?" tanya kusir itu.
Heinrich mengangguk. "Kembalilah ke tempat pertemuan. Katakan pada Julian bahwa ia tidak perlu mencariku."
Setelah kusir itu pergi membawa kereta kudanya, Heinrich melihat ke arah Rebekka pergi. Wanita itu tidak berlari, jadi sosok kecilnya masih bisa terlihat di kejauhan, dengan gaun putih di tengah pepohonan hijau yang renggang.
Heinrich melangkah perlahan mengikuti wanita itu, mengingat masa lalu yang telah hilang sama sekali dari ingatan semua orang, kecuali dirinya. Rambut merah Rebekka yang berkibar lembut di terpa angin semilir mengingatkan Heinrich pada awan kapas kemerahan di tengah senja keemasan. melihat punggung wanita itu saja telah membuat dadanya terasa perih.
Dan melihat tangisannya hari ini sekali lagi membuatnya bingung harus apa.
"Becca…" Heinrich tersenyum pahit. "Kau sama sekali tidak mengingatku," bisiknya.
Seharusnya ia tidak buru-buru dan gegabah.
Seharusnya… ia tidak memperlakukan wanita itu seperti ini.
Seharusnya ia memeluknya dan menenangkan tangisnya, bukan menawarkan penawaran tak berhati itu tadi.
Tapi Heinrich Hyacinth tidak bisa tiba-tiba mengatakan hal yang tidak terdengar seperti Heinrich Hyacinth. Ia harus… lebih berhati-hati, meskipun itu menyakiti hatinya dan wanita yang penting baginya.