"Aruni, kamu yang sabar ya." Setelah mengatakannya, seseorang kembali memelukku pelan dan untuk kesekian kalinya aku tidak menyahut, tidak menjawab bahkan untuk sekedar memberikan respon. Aku hanya diam memandang kosong tubuh kaku dihadapanku persis seperti satu jam yang lalu. Tidak ada tangisan, tidak ada teriakan histeris, aku hanya bungkam bingung dengan perasaanku. Jadi? Sekarang gak akan ada lagi yang memarahiku karena aku telat makan ya? Atau aku merasa jengkel karena sering mendapat omelan akibat selalu tidur larut mengerjakan tugas?
Aku memeluk kedua lututku yang menekuk, pandanganku tak teralihkan dari tubuh kaku nenek yang selama ini menggantikan sosok ayah dan ibuku yang lebih dulu pergi meninggalkanku.
Apakah aku benar-benar menjadi sebatang kara? Seorang diri tanpa ada siapapun lagi yang akan mengerti aku dan memperhatikanku? Lalu Apakah pada akhirnya hanya rasa sepi yang akan menemaniku disepanjang akhir hidupku?
Mendadak dadaku terasa sesak, membayangkan itu rasa takutku menyeruak begitu saja, mataku mulai berkabut Tapi aku sudah berjanji pada nenek, untuk tidak menumpahkannya di hari kepergiannya. Sialan! Sesak sekali, Jujur aku tidak tahan, aku ingin menangis, meraung-raung memohon nenek untuk bangun dan tetap disisiku. Tapi itu tidak mungkin terjadi-kan?
Pandanganku tiba-tiba saja terhalangi celana jins hitam yang dipakai seseorang berdiri menjulang keatas dihadapanku. Aku tidak minat mengadah untuk sekadar melihatnya karena aku tahu siapa dia. Kudengar suara nafasnya berderu cepat, dan aku tidak peduli bahkan saat dia sudah mensejajarkan tubuhnya padaku, keringatnya becucuran, dia masih terengah-engah ketika mata kami bertemu. Wajahnya terlihat buram karena terhalangi air mataku yang menggenang. Kami sama-sama diam, Aku masih belum menangis, namun saat dia tiba-tiba membawaku kedalam dekapannya. Mataku terpejam, tanganku meremat jaketnya dengan kuat dan... pertahananku runtuh. Nenek maaf aku melanggarnya.
***
Aku tengah memandang rintik hujan yang mulai mereda dari balik jendela ketika pintu kamarku terbuka tanpa izinku. Tidak perlu repot menolehkan wajah, aku yakin hanya dia yang selalu lancang melakukannya. Siapa lagi kalau bukan pria tujuh hari lalu yang menjadi sosok malaikat sementaraku, yang memelukku erat sekalipun dalam kondisi terpurukku. Kukatakan sementara karena bagiku sebenarnya dia dedemit berwujud malaikat. Hari itu aku tidak tahu kenapa dia baik padaku, namun yang pasti hari-hari biasa dia hanya sosok yang selalu bersikap menyebalkan. Seperti saat ini contohnya.
"Mau sampai kapan lo jadi mayat hidup?"
Belum sempat menanggapi, dia sudah menarik tanganku sampai aku terpaksa bangun. Kutatap nyalang dia yang menatapku balik tanpa ekspresi. "Gakusah ganggu gue." Jawabku sembari melepas pegangannya, aku kembali duduk dan mengacuhkannya. Kupikir dia akan pergi tapi kulihat dia malah mengedarkan pandangannya, tak lama meraih jaketku yang kugantung di balik pintu. Aku mengernyit saat dia mendekat, menarik tanganku lagi untuk bangun tapi segera menepisnya, berulang kali kami melakukannya, sampai aku jengah dan mendorongnya. "Bima! Mau apa sih?"
Dia diam, kembali menarik tanganku. Kali ini aku tidak menolak, membiarkannya mengenakan jaket pada tubuhku. Setelah selesai dia melihat bagian bawahku yang hanya menggunakan hotpans persis seperti wanita liar yang biasa nongkrong di depan komplek kami. Dia mengernyit menatapku dengan jengkel. Aku tahu meski kami sering bertengkar, Bima gak akan membiarkanku keluar dengan mengenakan pakaian mini dan mempertontonkan lekuk tubuhku secara gratis pada pria mata keranjang. Dia selalu memperlakukan adiknya seperti itu, begitu juga denganku. Akupun sendiri memang tidak suka mengenakannya, tapi siapa peduli aku hanya dirumah, tidak ada siapapun kecuali diriku. Damn! Aku benar-benar kehilangan nenek "Ganti."
"Enggak!" Aku menantangnya, manusia es ini memang suka berlaku seenaknya dan aku dalam kondisi tidak suka diperintah. Suasana hatiku buruk, aku sedang berduka, dan tidak ingin diganggu. Tapi sepertinya dia benar-benar cari ribut denganku. "Ganti sendiri atau gue yang ganti."
"Bisa gak sih lo gak ganggu gue, pergi sana." Aku hendak melepas jaket yang tadi dipakaikan olehnya tapi tindakan Bima malah menyulut emosiku. Dia melepas kancing celanaku hingga terbuka, hampir saja resletingnya ikut lepas juga sebelum aku menepis tangannya, dan mendorongnya lagi.
"BIMA!!?!!." Teriakku frustasi
"Gue udah tanya, dan lo gak jawab."
"Bukan berarti gue mau. Dasar sinting!" Sungutku kembali mengaitkan kancing. Bima tidak menunjukkan rasa bersalah, dia melihat jam tangannya "10 menit, kalau gak ganti juga. Gue gak akan nahan diri lagi buat ngelucutin baju lo." Dia pergi gitu aja setelah mengatakannya. Aku yang kesal melempar bantal kearahnya tapi sia-sia dia sudah menghilang dibalik pintu.
Tidak butuh waktu lama sebenarnya buat ganti hotpans ke celana jeans panjang, tapi ini sudah hampir 10 menit dan aku tetap diam dalam kamar sengaja mengulur waktu. Aku menatap jari jemariku yang bertautan. Biar saja dia menunggu seperti orang bodoh diluar sana, salah sendiri memaksa, aku tidak ingin kemanapun.
Kali inipun Aku sudah mengunci pintu kamarku, Bima tidak mungkin bisa masuk dan berlaku seenaknya lagi, terkadang aku heran kenapa dia selalu menggangguku bahkan diminggu dukaku. Suara klik pertanda handle pintu ditekan dari luar sana mengalihkan perhatianku. Berkali-kali dia menekannya namun pintu tetap gak kebuka "Lo cari mati namanya Uni!" Bima berteriak, aku resah.
Terakhir kali dia seperti itu, dia berbuat hal gila yang bisa meresahkan dua keluarga, kali ini apa?
Prangggggggg
Aku terperanjat, mataku membelalak melihat dia berdiri menyeringai persis seperti psikopat gila dengan tongkat ditangannya setelah meretakkan jendela kamarku. Tunggu jendela kamar? For God's sake. Kuharap aku bisa mencekiknya.
"Jangan suka nantangin gue.."
"Lo gila Bim!"
"Emang! Buka pintunya atau gue pecahin semua jendela lo."
"Gue laporin ke Tante Lola!" Aku hendak meraih ponselku yang kuletakan diatas nakas, tapi Bima tanpa rasa takut justru semakin menggila, ia kembali memukul jendela kamarku, kali ini pecah berserakan. Aku menjerit saat itu, kami sudah seperti adegan film thriller dimana gadis muda tengah dikejar psikopat gila.
Bima melompat dengan mudah, selanjutnya sadar dari keterdiamanku, kami saling berlari meraih ponselku diatas meja. Aku berhasil meraihnya tapi Bima mendorongku hingga kami jatuh diatas ranjang. Dia berada diatasku segera kusembunyikan ponselku dibalik punggungku.
"Bima lo apa-apaan sih, minggir gak lo?"
"Siniin hape lo."
"Enggak! Gue mau aduin lo ke tante lola! Anaknya udah gila!" Dia merogoh-rogoh punggungku, sumpah Bima bego banget, posisi ini bisa menimbulkan pikiran buruk buat orang-orang yang lihat. Duh apa jadinya, kalau orang lain tahu, kami manusia lawan jenis berduaan di kamar dengan posisi yang tidak pantas. Dia menarik-narik tanganku. Aku kembali mengancamnya
"Kalo gak minggir gue bakal teriak ya."
"Teriak aja, berani teriak lo gue cium! Lagian Kamar lo ini ada dibelakang Uni. Percuma teriak sampai uratnya putuspun gak akan ada yang denger."
Bima menyeringai, Oke! Aku ternganga, ancaman Bima lebih menyeramkan. Pasalnya gak ada siapapun disini! Bima itu super nekat, kaca jendela yang udah berserakan bisa jadi bukti paling konkret.
Dan dalam pergulatan yang panjang, akhirnya tanganku yang mulai kebas menyerah dalam satu tarikan. Bima bangun dari posisinya setelah menyimpan ponselku di dalam kantong celananya. Kami terengah-engah kelelahan, meski aku wanita, Bima tidak akan segan mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melawanku.
"Sumpah ya Bima! Gue benci banget sama lo."
"Terserah!" Dia menarik tubuhku dengan pelan tapi tidak lembut, aku sudah tidak ada tenaga untuk melawan, terserah dia mau melakukan apa dan mau bawa aku kemana, aku pasrah saja saat dia membawaku keluar rumah.
"Gakusah dikunci, bentar lagi mang dadang dateng buat benerin kaca." Katanya saat aku hendak mengunci pintu. Aku mendelik sembari menarik kunci yang sudah kucantolkan sebelumnya di handle pintu. "Makanya otak, akhlak, sopan santun tuh dipake. Rumah orang main bobol aja." Dumelku kesal, Bima menghampiriku sembari membawa helm cadangan miliknya.
"Daripada lo yang gue bobol." Aku menepuk keras helmnya saat dia memasangkan helm miliknya padaku. "Bego!" Dia balas memukul
"Aduh sakit!" Bima menarikku untuk kesekian kalinya, nyebelin banget! hari ini aku persis seperti kerbau dicucuk hidungnya. Dia naik lebih dulu keatas motornya. "Mau kemana sih?" Tanyaku menerima uluran tangannya untuk mempermudahku naik keatas motor.
"Keluar."
"Ck tuyul juga tau! Kenapa gak ajak cewek lu ajasih? Gue gakmau ya kalau tiba-tiba dia marah-marah lagi sama gue." Bima menarik tanganku untuk melingkari tubuhnya. Aku menyamankan posisi. "Udah putus!"
"Hah? Serius?" Bima tancap gas tanpa menjawab pertanyaanku lagi.