Sudah beberapa minggu sejak Alif mulai memahami keberadaan Zeta, dan hari-hari berikutnya terasa sedikit lebih ringan. Setiap sesi dengan Dr. Amira membantunya menggali lebih dalam tentang dirinya, tentang luka-luka yang selama ini tak pernah ia sentuh. Namun, ia tahu perjalanan ini masih jauh dari selesai. Ada lapisan lain dari dirinya yang belum tersentuh, yang menunggu untuk diungkapkan. Hari itu, perasaan ganjil menghantui pikirannya ketika ia berjalan menuju klinik.
Setibanya di klinik, suasana tampak lebih sunyi dari biasanya. Alif masuk ke ruang tunggu, duduk di kursi yang sama seperti sebelumnya. Ia menatap dinding putih di sekitarnya, mencoba mengusir pikiran yang berkecamuk. Sebelum ia sempat tenggelam dalam lamunan, pintu ruang konseling terbuka, dan sosok wanita lain keluar. Alif tidak memperhatikannya pada awalnya, namun ketika matanya bertemu dengan tatapan wanita itu, ia merasakan sesuatu yang aneh—seolah-olah ada sambungan tak kasat mata yang langsung terhubung di antara mereka.
Wanita itu tampak tergesa, rambutnya sedikit acak-acakan, dan ia tidak tampak seperti pasien yang baru saja selesai sesi terapi. Ada kegelapan di matanya, bayangan yang mirip dengan apa yang Alif lihat setiap kali dia menatap cermin saat berbicara dengan Zeta. Wanita itu berhenti sejenak, mengamati Alif dengan tatapan tajam, sebelum dengan cepat melanjutkan langkahnya keluar dari klinik.
"Siapa dia?" gumam Alif.
Ketika Alif akhirnya masuk ke ruang konseling dan duduk di hadapan Dr. Amira, rasa penasaran tentang wanita tadi masih menggantung di benaknya. Namun, Alif memutuskan untuk menunda rasa ingin tahunya. Ada hal lain yang lebih penting yang ingin ia bahas hari ini.
"Dr. Amira, aku merasa... ada sesuatu yang berbeda tentang diriku akhir-akhir ini. Aku mulai memahami Zeta lebih baik, tapi ada sesuatu yang lain, yang aku tidak bisa jelaskan," kata Alif sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Dr. Amira menatapnya dengan penuh perhatian. "Ceritakan lebih lanjut, Alif. Apa yang kamu rasakan?"
Alif menghela napas dalam-dalam. "Setiap kali aku mencoba berdamai dengan Zeta, ada saat-saat ketika aku merasa ada sosok lain... lebih diam, lebih tenang, tapi hadir. Aku tidak tahu apakah ini bagian lain dari diriku atau sesuatu yang aku abaikan selama ini."
Dr. Amira menuliskan sesuatu di buku catatannya. "Ini bukan hal yang aneh, Alif. Ketika kita mulai memahami bagian-bagian dari diri kita yang terpecah, kadang kita menemukan lapisan-lapisan baru yang belum kita sadari. Mungkin ini adalah sisi lain dari dirimu yang ingin muncul ke permukaan."
Alif menatap lantai, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Tapi ini bukan seperti Zeta. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian. Hanya... kehampaan."
Dr. Amira terdiam sesaat, merenung. "Kehampaan bisa datang dari berbagai hal, Alif. Mungkin ini adalah bagian dari dirimu yang belum pernah diberi kesempatan untuk merasa—bagian yang mati rasa karena begitu banyak rasa sakit yang kamu alami. Mungkin, ini adalah bagian dari dirimu yang terjebak dalam trauma yang tidak pernah kamu akui."
Kata-kata itu menggema di kepala Alif. Trauma. Ya, mungkin itu. Tapi bagaimana caranya menghadapi sesuatu yang bahkan tidak dia ingat sepenuhnya?
---
Malam itu, Alif kembali tenggelam dalam pikirannya. Pikirannya terus kembali pada wanita di klinik tadi. Siapa dia? Mengapa rasanya dia begitu akrab, seolah-olah mereka memiliki cerita yang saling berkaitan? Dalam keheningan kamar, Alif merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya—sebuah ketegangan yang mengingatkan pada malam-malam ketika Zeta pertama kali muncul.
Tiba-tiba, Alfa muncul dalam benaknya, seperti selalu.
"Alif, ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Alfa dengan nada lembut, tetapi penuh kewaspadaan.
"Ya... Aku bertemu seseorang di klinik tadi. Dia bukan bagian dari terapi, tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang menghubungkan kami."
Alfa menatapnya dengan tajam. "Mungkin ini bukan sekadar kebetulan. Mungkin wanita itu memiliki peran dalam memahami siapa dirimu."
Alif merenung sejenak. Alfa selalu punya jawaban yang masuk akal, tapi kali ini ada ketidakpastian yang lebih besar. "Tapi siapa dia? Apa hubungannya denganku?"
Alfa menggelengkan kepala. "Itulah yang harus kita cari tahu. Kamu tidak bisa mengabaikan tanda-tanda ini. Kadang, jawaban muncul dari tempat yang tidak terduga."
---
Pagi berikutnya, Alif memutuskan untuk kembali ke klinik lebih awal, berharap bisa bertemu wanita itu lagi. Pikirannya terus membayanginya, membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang belum terselesaikan. Saat ia tiba di klinik, ia memperhatikan suasana tampak sama seperti sebelumnya—tenang, sunyi, dan seolah menyimpan rahasia.
Tak lama kemudian, wanita itu muncul lagi, seperti yang Alif harapkan. Namun kali ini, wanita itu tidak tampak tergesa-gesa. Dia berhenti sejenak ketika melihat Alif, dan tanpa berkata apa-apa, ia mendekat.
"Kita pernah bertemu sebelumnya, bukan?" tanya Alif, suaranya penuh ketidakpastian.
Wanita itu menatapnya dengan tatapan tajam, tetapi ada sesuatu di balik tatapan itu—rasa sakit yang ia coba sembunyikan. "Mungkin bukan secara langsung. Tapi aku yakin kita memiliki cerita yang sama."
Alif terdiam, bingung. "Apa maksudmu?"
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang berat. "Aku juga memiliki sisi-sisi yang tidak kuketahui tentang diriku sendiri. Sama seperti yang kamu alami."
Dan dengan kata-kata itu, segalanya mulai terasa lebih masuk akal bagi Alif. Dia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Ada orang lain yang juga menghadapi kegelapan dalam dirinya, orang lain yang mencoba merangkai kembali bagian-bagian yang hilang.
"Namaku Alif," kata Alif akhirnya, menawarkan tangan untuk berjabat.
Wanita itu menatap tangannya sejenak sebelum meraihnya. "Namaku Naya."
Dan dalam jabat tangan itu, Alif tahu bahwa bab baru dari perjalanannya baru saja dimulai—bab yang mungkin akan mengungkap lebih banyak dari dirinya, dan mungkin lebih banyak dari Naya juga.
---