アプリをダウンロード
19.23% Kau Curi Milikku, Milikmu Kucuri (BL) / Chapter 5: Surya

章 5: Surya

Indra ingin melepas wajah dan selamanya tidak muncul lagi saking malunya berteriak seperti itu setelah meraung-raung di depan pintu rumah orang.

Untung saat itu hujan sedang deras-derasnya sehingga muka penuh air mata dan cairan lain tidak terlalu kentara. Setelah menyuruh Indra masuk dan memaksanya mandi serta ganti baju, mereka kini duduk di dapur dengan segelas teh hangat di depan masing-masing.

"Mas Indra, yakin mau jadi ART juga?" tanya Gaska. Padahal mereka sama-sama pakai kaos oblong tapi gaya orang biasa dan orang berada memang beda. "Ga capek nanti di kafe?"

"Saya biasanya berangkat ke kafe jam setengah dua siang, jadi habis subuh dan masak sarapan, nganggur sampai siang. Mumpung masih muda, saya mau dapat uang yang banyak," Indra tidak tahu apa yang membuatnya menjawab ingin jadi ART.

Sisi positifnya, dia bisa menyelidiki lebih detail tentang orang yang sedang dia cari sambil memikirkan lagi langkah apa yang bisa diambilnya.

Gaska mengangguk. "Kami perlu orang buat bersih-bersih rumah soalnya adekku, Surya masih sekolah, berangkat pagi, pulangnya malam. Jadwalku juga sering nggak pasti. Oiya, sekalian nyiramin tanaman termasuk taman di lantai dua."

"Masnya bisa masak apa aja?" Tanya Gaska sambil mengeluarkan ponselnya. "Pinjem KTP boleh?"

"Masak sekedarnya, sayur asem, sop, sayur kunci, ayam ukep, pakai bumbu instan sama tambah rempah sedikit biasanya." Indra mengambil KTP dari dompet dan menyerahkan pada Gaska.

Pemuda itu mengambil foto data dirinya.

"Sekarang tolong pegang KTP'nya," Gaska mengatur posisi KTP di tangan Indra sehingga wajah dan data di KTP terlihat jelas. "Iya, sudah."

"Jadi, gimana, Mas Indra mau kerja disini tiga kali seminggu atau setiap hari? Yang pasti kalau setiap hari dapatnya lebih banyak, sama lebih banyak yang dikerjakan. Masak, cuci pakaian, setrika. Nanti biar gampang, sekalian tinggal disini juga bisa."

"Saya pulang dari kafe agak malam, jam sepuluh lebih, nggak nganggu nanti?"

"Oh, nggak. Nanti aku siapkan kunci cadangan juga. Ayo, aku tunjukkan kamarnya sekalian."

Gaska berdiri sambil kembali memencet-pencet ponselnya. "Alergi ayam, nggak?"

"Nggak," jawab Indra singkat.

Gaska balik fokus lagi ke ponselnya. "Oiya, umur kita nggak beda jauh, panggil Gaska aja biar nyaman. Adekku, Surya juga sama."

"Kalau begitu silahkan langsung panggil nama saya juga."

Kali ini Gaska tertawa lebar, "Oke, Indra."

Mereka berjalan ke ruangan terbuka dengan tangga melingkar. Di atas selain ruang duduk dengan sofa dan televisi besar, terdapat juga banyak pintu di deretan kiri dan kanan. Gaska mendahului ke arah kanan dan membuka pintu salah satu ruangan.

"Kamarmu nanti disini. Kalau mau jemur pakaian, jadi satu di ruang laundry, ya."

Kamar yang ditunjukkan Gaska lebih besar dari kamar kosnya dan perabot di dalamnya sudah komplit, ada kasur, lemari, meja kursi, ada televisi juga meski nggak sebesar di ruang duduk tadi. Meski udara di dalamnya sedikit pengap asal Indra rajin membuka jendela dan pintu, hawanya pasti lebih segar.

"Hujannya masih deres. Ayo makan dulu, pesenannya sudah hampir datang."

Saat Gaska mengajak turun, Indra baru memperhatikan bahwa di dalam rumah banyak gambar bunga baik lukisan maupun potret yang diambil dengan baik. Tidak ada foto keluarga atau foto siapapun yang dipajang. Hanya bunga.

Setelah makan siang, mereka nonton televisi di lantai dua sambil menunggu hujan reda. Entah karena perutnya terisi sampai kenyang, karena film yang mereka tonton membosankan, karena sofa yang Indra duduki terasa nyaman, karena matanya kini terasa tebal setelah menangis sesenggukan, atau karena semua itu, Indra tidak kuasa melawan kantuk yang merayap dari ujung-ujung jarinya.

Dalam rentang waktu tidak terlalu lama, Indra tertidur.

. . .

Waktu Indra memaksa membuka mata, dia berada di ruangan yang asing tapi yang jadi perhatian terbesarnya adalah tidak hanya mata yang terasa berat tapi juga seluruh tubuhnya. Saking beratnya, Indra sampai hanya bisa menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari air minum.

"Ada apa? Mau minum atau makan?" Suara Gaska terdengar dari dekat. Pemuda itu sedang duduk menghadap laptop dengan kacamata berbingkai hitam membuatnya terlihat lebih serius.

"Minum," suara Indra bahkan jauh lebih serak dibanding tadi siang.

"Ini teh bunga krisan, buat radang. Habiskan ini dulu," Gaska membantu Indra duduk dan minum air manis beraroma wangi yang agak eneg. Meski terasa aneh, Indra menghabiskan karena jamu yang diminumnya saat sakit jauh lebih eneg dan tidak enak.

"Jam berapa sekarang?" Tenggorokan Indra tidak sesakit tadi tapi suaranya masih serak.

"Jam delapan malam."

"Aku mau ibadah dulu," Indra berusaha bangun kali ini.

"Di kasur aja, daripada terjungkal nanti kalau berdiri sendiri," kata Gaska.

Saat Indra hanya menanggapinya dengan tatapan kosong, dia menahan tawa. "Yakin bisa fokus ibadah nanti? Mikir aja belum bisa."

Indra mengangguk tapi tidak mengkonfirmasi lebih lanjut, bahkan lengan yang dipegang Gaska untuk menopang berat Indra sudah agak doyong ke kasur.

"Ibadahnya diganti kalau sudah baikan, ya. Sekarang tidur dulu lagi, oke?"

Indra tidak menjawab dan langsung rebahan dan berguling ke samping meninggalkan Gaska yang menutupi mulutnya agar tawanya tidak mengganggu tidur Indra.

Sesaat kemudian pintu kamar Gaska dibuka oleh Surya yang juga memakai kacamata. "Aku nggak nyangka bisa ketemu seperti ini. Lucu juga kalau nantinya dia percaya semua omonganmu."

"Hmm, siapa yang menyangka.." pandangan mata Gaska masih lekat pada wajah yang memerah karena demam.

"Kalau Mama atau Papa tahu.."

"Mama nggak usah tahu," sela Gaska ketus. "Mereka nggak perlu tahu. Ini bukan urusan mereka."

"Ya nggak bisalah... Setidaknya Papa." Surya duduk tepat di samping kepala Indra, sejauh mungkin dari Gaska yang melotot ke arahnya. "Kan kita masih pakai uang transferan dari Papa."

"Usahaku sudah jalan dan hasilnya lumayan. Kalau lancar terus sebentar lagi sudah balik modal. Aku bisa pindah dari sini."

"Aku ikut, ya," Surya tiba-tiba loncat dan memeluk Gaska sambil bertingkah sok imut sementara Gaska berusaha mendorong wajah Surya sejauh mungkin darinya. Sesaat mereka lupa ada pasien yang tidurnya terganggu karena keberisikan.

. . .

Besoknya, demam Indra sudah berkurang meski belum tuntas. Dia merasa super duper malu telah menyusahkan Gaska seharian dengan merawatnya sejak kemarin sore. Untungnya pemuda itu ada urusan dan sudah pergi sejak tadi pagi. Sebelum berangkat, Gaska berpesan dirinya akan kembali nanti malam.

Indra membereskan kasur tempatnya tidur semalam, beberapa pakaian di keranjang baju kotor, termasuk bajunya kemarin yang basah kena hujan. Di ruang laundry yang ditunjukkan Gaska sehari sebelumnya, terdapat dua mesin cuci. Indra memilih yang tombolnya paling sedikit dan mudah dipahami sebelum mencoba. Setelah yakin kalau masih berfungsi dengan baik, Indra baru mengoperasikan dengan menambah air dan deterjen yang ada, secukupnya.

Indra sedang duduk melamun ketika seseorang muncul, remaja jangkung dengan badan kurus, kalau tidak salah ingat, Gaska pernah bilang nama adiknya adalah Surya.

"Kukira suara apa. Kok nggak pakai yang satunya aja, nggak terlalu berisik," dia berjalan mendekat mesin yang lebih canggih.

"Eh, maaf, saya nggak paham mesin yang itu. Daripada bajunya rusak," Indra langsung berdiri dan berusaha menjelaskan.

"Nggak apa, Mas. Nanti lain kali aku jelaskan. Tapi kok Mas Indra nggak istirahat?" Tangan Surya meraih lengan Indra dan memegang berpindah-pindah lengan satu dengan yang lain. "Masih agak anget badannya."

Indra yang bingung dan merasa aneh dipegang-pegang orang lain, tertawa kecil. "Sudah baikan, Mas."

"Panggil Surya aja, Mas. Kan aku lebih muda."

Indra tidak mengiyakan namun juga tidak menolak.

"Habis ini Mas Indra istirahat dulu aja, sampai sembuh. Kalau maksain kerja terus ada apa-apa, nanti kita juga yang rugi, dikira penyiksaan."

Indra cuma ber-hehehe sementara dalam hatinya berpendapat kalau majikan kecilnya terlalu banyak nonton sitkom.

"Buat makan siang nanti aku sudah beli soto sama nasinya sekalian."

"Iya, nanti saya nyusul."

Surya memastikan Indra tidak perlu arahan lagi sebelum meninggalkan ruangan, tanpa melepas pandangannya dari layar ponsel. Seperginya Surya, Indra merasa lebih nyaman menyelesaikan pekerjaannya.

Ruangan laundry ini toh sudah lengkap dengan tempat menjemur semi outdoor, jadi tidak sampai kuatir kehujanan. Sedangkan waktu cuaca panas, cepat kering kena angin dari ruang terbuka. Di sebelah ada ruangan khusus untuk menyetrika dengan meja lebar, setrika berbagai fungsi sampai beberapa macam gantungan.

Dalam hati Indra berpikir kalau orang kaya memang beda dan dia mulai menimbang kapan waktu yang tepat untuk bertanya serta pertanyaan macam apa yang akan dia ajukan.

Selesai menjemur, Indra berjalan ke dapur yang bersebelahan dengan ruang tamu. Mungkin karena kondisinya belum terlalu fit jadi dia merasa kehausan.

Di ruang makan, Surya duduk di salah satu kursi. Di depannya terdapat beberapa mangkok dengan plastik yang masih tersegel. Ketika melihat Indra, dia langsung bertanya dengan semangat.

"Mau soto apa, Mas? Ada soto ayam, soto daging, soto jerohan, soto babat, soto kikil, soto lamongan, soto klaten, soto kudus, soto madura..."

Lagi-lagi Indra dibuat kehabisan kata-kata oleh majikan kecilnya.


Load failed, please RETRY

週次パワーステータス

Rank -- 推薦 ランキング
Stone -- 推薦 チケット

バッチアンロック

目次

表示オプション

バックグラウンド

フォント

大きさ

章のコメント

レビューを書く 読み取りステータス: C5
投稿に失敗します。もう一度やり直してください
  • テキストの品質
  • アップデートの安定性
  • ストーリー展開
  • キャラクターデザイン
  • 世界の背景

合計スコア 0.0

レビューが正常に投稿されました! レビューをもっと読む
パワーストーンで投票する
Rank NO.-- パワーランキング
Stone -- 推薦チケット
不適切なコンテンツを報告する
error ヒント

不正使用を報告

段落のコメント

ログイン