Wardana's House
Author POV
Kasih menjadi primadona baru di keluarga Wardana. Menjadi seorang Tuan Putri yang dimanja oleh semua orang. Semua orang memanjakannya, membuai, menggendong, bahkan memenuhi setiap permintaannya, hingga Gwen cemas Kasih akan berubah menjadi manja.
"Jangan khawatirkan itu." Rangga memeluk pinggang istrinya. "Mereka hanya terlalu bahagia karena bisa bertemu dengan Kasih."
"Tapi apa tidak berlebihan, Mas?" Di belakang rumah mereka sekarang, ada sebuah tempat bermain raksasa yang terbuat dari balon yang berisi angin. Seperti permainan di sebuah mall.
"Aku hanya ingin memanjakan putriku."
Gwen tidak bisa lagi membantah. Rangga selama ini tidak memiliki kesempatan untuk menjaga ataupun memanjakan Kasih, jadi Gwen tidak mampu melarang saat pria itu mencurahkan dan melimpahkan semua kasih sayangnya kepada Kasih, memanjakan gadis kecil itu dan memenuhi apapun permintaannya.
Dan ia juga tidak sanggup melihat wajah sedih Kasih jika Gwen sampai melarangnya. Ia tidak bisa melarang seorang ayah yang ingin memanjakan putri yang tidak pernah ia temui sebelumnya, ia juga tidak bisa melarang seorang anak yang menerima limpahan kasih sayang dari ayah yang selama ini belum pernah ditemuinya.
"Papa!" Kasih berlari mendekat, menarik-narik kaki ayahnya.
Rangga berjongkok, meraih putrinya ke dalam gendongan dan menciumi wajahnya. "Ada apa, sayang?"
"Kasih mau adik!" Kasih berteriak nyaring hingga semua orang menatap ke arah mereka, membuat Gwen menunduk malu dan menyembunyikan wajah di lengan Rangga.
Kasih tertawa.
"Oke, tapi tidak bisa sekarang."
"Kenapa tidak bisa?" Kasih bertanya dengan polosnya.
"Karena harus dibikin dulu, Dek." celetuk Satya sekenanya.
Rangga memelotot dan sepupunya hanya tertawa.
"Kenapa tidak bisa sekarang?" Kasih kembali bertanya.
"Hm," Rangga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kalau Kasih mau adik, Papa harus bicara dulu dengan Mama...."
"Terus nanti adiknya ada di perut Mama seperti Tante Mika?" Kasih menunjuk Mika yang tengah hamil.
"Ya, nanti seperti Tante Mika."
"Lama tidak adiknya baru keluar dari perut Mama?"
Pertanyaan polos itu mengundang tawa banyak orang. "Lama," jawab Rangga.
"Yaaaa." Kasih menunduk sedih. "Tapi maunya sekarang."
"Kalau Kasih janji akan jadi anak Papa yang baik, Papa usahakan secepatnya Kasih punya adik."
"Janji?" Kasih mengacungkan jari kelingkingnya yang mungil kepada Rangga. Rangga tertawa dan mengaitkan jari kelingkingnya ke tangan Kasih.
"Janji."
"Yeay!" Kasih bergerak turun dari gendongan Rangga dan berlari ke arah Om dan Tantenya. "Om Satya, Om Devan, Tante Dara, Tante Anika, Tante Mika.! Kasih juga mau punya adik! Kasih punya adik!" teriaknya sambil melomopat-lompat.
Gwen yang merasa malu luar biasa segera melangkah menuju dapur, beralasan ingin mengambil sesuatu.
"Bagaimana? Kasih sudah tidak sabar untuk punya adik."
Gwen nyaris terlonjak kaget saat Rangga memeluk pinggangnya dari belakang, pria itu mengecupi leher istrinya. "Aku juga sudah tidak sabar melihatmu hamil anakku, lagi."
"Apa yang Mas lakukan?" Gwen bertanya dengan suara tertahan. "Semua orang mungkin sedang menatap kita."
"Dan aku tidak peduuli." Rangga sengaja memberikan gigitan-gigitan kecil di leher Gwen, membuat Gwen memejamkan mata dan bersandar sepenuhnya ke dada Rangga. "Bagaimana kalau kita ke kamar sekarang?"
"Tidak." Gwen bergerak melepaskan diri dari dekapan Rangga.
"Kenapa?" Rangga kembali mengurung istrinya, kali ini saling berhadapan. "Tidak akan ada yang membicarakanmu kalau itu yang kamu takutkan." Kali ini bibir Rangga mulai mengecupi bibir istrinya.
"Mas, nanti saja."
"Tidak."
Gwen memegang wajah Rangga dengan kedua tangannya. "Aku tidak pernah berkumpul seperti ini sebelumnya, rasanya menyenangkan bisa berkumpul bersama keluarga. Jadi biarkan aku menikmati kebahagiaanku sedikit lebih lama." Gwen mengecup bibir suaminya. "Bukannya aku tidak bahagia berduaan dengan Mas, tapi aku senang berkumpul bersama mereka."
Jika sudah begini, Rangga bisa apa?
Hal yang membuat Gwen bahagia juga merupakan hal yang membahagiakan untuk Rangga.
"Baiklah, nikmati harimu."
Rangga mencium bibir istrinya dalam-dalam lalu melepaskan Gwen untuk kembali ke teras samping dimana para sepupunya berkumpul, juga ada ibu dan ayahnya Rangga dan Satya disana. Rasanya menyenangkan bisa mendengar Gwen tertawa sekeras itu bersama Anika, menyenangkan bisa melihat senyum Gwen yang berbinar-binar, kedua mata jernihnya tampak bercahaya dan ia tampak menikmati waktunya.
"Gwen terlihat bahagia." Ibu Rangga menatap putranya dengan senyuman lembut.
"Ya." Rangga menoleh pada ibunya. "Terima kasih atas semuanya, Mom."
Anita memeluk putranya erat-erat. "Mommy bahagia melihat kalian berkumpul kembali."
Gwen adalah hidupnya, pelengkapnya, napasnya dan denyut jantungnya. Segala yang Rangga butuhkan di dunia.
"Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan ada yang menyakiti mereka lagi."
Rangga mengangguk, memeluk ibunya lebih erat. "Aku berjanji."
Dan janji itu bukan hanya sekedar janji, tapi janji yang akan ia tepati hingga akhir hayatnya.
***
Lombok
Karina POV
Aku tahu ada yang tidak beres sewaktu melihat ekpresi Ka Rangga ketika masuk ruang kerjaku. Seringaiku terlalu lebar sehingga tampak tidak tulus. Jari-jarinya mengusap dahi berulang-ulang. Dia jelas sangat tidak nyaman.
"Ada apa?" Aku bersandar di kursi sambil terus mengawasi Ka Rangga yang akhirnya mengambil tempat di depanku.
Seharusnya aku berdiri dan memberinya tempat dudukku karena dia bos di sini, tetapi sikapnya tidak terlihat seperti bos yang siap memberi perintah sekarang. Ka Rangga malah tampak seperti seseorang yang merasa bersalah.
"Aku benar-benar tidak tahu kalau yang datang ke sini Juan, Dek," ucapnya. "Waktu melakukan negosiasi awal penjajakan kerja sama, aku melakukannya dengan Om Sultan. Jadi aku pikir Om Sultan yang akan datang ke sini. Hanya saja, aku pikir kerja sama ini tidak akan membuat kalian bertemu." Ka Rangga menyugar rambutnya dengan kikuk.
Tanpa sadar, desahan meluncur dari mulutku. Memang bukan salah Ka Rangga. Aku percaya dia tidak akan menjebakku. Mbak Nia kakakku. Dia tidak akan membiarkan suaminya melakukan hal seperti itu. Pertemuan ini memang hanya kebetulan. Ka Rangga pengusaha, dan dia jelas selalu berpkir untuk memperbesar usaha.
"Memang bukan salah kakak. Aku minta maaf karena sempat curiga," kataku jujur.
Anehnya, Ka Rangga tidak tampak lega. Mbak Nia pasti sudah merecoki suaminya dengan kisah cintaku yang menyedihkan. Ka Rangga pasti tahu kalau aku belum berhasil move on.
"Beneran tidak apa-apa, Ka" tegasku. "Kami sudah pisah lama. Aku cuma sedikit kaget melihat dia."
"Bukan itu masalahnya, Dek." Ka Rangga mengembuskan napas panjang.
"Maksud kamu, kita ada masalah dan itu melibatkan aku?" Bahuku yang tadinya sudah rileks, tegak kembali.
"Waduh, bagaimana cara ngomongnya?" Ka Rangga malah balik bertanya dan kembali menyugar rambutnya. "Ini sulit."
"Apanya yang sulit?" Aku benar-benar waspada sekarang.
"Om Sultan mengirim Juan kesini sudah dalam rencana yang matang, mereka akan berinvestasi pada museum lukisan yang aku bangun, tapi dengan satu syarat."
Syarat dan ketentuan dalam suatu investasi itu biasa. "Lalu masalahnya apa?" Aku benar-benar tidak bisa menangkap apa yang hendak Ka Rangga sampaikan.
"Juan mau tempat ini." Ka Rangga menatapku pasrah. "Aku benar-benar tidak nyangka Juan tertarik sama tempat ini. Aku tahu ini kerja keras kamu, Dek. Hanya saja, sulit melepas kerja sama itu. Museum lukisan itu impian besarku, impian yang tidak akan pernah direstui oleh ayahku, tapi sekarang Om Sultan mau menolongku asal aku menyanggupi permintaan Juan"
Bahuku langsung melorot. Aku menyukai pekerjaanku yang sekarang. Aku suka mengatur tempat ini. Namun, aku tidak mungkin memaksa Ka Rangga bertahan untuk kesepakatan sebesar itu.
"Tidak apa-apa." Aku mencoba tersenyum. "Aku bisa bekerja di tempat kakak yang lain, kan?" Aku tidak mungkin duduk diam saja, meskipun punya uang. Aku sudah terbiasa bekerja.
"Nah, itu dia masalahnya." Kalau tadi pandangan Ka Rangga tampak pasrah, sekarang dia terlihat frustasi.
"Masalah lagi?" Apa-apaan ini? Seharusnya aku tahu kalau keluarga Wardana hanya berisi orang-orang licik.
"Juan mau menjadikan tempat ini sebagai tempat tinggal kalau dia atau keluarga kami berkunjung ke Lombok."
Seperti keluarganya kekurangan hotel saja. "Kalau tempat ini sudah pindah tangan, dia bisa melakukan apapun di sini. Aku akan segera pergi dari tempat ini." Bahkan baru mengucapkannya saja sudah terasa menyedihkan. "Itu sama sekali bukan masalah."
Ka Rangga mendesah lagi. "Masalahnya, Juan bilang dia mau tempat ini hanya berganti pemilik, tapi pengelolanya tetap sama. Dia tidak mau mengambil resiko merusak usaha dan tempat ini kalau pengelolanya berganti. Katanya kerja kamu bagus."
Aku terlonjak dari kursiku. "Apa? Aku tidak akan bekerja di sini kalau dia yang jadi bosku! Tidak akan!" Aku akan segera mengepak koperku begitu tempat ini berganti pemilik.
"Juan mau tempat ini, dengan kamu pengelolanya untuk mendapatkan kesepakatan kami. Aku tidak enak minta ini dari kamu, tapi aku tidak punya pilihan. Tolonglah. Sulit mendapatkan persetujuan Om Sultan untuk ini."
"Tidak, Ka." Tolakku mentah-mentah. "Aku tidak mau jadi bagian dari kesepakatan keluarga kalian. Aku tidak akan berada di sini lagi begitu tempat ini jadi milik dia."
"Pikirkan lagi, Dek," bujuk Ka Rangga. "Kamu suka tempat ini. Kamu membangun dan mengawasi banyak hal dari awal. Ini seperti anak kamu. Kamu pasti berat melepasnya." Ka Rangga benar-benar menerapkan kemampunya memersuasi. "Sama seperti aku, Juan juga tidak akan terlalu sering berada di sini. Rumah dan pusat bisnisnya di Jakarta. Dia sangat sibuk. Belum tentu dia akan berada di sini dua atau tiga kali dalam setahun. Semua laporan bisa kamu kirim melalui e-mail. Belum tentu juga langsung ke dia. Kamu tetap pemegang kendali di sini."
Aku tetap menggeleng. "Tidak!"
"Dek, tolonglah."
"Tidak!"
To Be Continued