Jakarta
Rangga POV
Kasih memeluk erat bantal guling kecil di dadanya. Aku yang sejak tadi memerhatikan itu tersenyum geli. Cara tidur Kasih persis sepertiku, aku tidak akan bisa tidur tanpa memeluk guling di dada.
Dan gadis kecil itu juga suka bergerak ke kiri dan ke kanan, menguasai tempat tidur seorang diri.
Wajah lucunya terlihat merengut masam, Aku tidak tahu Kasih bermimpi apa, lalu keningnya terlihat berkerut seperti seseorang yang tengah berpikir keras. Caranya mengerutkan kening seperti itu benar-benar terhilat sepertiku.
Aku tertawa tanpa suara. Ada garis-garis keras kepala di wajah Kasih, tapi juga ada gurat kelembutan seperti wajah Gwen. Kedua matanya bulat dan jernih, yang mampu membuatku terhanyut di dalamnya. Menghipnotisku.
Caranya memandang terlihat polos dan teduh, seperti cara Gwen memandang orang lain. Senyumnya lebar dan ceria.
Aku menunduk, mengecup keningnya lama dan dalam.
"Ayah disini." bisikku sekali lagi, ingin memberitahu putriku bahwa kini ayahnya disini. Akan menjaganya dan tidak akan pernah meninggalkannya lagi.
"Nenek! Nenek sudah pulang? Kenapa Nenek membawa Kasih ke pasar lama sekali?"
Saat aku mengangkat wajah, tubuhku membeku menatap seseorang yang berdiri di ambang pintu kamar. Seseorang yang begitu terkejut melihatku.
Kedua mata yang jernih itu terlihat terkejut, mulutnya terbuka dan ia mengerjap beberapa kali dengan wajah tidak percaya.
"M-Mas?"
Tuhan, betapa aku merindukan suara ini.
***
Lombok
Karina POV
Tidurku sama sekali tidak nyenyak. Pukul empat dini hari, aku memilih duduk di depan meja sambil mempelajari laporan masuk. Aku mengelola usaha resor milik Ka Rangga. Ini bisnis yang menguntungkan, karena mulai banyak keluarga yang memilih liburan ke tempat seperti ini daripada pusat kota.
Pukul setengah enam, aku keluar vila yang menjadi rumahku selama beberapa tahun terakhir. Lebih baik berjalan-jalan di perkebunan daripada tidak bisa berkonsentrasi di rumah. Udara Lombok masih sangat dingin di waktu seperti ini, jadi aku memakai jaket yang lumayan tebal.
Belum jauh meninggalkan teras, aku melihat mobil Juna melaju menuju tempat parkir setelah satpam membuka palang. Aku menghela napas panjang. Kelihatannya hariku dimulai terlalu pagi.
Juna berlari kecil mendekat setelah memarkir mobil.
"Teleponku tidak kamu angkat semalam," katanya.
"Maaf..." Aku menjawab sambil melanjutkan langkah, membiarkan Juna berjalan di sampingku. "Aku ada pekerjaan, jadi lupa mau menghubungi balik."
"Aku datang untuk jemput kamu." Juna sepertinya percaya alasanku. Dia memang selalu percaya pada apa pun yang aku katakan. Aku jadi sedikit tidak enak karena sudah membohonginya. "Kita pulang pagi ini, Anika mau menikah, kamu diminta menjadi salah satu braidsmaid-nya."
Itu sebenarnya ide bagus. Aku juga tidak mau tinggal di tempat ini sampai tamu istimewa Ka Rangga itu pergi. Sayangnya, aku tidak bisa main kabur seenaknya.
"Kamu tahu kalau weekend, kami malah sibuk karena banyak pengunjung." Sifat mengontrolku parah. Aku tidak suka pegawaiku melakukan banyak kesalahan. Dan biasanya di akhir pekan saat padat pengunjung, ada saja keluhan. Aku lebih suka berada di tempat untuk menyelesaikan masalah.
"Padahal aku mau ajak kamu ke opening cabang baru restoranku." Juna terdengar kecewa. "Untuk ganti acara yang batal semalam."
"Maaf. Ka Rangga juga mau ke sini karena ada meeting dengan koleganya. Tidak enak kalau dia ke sini, tapi aku malah pergi." Aku tidak bodoh untuk bilang kalau koleganya itu adalah adiknya sendiri, hubungan Juna dan Juan tidak terlalu baik di masa lalu. Bukan berarti juga aku akan menemani Ka Rangga meeting. Tidak akan. Aku hanya tidak suka meninggalkan pekerjaan.
"Apa aku harus menghubungi Rangga dan minta izin dulu supaya kamu boleh pulang ke Jakarta?" tanya Juna dengan nada membujuk.
"Ini bukan soal izin," Entah kenapa, nada itu malah menggangguku. "Ka Rangga pasti mengizinkan. Ini soal tanggung jawabku pada pekerjaan. Kapan-kapan, Pernikahan Anika masih lama, dan aku sudah bicara dengannya bahwa aku bisa datang saat sudah dekat big day nya dan kapan-kapan aku pasti akan mengunjungi restoran baru kamu."
Juna mengedik. "Mungkin openingnya seharusnya di hari kerja saja, tapi weekend lebih ramai."
"Jangan menyesuaikan dengan jadwalku." Aku jadi tidak enak. Perasaan terganggu karena merasa didikte tadi langsung menghilang. "Itu restoran kamu, tidak ada hubungannya dengan aku."
"Tapi..."
"Sebentar." ponselku berdering. Aku termangu menatap layar. Nomornya tidak ada dalam daftar kontakku. "Halo?" Aku memutuskan mengangkatnya. Mungkin saja penting. Ini masih terlalu pagi untuk sekedar berbasa-basi.
"Aku mau kopiku diantar sekarang."
Apa-apaan ini? Aku tahu itu suara siapa. "Di situ ada telepon. Anda bisa menghubungi resepsionis. Permintaan anda akan segera diteruskan. Tunggu dulu, dari mana anda mendapatkan nomor saya?"
"Rangga memberikan nomor kamu kalau-kalau aku butuh sesuatu."
Menyebalkan. "Saya yakin, yang dimaksud Pak Rangga itu adalah sesuatu yang lebih penting daripada secangkir kopi," sindirku meskipun masih dengan suara yang kubuat seramah dan seformal mungkin.
"Kamu juga tahu aku tidak minum jus kemasan. Aku mau minuman itu dikeluarkan dari kulkas."
Mana aku tahu kalau tamu penting Ka Rangga itu dia? Kalau tahu, aku tidak akan menyambutnya. Lebih baik menyembunyikan diri di kolong tempat tidur sampai dia pergi. Aku akan tahan dengan risiko pegal dan kelaparan.
"Itu juga bisa diselesaikan kalau anda mau mengangkat telepon yang ada di situ."
"Handuknya hanya dua. Selamam satu tejatuh dan basah. Kamu tahu aku tidak pakai handuk yang sama dua kali. Apalagi kalau sudah lembap."
Siapa yang suruh menjatuhkan handuk? Aku memejamkan mata. "Ada yang lain lagi?" Sabar, sabar...
"Aku menunggu kopiku sekarang." Telepon ditutup.
Spontan aku menoleh ke arah vila yang ditempati laki-laki itu. Letaknya memang tidak jauh dari tempatku dan Juna berdiri. Dan aku melihatnya sedang duduk di teras. Dia jelas sengaja mengerjaiku. Kenapa orangtuanya yang sempurna bisa menghasilkan anak yang catat moral seperti dia?
***
Jakarta
Hara POV
"Kamu kenapa menghindar dari aku?"
Aku harus menggerakkan rahang bawahku dan berusaha menutup mulutku kembali. Ternyata Sultan masih menunggu jawabanku, yang membuatku tiba-tiba jadi panik. Apa dia perlu menanyakan hal itu? Dia jelas-jelas tahu kenapa aku menghindarinya. Bukan hanya karena kejadian di Bandung, tapi juga karena kejadian tempo hari ketika dia melihatku menangis. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa Sultan tidak akan pernah lagi melihatku melakukan suatu hal yang menunjukkan kelemahanku, seperti menangis, semenjak insiden hampir dua puluh enam tahun yang lalu itu.
"Aku… jadi… waktu itu… tempo hari… pada dasarnya…" aku betul-betul tidak bisa membentuk satu kalimat yang jelas. Bukannya membantuku, Sultan malah menatapku dengan wajah sepertinya dia siap menciumku yang membuatku jadi mundur selangkah untuk meluruskan pikiran.
Kuatur jalan pikiranku selama beberapa detik. "Sultan…" ucapku pelan. Aku ingin menanyakan apakah kami memang bercinta sewaktu di Bandung, tetapi aku tidak tahu bagaimana menanyakannya tanpa terdengar seperti orang bodoh.
Tiba-tiba mataku jatuh kepada jari-jari Kafka untuk mencari cincin yang mungkin melingkar di sana. Tidak, tidak ada cincinnya. Phewww….
Kuembuskan napas lega. Setidak-tidaknya kalau aku memang bersamanya saat ini, aku tidak melakukan apapun dengan pacar, tunangan, apalagi suami orang. Kecuali… uh-oh… jangan-jangan Sultan adalah tipe laki-laki yang sudah menikah tapi tidak mau mengenakan cincin, atau mungkin cincinnya dikalungkan di leher bukannya melingkar di jarinya… atau,.. aku ini sudah paranoid.
"Tadi kamu mau ngomong apa sama aku?"
"Ooohhh… nggak. Cuma…" kulirik mataku ke kiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa yang bisa mendengar percakapan ini. Aku lalu mendekatkan kepalaku kepada Sultan yang menunduk agar bisa mendengar bisikanku.
"Apa kita pernah tidur bersama waktu di Bandung?" Nah… akhirnya keluar juga tuh pertanyaan. Ternyata tidak sesusah yang aku bayangkan.
"Kalau iya memangnya kenapa?" Tanya Sultan dengan nada sedikit tersinggung. Bisa-bisanya dia merasa tersinggung. Laki-laki gila mana yang mau tidur sama perempuan yang tidak seratus persen sadar?
Seharusnya aku yang berteriak "BAJINGAN."
"Kalau gitu aku perlu tanya beberapa pertanyaan ke kamu."
Sultan tidak mengatakan apa-apa, sehingga aku melanjutkan, "Apa kita pakai kondom?"
"Menurut kamu gimana?"
Aggghhh… aku rasanya mau menampar Sultan saat ini juga. Kenapa dia membalas semua pertanyaanku dengan pertanyaan lagi? Apa belum puas dia menyiksaku selama ini? Kenapa setiap kali aku berhadapan dengan laki-laki satu ini aku selalu naik darah? Aku ini orang yang ramah, tapi Sultan memang tidak berhak mendapatkan keramahanku.
"Aku tidak tahu, itu sebabnya aku nanya kamu. Apa kamu pikir gampang buat aku untuk nanya pertanyaan-pertanyaan ini ke kamu?"
Tanpa kusangka-sangka Sultan mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku dengan paksa menuju toilet yang kosong. Dia menutup pintu tepat dibelakangnya sebelum kemudian mengahadapku lagi. Aku harus mengedipkan mata berkali-kali untuk menyesuaikan diri dengan
kegelapan yang menyelimutiku. Hanya ada sedikit cahaya lampu yang masuk dari sela-sela di bawah pintu.
"Kamu benar-benar tidak ingat sama sekali?" kudengar Sultan bertanya. Suaranya terdengar berat.
Perlahan-lahan aku bisa melihat bayangan tubuhnya. Setelah beberapa detik aku bisa melihat wajahnya dengan dahi yang berkerut. Sejujurnya dia kelihatan marah.
Kugelengkan kepala sambil menggigit mulutku bagian dalam, senewen. Aku tidak tahu kenapa aku merasa bersalah, seperti aku sudah tertangkap mengambil mangga milik tetangga sebelah.
To Be Continued