Hostipal
Anika POV
Ini hari kedua aku berada di rumah sakit. Kata dokter, depresi dan sedikit makan selama berhari-hari memperlemah tubuh sehingga Mika tak bisa bangun secepat yang diperkirakan. Benturan keras di pelipis juga memengaruhi kesadarannya.
Aku berdiri. Saat aku mau membuka pintu kamar, pintu tersebut lebih dulu terbuka.
"Devan?"
"Nana?"
Kami berdua sama-sama kaget.
Devan menggerakkan dagu, memintaku agar ikut bersamanya. Ia membawaku ke taman rumah sakit.
"Aku yang antar Mika ke rumahmu."
Aku terdiam, memandang pasien dan suster yang lalu lalang di depan. Aku mendengar, tapi malas menanggapi.
"Siang itu tiba-tiba Mika meneleponku. Dia minta agar aku menjemput dia sesegera mungkin di depan apartemennya. Aku tidak tahu maksudnya. Tapi karena dia menangis sebelum aku menutup telepon, terpaksalah aku menuruti dia."
Devan menarik napas, melanjutkan penjelasannya. "Tubuhnya lebih kurus, dan matanya bengkak. Aku tanya dia, udah makan apa belum. Dia jawab, udah. Dia minta aku nganterin dia ke rumah keluarga Wardana."
Tanpa menatap Devan, aku berkata, "Apa aja yang dia ceritain ke kamu?"
Devan terkesiap. "Mungkin... semuanya." Devan tersenyum padaku. "Kalian saudara, kan?"
Aku tak pernah lagi menganggap keluarga Hilmar sebagai bagian kehidupanku.
"Mika ceritain itu semua sambil nangis. Membuatku tak tega."
Aku mengerjap, tak peduli hubungan keluarga dengan Mika diketahui banyak orang. Bisa menghancurkan keluarga Hilmar saja sudah lebih daripada cukup. Aku berhasil membuat Tante Ria dan Om Nicky mendekam di penjara dan mereka tak punya apa-apa lagi.
"Dia gadis paling ceria yang pernah aku kenal."
Devan menerawang, mungkin mengingat cinta pertamanya dengan Mika.
"Pertemuan klise, nabrak dan ditabrak. Aku langsung minta kenalan dan kami pun dekat. Tanpa diketahui siapa pun."
Devan tersenyum riang. "Saat itu dia cerita kepadaku bahwa dia punya sahabat yang sekarang jadi saudaranya. Dia sangat bahagia waktu cerita itu. Dia juga menyayangkan nggak bisa ngenalin aku ke saudaranya karena aku pindah sekolah."
Devan menatapku. "Yang aku tidak sangka ternyata saudaranya itu kamu."
Aku tersenyum miris.
Devan kembali menerawang. "Saat menerima emailmu yang cerita kamu senang tinggal di Hamburg, Mika malah nangis karena mikir kamu tidak bahagia saat tinggal di Bali bersama dia. Sejak kepergianmu, dia tidak pernah punya sahabat. Bagi Mika, kamu satu-satunya sahabat, tidak ada yang lain."
Aku menahan air mata yang hampir keluar mendengar penuturan Devan. Sungguh, aku tak pernah menyangka Mika begitu menghargai persahabatan dengan diriku. Aku hanya berbohong saat mengirimi Mika email yang mengatakan aku sangat bahagia di Hamburg, karena sebenarnya aku hanya tak ingin dicemaskan keluargaku di Bali.
"Dia kesepian setelah kamu pergi. Dia bilang, kamu perempuan tertangguh
yang pernah dia kenal."
Devan menghela napas. "Aku tidak menyangka, sebenernya aku sudah kenal kamu jauh sebelum kita kenalan. Aku kenal kamu dari cerita-cerita Mika. Sayangnya hubunganku sama Mika putus karena backstreet kami ketahuan mendiang ayahnya yang jelas-jelas tidak setuju. Aku marah pada beliau dan mutusin Mika begitu aja. Akhirnya aku pindah ke Jakarta."
Aku memilih diam, menyimak penuturan Devan yang panjang itu.
"Aku berasa tidak bisa napas melihat Mika menangis kemarin. Aku tidak tega."
Aku melirik Devan yang kini terdiam. "Maksudmu apa cerita semua ini?"
Mungkin Devan kaget mendengar pertanyaanku, sesaat menatap mataku. Sorot mataku masih menyisakan luka, juga memperlihatkan kebencian mendalam. "Aku hanya.. sharing."
Aku tersenyum sinis. "Supaya aku maafin dia?"
Devan kaget lagi.
"Aku menghargai usahamu. Tapi aku sudah maju terlalu jauh, tidak akan mundur, Devan. Sekalipun kamu sudah tahu semuanya," jelasku dingin, kembali menatap ke depan, lalu berdiri.
Devan menahanku dengan tangannya. "Kamu tidak akan mencelakai Mika lagi, kan?"
Aku terdiam lama, menatap Devan. Tatapannya seolah memberitahu bahwa jika aku mencelakai Mika, Devan juga akan terluka. Bukankah aku berjanji tidak melibatkan orang-orang di sekeliling
Aku menggeleng. "Tidak. Tapi lebih daripada itu," ucapku mantap. "Aku iri sama dia. Bahkan saat sekarang, saat dia tidak punya apa pun, masih saja ada orang seperti kamu, yang menyayanginya tulus."
Devan terkejut.
"Aku iri karena dulu, saat aku dibuang begitu aja sama keluarga Hilmar, tidak ada satu pun yang membelaku, seperti kamu membela dia sekarang."
Aku berjalan menjauhi Devan, namun baru beberapa langkah berbalik. "Kamu bisa jenguk dia sekarang. Sebelum aku blokade orang-orang yang mau nengokin dia."
Devan bangkit, kemudian tersenyum. "Aku yakin kebahagiaan akan menyapamu, cepat atau lambat."
***
Dara POV
"Apa yang anda rasakan untuk saat ini?" Dokter Eca memulai pertanyaannya.
"Saya kesulitan tidur, Dok. Sering mimpi buruk."
"Jadi, anda sulit tidur di malam hari dan sering mimpi buruk?" tanya dengan setelan baju putih itu penuh selidik.
"Benar, Dok," jawabku singkat dan padat.
"Apakah anda suka berhalusinasi, atau menghayal yang berlebihan dari biasanya?"
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Jika aku menyatakan 'iya', apakah dia akan mendiagnosa aku sebagai 'orang sakit jiwa'?
"T-tidak Dok, "Saya hanya sering gugup, cemas berlebigan dan susah tidur."
Dokter Eca menganalisa mimik wajahku. Mungkin memperhatikan kantung mata yang menghitam dengan raut wajah pucat pasi.
"Insomnia...." Dokter Eca menggumam dan menulis sebuah resep obat.
"Baiklah! Untuk sementara, saya hanya bisa menyarankan obat anti depresan ini untuk anda," ucapnya kepadaku.
"Jadi, saya baik-baik saja kan Dok?"
"Ya, sedikit depresi. Semoga cepat membaik setelah meminum obatnya."
Keterangan dari dokter membuatku agak tenang. Ya, bukankah depresi adalah hal yang wajar dan sering terjadi pada seseorang yang mengalami masalah berat. Aku pikir keadaanku masih baik-baik saja.
"Apa yang bisa aku lakukan untuk kesembuhan ini, Dok?"
"Ya, dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Emosimu harus dikontrol dan perbanyak istirahat, juga menghindari hal-hal yang membuat hati tertekan."
Aku sendiri tidak tahu perasaan apa yang sedang bertahta di sana. Hanya, gundah itu masih menggunung.
To Be Continued