Ruby's Store
Author POV
Lukas Playboy
Ada yang aneh dengan bulan malam ini. Fenomena alam!
Ruby menyeret kakinya turun dari ruang kerjanya lalu mengenakan sendal rumah yang ia curi beberapa hari yang lalu dari W Resort. Tangannya menyabet ponsel sebelum keluar. Ia sempat berhenti di balkon dekat rukonya untuk melihat lebih jelas langit malam itu.
Langit terlihat bersih. Tidak ada bulan bersinar malam itu. Pandangannya berkeliling ke semua arah, namun bulan benar-benar tidak ada.
"Fenomena apa yang Lukas maksud?" gumam Ruby sambil melangkah masuk ke ruko, lalu bergegas menuruni tangga. Ia membuka pintu depan dan berdiri tepat di tengah-tengah anak tangga yang tinggi. Kepalanya menengok ke kanan-kiri.
"Ada apa, Nona?" Satpam sudah menyilangkan sarungnya berdiri di depan pos. Seruannya yang cukup keras mengejutkan Ruby.
Ruby bergegas menuruni tangga dan menghampiri pos satpam yang ada di dekat pagar rumahnya. "Katanya ada fenomena alam malam ini. Ada yang aneh dengan bulan. Makanya saya keluar untuk melihat, Pak."
Pak Satpam menatap bingung, memastikan Ruby tidak bercanda, lalu mendongak, memandang langit. "Apa iya, Nona?" kepala Satpam masih mendongak memandang langit. Begitu pula Ruby.
Klotak!
Sebuah kerikil terjatuh tidak jauh di hadapan Ruby dan Satpam. Keduanya langsung menunduk untuk melihat. Senter panjang yang dipegang Pak Satpam menyala cepat, mengarah tepat ke krikil yang jatuh sekitar dua meter dari mereka berdiri.
Secara otomatis Ruby dan Satpam bergegas berlindung di dalam pos satpam. Keduanya saling menatap dengan kedua mata terbelalak.
"Apa mau hujan batu?" tanya Ruby ngeri.
"Psst! Psst!"
Suaranya seperti desisan ular yang terdengar dari balik pagar ruko membuat perhatian Ruby dan Satpam teralih. Cahaya lampu jalanan membuat mereka dapat melihat samar-samar ujung kepala seseorang. Otak Ruby bekerja cepat. Instingnya mengatakan bahwa ia mengenal jelas siapa yang berdiri di balik pagar rukonya. Matanya beralih ke beberapa monitor yang ada di dalam pos. Semua monitor itu merekam setiap sudut rukonya.
Betul dugaannya. Lukas terang-terangan menatap ke arah kamera tanpa rasa takut. Salah satu tangannya terangkat di udara seperti menggenggam sesuatu. Pasti Lukas berusaha untuk melempar batu lagi. Ruby segera menekan tombol hitam di sudut dinding di depan pintu pos satpam. Pintu kecil di sisi pagar berbunyi pelan dan Ruby melihat dari layar yang menampilkan Lukas yang tersentak kaget.
"Saya tidak lihat tadi ada orang berdiri di depan pagar, Nona." ucap Pak Satpam yang ikut melihat ke monitor.
"Tidak apa-apa. Itu tamu saya memang biasa usil." Ruby bergegas menghampiri Lukas sebelum laki-laki itu melangkah masuk.
Lukas mendorong pintu kecil itu dan langsung tersenyum lebar pada Ruby.
"Aku menunggumu lebih dari setengah jam di luar sini tapi kamu tidak keluar-keluar." Lukas berpura-pura kesal, namun tersenyum lebar setelahnya.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan," sahut Ruby pendek dan cepat.
"Banyak yang perlu dijelaskan," balas Lukas sama cepatnya.
"Aku menunggumu tenang sebelum aku menemuimu untuk menjela..."
"Sudah aku bilang, tidak perlu ada penjelasan," potong Ruby cepat.
"Aku tahu jika aku menelpon, kamu tidak akan mau menemuiku."
"Kalau sudah tahu, kenapa kamu masih ke sini?" tanya Ruby dingin.
Lukas menarik napas panjang.
Mata Ruby memanas. Ruby berharap air matanya tidak menetes seperti saat ia melihat laki-laki di hadapannya ini asyik berciuman dengan wanita lain.
"Dengarkan aku. Aku tahu kamu melihat kejadian hmm... itu."
"Kejadian kamu mencium Nisya, adiknya Tina?" tanya Ruby dengan tenang.
"Yes!" Lukas membetulkan kalimat Ruby, tapi sesaat kemudian ia kembali merasa bersalah. "Sebenarnya dia yang menciumku. Bukan aku yang menciumnya. Dia yang menyerangku lebih dulu."
"Kamu terlihat menikmatinya," balas Ruby meledek.
"Aku tidak..." Lukas memandang Ruby putus asa. Dengan gelisan ia mengacak-acak rambutnya. "Aaargh! Bukan ini yang aku maksud."
"Nisya cantik. Aku tidak melihat ada yang kurang. Aku maklum jika kamu tertarik padanya. Apalagi dengan reputasimu selama ini..."
"Reputasi apa?" sentak Lukas sedikit emosi.
Sentakan keras Lukas malah membuat Ruby naik pitam. Ruby menaikkan suaranya untuk melawan Lukas. "Kamu playboy, buaya darat. Bagimu wanita hanya mainan. Mungkin kamu merasa menang setelah aku akhirnya luluh termakan rayuanmu. Kamu masih berani bertanya padaku reputasi apa? Bahkan saudara dan sahabatmu sendiri tidak mempercayaimu, kan?" cerca Ruby penuh emosi. Suaranya yang meninggi membuat napasnya tersenggal.
"Aku tidak seperti itu. Aku mengenal Nisya. Dia pasti hanya salah satu boneka dari keluarga Hilmar untuk menghancurkan keluargaku, seperti yang Tina dan Serena lakukan selama ini kepada kedua saudraku."
Kedua bola mata Ruby terbelalak.
"Tetap saja, kamu sudah membuktikan bahwa kamu memang seperti reputasimu yang terkenal itu. Bagaimana bisa kamu menicumku dan di hari berikutnya kamu berciuman dengan wanita lain?" pekik Ruby.
"Aku tidak memiliki perasaan apapun terhadap Nisya. Baik dulu maupun sekarang."
"Itu yang aku maksud!" Ruby menujuk Lukas dengan emosi memuncak. "Kamu tidak memiliki perasaan. Kepadaku, Nisya, kepada model-model Bali yang berdiri di sekelilingmu, terhadap semua wanita yang pernah bersamamu."
"A-aku..." Lukas berusaha membela diri, namun ia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.
"Rupanya aku tidak bisa menjadi satu-satunya kekasihmu."
"Kamu juga tidak penah menunjukkan apakah kamu tertarik padaku atau tidak. Kamu membuatku bingung. Kamu tahu, model-model Bali itu sengaja kugunakan untuk memancingmu," ucap Lukas putus asa.
"Aku terpancing," jawab Ruby keras. "Aku sudah terpancing, Lukas. Tidak hanya pada saat event di Bali kemarin, Juga pada saat yang lain. Aku sudah terpancing. Aku hanya tidak menunjukkaannya karena aku tidak tahu apakah kamu memang bersungguh-sungguh padaku. Tapi kejadian malam itu di depan kamarmu membuatku tersadar. Kamu tidak bisa berubah. Kamu tidak mungkin berubah."
"Aku berubah. Semenjak mengenalmu, aku berubah. Tidak pernah ada wanita lain." Suara Lukas terdengar lebih seperti memohon. Namun, Ruby hanya menggeleng.
"Kamu menikmatinya. Kamu menikmatinya, kan?" tanya Ruby dengan letih. Ia merasa seluruh energinya seakan terkuras.
"A-aku tidak..." Lukas menunduk menatap ke kaki Ruby. Suara berubah menjadi bisikan, seperti berbicara untuk diri sendiri. "Dia mabuk dan dia yang memulai."
"Meski dia yang memulai, jika kamu memang tidak menikmatinya kamu akan berhenti. Berhenti sebelum aku melihat kalian berdua."
Lukas mendongak dan menatap Ruby. Mereka terdiam. Ruby melihat sorot mata yang tidak pernah ia lihat dari Lukas. Sorot sedih, sama seperti perasaannya. Untuk pertama kalinya ia merasa laki-laki di hadapannya ini terlihat merasakan kesedihan yang amat sangat dalam.
"Aku sudah memaafkanmu malam itu. Aku tidak menyalahkanmu. Mungkin memang karaktermu. Kamu mungkin tidak bisa berubah." ucap Ruby ingin segera menghentikan pembicaraan itu.
Ia hendak menutup pintu pagar. Tangannya bergerak nyaris menggapai pintu itu. Namun, Lukas menangkap tangannya dengan cepat. Menggenggamnya cepat dan membuat Ruby kembali menatap Lukas.
"Akan kubuktikan."
Lukas melepaskan tangan Ruby dengan berat hati. Ruby masih mematung saat Lukas bergerak cepat menggapai pintu pagar kecil itu. Menariknya kembali menutup di hadapan Ruby. Lalu suara langkahnya terdengar menjauh. Ruby bisa mendengar suara mobil yang menyala dan berlalu. Tapi ia masih berdiri di tempat yang sama. Menatap kosong pintu yang sudah menutup itu.
To Be Continued