Bali
Anika mengepal untuk menahan emosi yang menjalar naik. Dia mengerti emosi Elisa sedang tak menentu sehingga mudah saja bagi gadis itu melantur. Tubuh Anika bergetar hebat. Benar, kalau orangtua mereka tak mengunjunginya, bencana itu tak akan terjadi. Benar. Itu memang kesalahan dirinya. Jika saja dia tak merengek mengatakan rindu kepada kedua orangtua mereka, malapeteka ini tak akan terjadi.
"Kalau kamu benar-benar menyesal, angkat kaki dari rumahku! Tidak ada tempat buatmu di sini. Pembawa sial!"
Tangan Anika mengepal erat, tak kuat mendengar cercaan yang dilontarkan padanya. Pikirannya seketika berubah. Kecelakaan itu takdir. Jika ada yang ingin kamu salahkan, salahkan takdir!
Bukan diriku.
"Ayah meninggal karena kamu, kan?!" Gumpalan emosi yang begitu kuat ingin meledak membuat Elisa tak menemukan kata yang pantas untuk dilontarkan. Citranya sebagai gadis lembut di mata semua orang berubah seketika.
Ucapan Elisa sungguh menyakiti Anika. Bahkan sekujur tubuh Anika bergetar hebat. Relung hatinya tertusuk tuduhan keji itu dan terluka. Selama ini begitukah anggapan semua orang kepada dirinya?
Sejak datang Anika bertekad bersikap tenang, tetapi ucapan Elisa yang tak diduganya membuat gadis itu mau tak mau memuntahkan emosi. "Aku akan angkat kaki dari rumah ini," ucap Anika tegas, tak tahan dengan tatapan keji yang dilemparkan Elisa, ditambah dengan emosi yang menguasainya. Dia merasa terhina.
Anika mengembuskan napas berat, mencoba menahan sakit yang baru saja dia terima. Penghinaan membuat dia bicara panjang.
Masih dengan mengepal, Anika menatap Elisa tajam. "Dan sekarang aku menyesal, menyetujui ibuku menikah lagi beberapa tahun lalu. Aku pikir selama ini kamu yang paling mengerti aku. Sejak umur lima tahun kita sahabatan, dan lima tahun kita menjadi saudara. Tidak ada penolakan dari kita saat orangtua kita memutuskan hidup bersama menjadi keluarga. Aku pikir kita bisa melengkapi satu sama lain. Tapi aku salah, tabiatmu baru terlihat sekarang. Ternyata kamu cuma serigala busuk yang menyamar jadi kucing manis. Kata-katamu benar-benar seperti ular haus mangsa," cecar Anika, balas menghina bercampur kiasan.
Gadis itu segera berlalu, amarahnya makin meledak jika bertahan di situ. Bali ternyata tidak cocok untukku. Bali menyimpan sejuta air mata. Bali memendam luka yang ingin dia lupakan
***
Anika POV
Pembawa sial.
Aku melangkah gontai ke luar kamar Elisa, menuju kamarnya sendiri. Dia membuka pintu kamar dengan lemas.
Elisa keterlaluan!
"Mina…" panggilku. Tapi tak menemukan adikku di sana. Aku memucat. Mina tidak ada. Di luar kamar pun aku tak menemukan batang hidung adikku. Tiba-tiba firasat buruk menyergap sanubariku. aku takut luar biasa.
"Anika.." Aku menoleh.
Wanita tinggi dengan wajah tegas berdiri di belakangku.
Aunty Luna, adik ayah tiriku. Sejak dulu aku tak begitu suka dengannya, dia melirikku tajam, sama seperti yang diperlihatkan Ka Elisa tadi.
"Aunty," Ucapku menyapa
"Keluar kamu!" ucap aunty Luna keras. "Keluar kamu, anak miskin!"
Aku terkejut, tetapi tak mengambil hati terhadap ucapan tersebut. Pikiranku hanya diisi pertanyaan: di mana Mina, adik semata wayangku, berada.
"Mina di mana? Mina di mana, aunty?!" ucapku setengah berteriak, efek tekanan hebat yang diberikan keluarga tiriku. Air mata mengalir di pipiku.
Plak~
Tamparan keras mendarat di wajahku, membuatku terduduk di lantai. Bukan nyeri hati saja yang aku rasakan, melainkan nyeri fisik. Aku meringis, menatap sendu.
"Kenapa kamu selalu membawa sial bagi orang-orang di sekelilingmu, Anika?!" bentak aunty Luna.
Aku menangis.
"Kamu membuatku kehilangan kakak yang tak pernah tergantikan. Kamu selalu membawa sial, Anika!" cecar aunty Luna bertubi-tubi, tak peduli dengan wajahku yang masih memerah karena tamparannya.
Wanita itu menatapku angkuh. Kakinya bergerak mendekatiku, kemudian mengangkat daguku dengan tangan kanannya. Ia melemparkan senyum bengis. "Kamu ingin tahu apa yang terjadi dengan adikmu, hah, pembawa sial?"
Aku membelalak. Wajahnya mengabur karena air mata yang tergenang. Aku balas menatap aunty Luna dengan pandangan menuntut.
"Kamar jenazah rumah sakit Bali. Sekarang pergi kamu dari rumah ini!!" bentak aunty Luna. Dengan cepat ia mengambil koperku yang belum sempat dibongkar dan mendorongnya kasar ke arahku.
Aku merasakan sakit yang luar biasa saat koper itu membentur samping badanku. Aku hanya bisa melanjutkan tangis. Aku menyeret kaki meninggalkan kamar rumah sakit. Air mata masih mengalir. Tubuhku tak keruan. Sakit yang aku rasakan tak bisa ditahan lagi. Saat kekuatanku mencapai titik terlemah, tubuhku melorot hingga ia terduduk di lantai rumah sakit.
"Adikmu, Mina, mengalami depresi yang sangat luar biasa. Depresi yang dia alami membuatnya suka menyakiti diri sendiri. Akibat perbuatannya, adikmu mengalami luka dalam dan kami tidak bisa menyelamatkannya."
Aku nyaris pingsan saat menerima kabar tersebut. Kenapa kemalangan terus mendatangiku? Tapi aku bukan gadis lemah. Dalam sisa-sisa kesadaran aku bertanya kepada dokter, "Bisakah saya membawa jenazah adik saya, Dok?"
Dokter itu menggeleng. "Kamu harus membayar biaya administrasinya dulu"
Aku tertegun. Tentu saja aku tak bisa menutup biaya administrasi Mina.
Aku terdiam. Aku sebatang kara karena dibuang keluarga tiriku. Aku menelungkup di kedua tangan. Tangis kembali pecah.
Tuhan… aku tak sanggup menanggung beban seberat ini, ratapku dalam hati
To Be Continued
Creation is hard, cheer me up!