Evan mencoba sesegera mungkin pergi dari kafe yang tiba-tiba membuatnya trauma itu. Motornya ia kendarai secepat mungkin menuju entah kemana. Sesampainya di sebuah jembatan di pinggir kota, ia berhenti. Ia turun dari motor dan berdiri di tepi jembatan. Ia membiarkan dirinya diterjang air hujan yang terus turun di malam kelabu itu.
Ia kehilangan arah. Hatinya sudah hancur berkeping-keping. Ia sudah berpuluh kali mencoba menelepon Zahra, memang tersambung, namun tak diangkat oleh Zahra. Ia membuka mata, dilihatnya arus air sungai yang begitu deras. Ia berpikir mungkin ini saatnya ia menyusul kedua orangtuanya dengan cara terjun ke arus sungai yang deras itu. Mungkin itu bisa mengakhiri sakit hatinya.
Saat ia sudah mengangkat kakinya ingin terjun ke sungai, ada seorang laki-laki tua berpakaian putih macam ustadz memanggilnya. Ia memakai payung, berdiri tak jauh dari Evan.
"Mau bunuh diri?" tanya bapak-bapak itu.
Evan menoleh. Suara petir sesekali terdengar bergemuruh.
"Ya sudah sana, jangan ragu-ragu."
Evan kaget juga, orang itu kenapa tidak mencegahnya.
"Tapi jangan menyesal. Nanti kalau sudah di bawah, kamu tidak bisa bernafas, paru-paru kamu kemasukan air, badan kamu seperti dipukuli preman berkali-kali karena terkena desakan arus. Belum lagi ada banyak batu di bawah sana yang siap memecahkan kepala kamu."
Petir kembali menggelegar. Evan menciut nyalinya.
"Kamu memang mati, tapi secara perlahan-lahan, dan jauh lebih sakit daripada menahan rasa sakit yang sekarang kamu rasakan."
Evan agak melunak mendengar ucapan bapak-bapak itu. Dengan wajah menahan malu, ia turun dari pagar jembatan. Setelah itu, ia memberanikan diri ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak-bapak itu karena telah memperingatkannya.
"Terima kas…"
Evan kaget. Bapak-bapak itu sudah tidak ada. Ia menoleh ke semua sudut, namun sejauh mata memandang, tidak ada satu orangpun. Hanya ada mobil dan motor saja yang lewat sejak tadi.
Antara sadar dan tidak, dia mencoba merenungi kalimat bapak-bapak tadi. Ya, dia memang harus move on dari seorang wanita bernama Zahra. Ia harus mengubur dalam-dalam segala kenangan tentang mantan calon istrinya yang sekarang sudah bersama laki-laki lain itu.
Dibukanya gallery HP di tengah derasnya hujan, ia berniat ingin menghapus semua foto-foto atau video kebersamaan dia dengan Zahra. Namun karena terlalu banyak, ia akhirnya kesal.
Dengan berteriak sekencang-kencangnya, Evan kemudian melempar smartphone yang selama bertahun-tahun ini menjadi saksi bisu hubungannya dengan Zahra. Ia memutuskan, mulai detik ini, ia akan melepas semua hal yang membuatnya ingat dengan Zahra.
Esok paginya, ia berpamitan dengan semua rekan-rekannya di kantor. Termasuk Pak Tama, Aryo, dan Dewi. Ia mengundurkan diri dari kantor yang sudah dibersamainya selama lima tahun ini. Terlalu banyak kenangan yang ia lalui di kota ini bersama Zahra, termasuk kantor tempat ia bekerja.
"Kamu yakin sebucin ini, Van?" tanya Aryo saat Evan sudah di atas motor hendak pergi.
"Aku terlalu cinta sama dia, Yo. Dan disini sudah terlalu banyak kenangan aku sama dia. Aku bisa gila kalau terus-terusan disini"
"Terus kamu mau kemana sekarang?"
"Aku mau ke rumah saudaraku di desa. Aku mau jadi petani aja disana. Dulu waktu ketemu dia pernah bilang aku suruh tinggal disana aja, karena dia juga tinggal sendiri. Tapi aku menolak karena masih kerja disini"
"Saudaramu? Siapa?"
"Pakdhe Maman, dia kakaknya bapakku. Beliau duda, dan ngga punya anak"
"Oh, begitu. Ya sudah, semoga sukses, Van. Sering-sering main kesini"
Evan tersenyum tipis. Sudah pasti dia tidak ingin ke kota ini lagi, dalam batinnya. Ia kemudian membawa motornya melaju keluar dari kota.