Sore hari pada hari jum'at.
Bima yang akhirnya melaksanakan kewajibannya sebagai mahasiswa pascasarjana, baru saja menyelesaikan jam studinya.
Dosen di depan menutup perkuliahan sembari meminta Bima untuk menunggu di kelas. Ada hal yang ingin disampaikan oleh dosen tersebut.
Dosen itu merupakan orang yang sama yang pernah mengajar semasa dia mahasiswa sarjana. Jadi bisa dibilang Bima dan dosen yang bernama Luhut itu kenal satu sama lain.
Sambil memasukan laptop dan alat tulisnya, Bima menunggu seluruh mahasiswa selain dirinya keluar ruangan. Dia lalu melihat Pak Luhut, yang mengenakan kemeja putih dengan dasi hitam, berjalan mendekat.
Umur Pak Luhut sudah melebihi lima puluh tahun. Hanya tinggal beberapa tahun lagi sebelum masa pensiunnya tiba. Rambut putih tipis, dengan keriput di sekitar bagian mata memperlihatkan benar umur pria tersebut.
Ketika sampai di dekat Bima, pria tua itu duduk di samping kursi mahasiswanya tersebut. Dengan berdehem dua kali, dia pun memulai pembicaraan.
"Bim, saya dengar, loh, podcast milikmu itu. Saya gak tahu kalau selama ini kamu mempunyai kemampuan seperti itu."
"..."
Bima yang mendengar itu merasakan jalan pembicaraan akan mengarah ke sesuatu yang menyebalkan. Wajahnya secara tidak sengaja mengerut dengan sendirinya.
"Jadi, Bima... apa itu asli? Kamu benar bisa melihat hal yang seperti itu? Umm, maksudnya itu loh..." Luhut mengecilkan suaranya seakan berbisik, "Hantu~"
Bima semerta merespon dengan ekspresi kosong. Dalam pikirannya dia sangat keheranan, mereka hanya tinggal berdua di ruangan kelas tersebut, kenapa harus berbisik?
"Umm, memangnya ada apa, Pak?"
Tanya Bima, yang merasa kalau pria tua di sampingnya itu pasti memiliki tujuan lain. Tidak mungkin hanya ingin menanyakan kemampuan bisa melihat hal astral atau tidak.
Tentu saja, Bima seraya melihat pria tua itu celingak celinguk ke sana kemari. Seperti takut ada yang mendengar omongannya.
'Apa yang sebenarnya dilakukan, Pak Luhut ini? Kita hanya berdua di sini!'
"Bim," Ujar Luhur, mendekatkan wajahnya ke Bima, berbisik langsung di samping telinganya. Membuat Bima agak gemetar dan berkeringat dingin.
"Apa ada hal yang mengikuti saya?" Bisiknya, sambil matanya melirik ke sana kemari.
"Huh?"
"Selama sebulan terakhir ini, saya selalu merasa ada yang ngikutin. Bukan itu saja, nasibku pun jadi buruk akhir-akhir ini. Stok investasi menurun, bisnis kulinerku terpaksa tutup dua minggu lalu. Terus suami dari putriku selingkuh. Semua kejadian buruk ini terjadi selama sebulan terakhir!"
Tutur Luhut yang kemudian bibirnya semakin mendekat ke kuping Bima, membuat pemuda itu secara refleks menjauh, namun bibir itu tetap ngikut menempel padanya. Dengan suara bisikan yang lebih rendah lagi, Luhut bertanya...
"Apakah saya disantet?"
'Mana kutahu?!'
Teriak Bima dalam hatinya. Sungguh dia ingin berteriak lantang mengeluarkan kekesalannya. Namun mengingat umur Luhut yang jauh lebih tua, belum lagi dia adalah gurunya. Semua teriakan itu ditahannya dalam dada.
Bima menenangkan diri dengan menarik dan mengeluarkan napas dalam-dalam. Lalu berusaha menenangkan dosennya, dan berkata secara jujur kalau dia tidak melihat sosok apapun yang mengikuti pria tua tersebut.
Di ruangan kelas itu, sama sekali tidak ada makhluk astral. Meskipun ada, dan kutukan santet itu benar adanya, Bima tidak tahu cara membatalkannya. Dia bukan dukun atau ahli agama!
"Apa serius tidak ada? Terus seluruh kejadian buruk ini?"
"Apa Bapak mau melihatnya?" Bima menawarkan kacamata bulatnya.
Pria tua itu hanya memandangi kacamata di tangan Bima dengan kebingungan. Dia menolak tawaran tersebut, lalu beranjak dari kursinya. Berkata kalau dia akan mencari orang lain.
Luhut menjelaskan kalau Bima adalah orang ketujuh yang sudah dimintai pendapat. Jadi mendapatkan jawaban tadi sama sekali tidak mengusiknya. Dia hanya tinggal mencari orang yang benar-benar bisa melihat kutukannya.
'Seriusan? Dia ini benar-benar ingin menyalahkan nasibnya kepada kutukan. Sigh~ sudahlah.'
Bima tidak berpikir lebih jauh lagi. Dia pakai tasnya, hendak pamit untuk pulang. Namun Luhut kembali menghentikannya. Dia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya.
"Minta tanda tanganmu! Siapa tahu kamu semakin terkenal, ini bisa menjadi hadiah untuk cucuku."
"..."
Bima kehilangan kata-kata. Entah dia harus menangis atau tertawa mengalami hal seperti ini, namun pada akhirnya dia memberikan tanda tangannya.
Bahkan Bima tidak memberikan satu, dia tanda tangani sepuluh lembar kertas dari buku milik Luhut. Jaga-jaga agar dosennya tersebut tidak lagi mendatanginya dengan alasan yang sama.
Namun siapa yang menyangka, di masa depan nanti, lembaran tanda tangan itu akan dilelang oleh dosennya tersebut. Entah apa reaksi Bima di masa depan itu.
Setelah bebas dari dekapan dan bisikan dosennya. Bima akhirnya bisa melepaskan napas lega.
Jam kuliahnya habis. Dua hari berikutnya adalah hari libur. Akhirnya dia bisa kembali tidur seharian.
Ayal, panggilan telepon dari Oki akan mengubah rencana dari lelaki tersebut.
Oki menyuruhnya datang ke rumah makan tempat dia dan teman-teman satu angkatan biasa nongkrong. Tempat makan yang cukup terpencil karena berada di dalam gang, jauh dari jalan raya dan tidak bisa diakses oleh kendaraan. Mau itu roda dua apalagi roda empat.
Tempat makan itu merupakan tempat ideal bagi angkatannya dulu untuk berkumpul sekaligus merencanakan setiap kegiatan mereka. Mau itu mengerjakan setiap proyek jurusan atau sekadar merencanakan piknik liburan.
Saat ini, setelah mayoritas dari angkatan Bima telah lulus dan masuk ke dunia kerja di berbagai kota. Mereka sudah jarang berkumpul di rumah makan tersebut. Termasuk Bima yang lebih memilih membeli makanan yang berada di dekat rumahnya, atau memesan melalui aplikasi.
Jadi mendengar ajakan dari temannya untuk nongkrong di tempat yang sudah lama tidak dikunjungi. Bima sangat tertarik. Dia mengiyakan ajakan tersebut tanpa berpikir panjang, dan langsung berjalan ke lokasi.
Sekitar setengah jam kemudian. Ketika Bima tiba di rumah makan, dia mencari meja tempat Oki berada.
Dalam rumah makan tersebut terdapat sepuluh meja yang berjarak cukup jauh dari satu dan lainnya. Bukan itu saja satu meja itu pun bisa menampung sepuluh orang.
Sehingga bisa dibilang rumah makan tersebut cukup luas. Itulah mengapa tempat ini menjadi lokasi favorit untuk rapat sambil makan.
Bima menemukan meja Oki yang berada di pojok ruangan. Bima mengernyit melihat temannya yang melambaikan tangan, bukan karena Oki, namun karena di depan temannya tersebut terdapat seorang perempuan.
Pertama-tama Bima berjalan ke arah konter. Langsung memesan makanan.
"Satu nasi bakar isi ayam sama es teh manis satu, saya di meja sebelah sana."
Tutur Bima yang kemudian berjalan ke meja tempat temannya berada. Ketika tiba, Bima pandangi perempuan yang duduk di seberang Oki.
Bima merasa wajah perempuan tersebut familiar.
'Apa aku pernah bertemu dengannya?'
Pikir Bima, yang kemudian melihat perempuan tersebut berdiri, menjulurkan tangan seraya menyapa.
"Halo, Kak Bima. Lama tidak berjumpa."
"..."
Bima terdiam. Dia tidak mengingat orang di depannya. Namun dari nada yang disampaikan, tampaknya dia memang pernah bertemu dengannya.
Oki yang melihat hal tersebut hanya bisa tertawa kaku, "Bim... jangan bilang kau lupa sama adik kelasmu sendiri?"
"..."
Bima hanya bisa diam. Dia memang tidak ingat, namun harga dirinya sebagai kakak kelas tidak mau mengakui hal tersebut.
"Yup, kau lupa. Ya, sudahlah. Ini Raya, junior dua tahun di bawah kita."
"Ahh~"
"Kau ingat?"
'Tidak.' Pikirannya menyanggah namun kepalanya mengangguk mengiyakan.
Pada akhirnya Bima tetap tidak bisa mengingatnya. Ini memang salahnya sendiri, Bima kurang suka bergaul dengan orang banyak. Itulah mengapa dia jarang berinteraksi dengan para juniornya. Jadi maklum kalau dia tidak ingat.
Bima pandangi perempuan bernama Raya itu. Perempuan itu tampak gugup dengan kepala yang menunduk.
Lalu dia menoleh ke Oki yang senyum-senyum sendiri dengan mata yang agak berbinar.
'Ugh, aku punya firasat buruk dari arah pertemuan ini.'
Pikir Bima yang seraya ingin keluar dari rumah makan itu. Kalau saja dia tadi tidak memesan makanan. Dia sudah langsung cabut dari meja itu.
"Bim, kita mendapat pekerjaan," ujar Oki sambil mengacungkan jempol.
'Huh? Pekerjaan? Kenapa aku harus kerja?'